Hal ini karena sistem Multipartai Era Reformasi berjalan tanpa visi kebangsaan yang mengedepankan konstitusi dan Pancasila, dan bahkan terjerembab ke dalam Demokrasi Tanpa Etika. Dimana tidak ada korelasi terhadap kepentingan konstitusi, Pancasila, dan rakyat (publik) dalam semua kebijakan yang dilahirkan. Demikian pula penanganan kasus hukum yang dilakukan, juga tidak untuk penegakan hukum namun untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan semata.
Ilustrasi: Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Indonesia dicatat menerapkan dua kali sistem multipartai. Sistem multipartai adalah sistem kepartaian di suatu negara yang melibatkan banyak partai untuk bersaing guna medapatkan kekuasaan pemerintahan. Sistem ini lahir dari aspek masyarakat yang memiliki keberagaman budaya, politik, suku, ras, agama dan status, untuk mencari saluran loyalitas pada sebuah organisasi.

Sistem multipartai pertama adalah pada era kemerdekaan selepas Maklumat Pemerintah 3 November 1945 diundangkan. Sementara itu sistem multipartai kedua, pada era selepas Reformasi. Pada era pertama, berlangsung relatif singkat yaitu 14 tahun (1945-1959). Sementara itu era kedua, berlangsung hingga saat ini, dengan dimulai pada tahun 1999. Hanya saja bedanya, dalam sistem multipartai pertama melaksanakan sistem pemerintahan parlementer karena badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sementara itu, pada sistem multipartai kedua menerapkan sistem pemerintahan presidensial karena badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif.

Dari dua era sistem multipartai tersebut, ternyata memiliki banyak sisi positif dan negatif saat keduanya diperbandingkan.

Sistem Multipartai Era Kemerdekaan

Sistem Multipartai Era Kemerdekaan yang diakhiri oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dicatat merupakan sistem multipartai yang memiliki sisi positif. Di mana mereka mampu menghadirkan diri sebagai partai kebangsaan. Hal ini ditandai dengan adanya bentuk perjuangan partai masih murni berjuang menurut platformnya. Salah satu hal yang fenomenal adalah perjuangan Partai Masyumi di Parlemen tanggal 3 April 1950 untuk mengakhiri Negara RIS bentukan Belanda melalui apa yang disebut “Mosi Integral”. Sehingga lahir kemudian Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini.

Sayangnya sistem multipartai Era Kemerdekaan yang juga disebut Demokrasi Liberal berujung pada hadirnya konflik antar partai sehingga membuat Dewan Konstituante gagal dalam merumuskan Undang-Undang Dasar (UUD) yang baru. Selain itu, pemerintahan yang kuat yang di dambakan rakyat tidak terjadi. Jatuh-bangunnya pemerintahan dalam waktu yang relatif singkat, membuat negara tidak mampu menjalankan perannya sesuai amanat konstitusi yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Sistem Multipartai Era Reformasi

Kehadiran sistem Multipartai Era Reformasi dicatat seperti mampu menjembatani sisi negatif sistem Multipartai Era Kemerdekaan yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Di mana konflik antar partai dapat diredam dan jatuh-bangunnya pemerintahan dalam waktu yang relatif singkat dihindari. Ini merupakan sisi positif sistem Multipartai Era Reformasi.

Namun demikian sayangnya orientasi partai menjadi berubah. Tidak lagi mengedepankan politik kebangsaan, namun mengedepankan politik transaksional. Kebijakan-kebijakan anti konstitusi lebih mengemuka. Bahkan menghadirkan kebijakan yang menjadikan Indonesia kembali menjadi koloni asing menjadi hal biasa. Seperti misalnya, memberi hak atas tanah yang berbentuk hak guna usaha investor untuk mendapatkan hak kelolaan mencapai 190 tahun serta HGB hingga 160 tahun. Atau kebijakan investasi yang malah menguntungkan ekonomi Cina seperti investasi nikel dan lain sebagainya.

Stabilitas pemerintahan dalam sistem Multipartai Era Reformasi bukan hadir untuk memperjuangkan nilai sebagai amanat konstitusi, namun hanya untuk memastikan kebijakan anti konstitusi tidak mendapat ruang untuk mendapat resensi dari masyarakat. 

Sistem Multipartai Era Reformasi yang seharusnya ikut dalam pekerjaan besar melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, tidak pernah terjadi. Dengan hanya mengedepankan politik transaksional maka muaranya menjadi semakin jelas yaitu mempermudah penjualan atau pelepasan asset negara ke asing.

Partai Politik Bertindak Seperti Kartel

Partai politik suka atau tidak kini juga telah berubah cita-citanya dari memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi sebuah kartel. Menurut KBBI, kartel adalah gabungan perusahaan sejenis yang bertujuan mengendalikan produksi, persaingan, dan harga.

Sebagai kartel, partai politik berlomba-lomba melepas ideologi yang dimiliki demi duduk bersama mengendalikan pemerintahan, kepala daerah, parlemen, kebijakan kenegaraan, akses kekuasaan, hingga UU. Tidak ada lagi peran partai sebagai oposisi yang mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintah agar berjalan sesuai dengan undang-undang. Oposisi yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai partai penentang dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa, bahkan telah dianggap menjadi sesuatu yang tabu.

Karena itu tidak ada partai yang konsisten menjadi oposisi dengan mengedepankan politik kebangsaan, dan partai lebih memilih mengedepankan politik transaksional, maka sudah dapat menjadi alasan agar sistem Multipartai Era Reformasi kembali dievaluasi. Sistem Multipartai Era Reformasi jika dapat dinilai, telah jauh lebih buruk dari Demokrasi Liberal yang mampu mengakhiri Republik Indonesia Serikat bentukan Belanda tanpa peperangan. Tanpa melibatkan senjata Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat sedikit pun.

Hal ini karena sistem Multipartai Era Reformasi berjalan tanpa visi kebangsaan yang mengedepankan konstitusi dan Pancasila, dan bahkan terjerembab ke dalam Demokrasi Tanpa Etika. Dimana tidak ada korelasi terhadap kepentingan konstitusi, Pancasila, dan rakyat (publik) dalam semua kebijakan yang dilahirkan. Demikian pula penanganan kasus hukum yang dilakukan, juga tidak untuk penegakan hukum namun untuk kepentingan pelanggengan kekuasaan semata.

Dengan suasana kebatinan yang tentu beda dengan suasana lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, karena diawali langkah inkonsitusional Kepala Angkatan Darat Letjen AH Nasution yaitu mengeluarkan larangan kegiatan yang berlaku bagi semua parpol sejak 3 Juni 1959, maka perlu diberlakukan pendekatan lain. Salah satunya perlu dilakukan pelarangan praktek monopoli dan persaingan politik yang tidak sehat. Seperti perlu dihadirkan kembali oposisi, dan meningkatkan pengawasan dan evaluasi berbasis konstitusi dan Pancasila atas semua kebijakan dan UU yang ada.

Pekerjaan ini tentu tidak mudah, namun ia perlu dilakukan sambil menunggu Dekrit Presiden 5 Juli 1959 jilid 2, guna mengakhiri bahaya yang sangat besar yaitu negara tanpa visi kebangsaan.*

Penulis: Irawan Djoko Nugroho

Disosialisasikan kembali dari CoreNews.id.      

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*