Abstrak
Untuk menjamin kelangsungan demokrasi Pancasila, harus ada institusi yang berwenang dan fokus mengelola etika bernegara, mempertebal semangat kebangsaan serta memperkuat Nilai Keindonesiaan. Institusi ini memiliki kuasa untuk menghentikan siapa saja yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan itu. Anggotanya dipilih dari gagasan dan jejak rekam yang ditorehkannya. Institusi itu seharusnya adalah Utusan Daerah dan Golongan.
Permasalahan Klasik UG – UD – DPD
Pada UUD 1945, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Utusan-Utusan Golongan (UG) dan Utusan-Utusan Daerah (UD). Namun sejak amandemen UUD 1945 yang termasuk di dalamnya amandemen terhadap lembaga perwakilan MPR, anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.
Amandemen yang berujung pada penghapusan UG dan UD menjadi DPD bukan tanpa alasan. Sebab dalam perjalanan lembaga perwakilan di Indonesia banyak mengalami penyimpangan-penyimpangan sehingga tidak lagi efektif, tidak demokratis dan tidak mencerminkan representatif utusan golongan dan utusan daerah. Sebagai akibatnya UG kemudian diminta untuk dihapuskan karena konsep golongan sangat kabur dan selalu menimbulkan manipulasi serta kericuhan politik. Selain itu UD juga diminta untuk diperkuat dalam suatu wadah yang representatif guna mencerminkan keterwakilan daerah di samping DPR, (Soebardjo, 2007: 142-143).
Namun setelah amandemen, DPD yang memiliki kewenangan baru pun dianggap tidak maksimal. Berdasar Susduk Pasal 41, 42, 43, 44, 45, 46, dan 47, kedudukan dan kewenangan DPD sangat terbatas, (Soebardjo, 2007: 144). Dengan peran itu maka DPD dapat dikatakan seperti kembali ke jaman sebelum amandemen, yaitu tidak memiliki fungsi yang maksimal.
Kesalahan Pemikiran
Harapan DPD memiliki kedudukan sama dengan DPR sesungguhnya merupakan kesalahan pemikiran. Hal ini karena DPD tidak berbasis partai. Sementara itu DPR dan Pemerintah memiliki kesamaan yaitu sama-sama berbasis partai. Partai di Indonesia salah satunya, dicatat memiliki fungsi untuk menciptakan pemerintahan.
Partai pemenang pemilu membentuk pemerintahan. Partai pemenang pemilu dan yang kalah dalam pemilu bersama hadir dalam DPR untuk memperkuat jalannya pemerintahan dan sebagai kontrol pemerintahan. Mereka bekerja sebagai penyelenggara pemerintahan. Karena DPD tidak berbasis partai, maka terjadi kesalahan pemikiran jika memaksakan diri untuk ikut bersama mereka yang awalnya didesain sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan.
Karena itu DPD ataupun UG dan UD seharusnya tidak memaksakan diri untuk ikut sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan. Karena berada di luar partai, DPD atau sebelumnya UG dan UD seharusnya bersifat netral terhadap partai atau netral terhadap fungsi memperkuat jalannya pemerintahan dan sebagai kontrol pemerintahan.
Peran DPD, UG dan UD Yang Seharusnya
Dengan memiliki sifat yang netral, DPD, UG dan UDseharusnya fokus terhadap fungsi lainnya. Menjadi rahasia umum, di Indonesia pemerintahan berpusat kepada Presiden. Presiden memiliki fungsi sebagai kepala pemerintahan (kepemerintahan) dan kepala negara (kenegarawanan). Jika DPR memfokuskan diri untuk memperkuat jalannya pemerintahan dan sebagai kontrol pemerintahan, maka fokus ini sesungguhnya hanya berpusat pada satu sisi peran saja. Ada peran lain yang ditinggalkan.
Diabaikannya peran dalam memperkuat jalannya kenegarawanan dan sebagai kontrol kenegarawanan oleh semua lembaga di MPR membuat banyak ruang kosong dalam peran ini. Dari sisi kepemerintahan misalnya, Indonesia dicatat berhasil melakukan pembangunan jika dibanding pada era kemerdekaan. Namun dari sisi kenegarawanan, pembangunan ini sesungguhnya gagal karena yang terjadi adalah hanya menghadirkan pembangunan di Indonesia bukan pembangunan Indonesia.
Selain itu, partai pemenang pemilu dan yang kalah dalam pemilu yang bersama hadir dalam DPR untuk memperkuat jalannya pemerintahan dan sebagai kontrol pemerintahan tidak sepenuhnya dapat menjalankan perannya. Munculnya kartel politik dan tidak adanya etika dalam proses pemenangan pemilu misalnya, merupakan beberapa contoh kecil yang dapat merusak keberlangsungan demokrasi Pancasila.
Peran kenegarawanan inilah yang harus dikelola DPD ataupun UG dan UD, di mana utamanya untuk mengelola etika bernegara, mempertebal semangat kebangsaan dan memperkuat Nilai Keindonesiaan. Selain itu juga mengawal keberlangsungan demokrasi Pancasila. Fungsi inilah yang kiranya seperti yang diharapkan para bapak bangsa kala menghadirkan mereka.
Dipilih Berdasar Gagasan Dan Jejak Rekam
Anggota DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, sesungguhnya tidak tepat untuk dihadirkan sebagai regulasi dan pengawas yang berbasis ‘nilai-nilai keindonesiaan dan kenegarawanan’. Diperlukan gagasan jelas dan jejak rekam yang positif untuk bangsa dan negara Indonesia. Karena itu DPD seharusnya dikembalikan menjadi UG dan UD, serta pemilihan mereka tidak melalui mekanisme pasar atau pemilihan langsung.
Mereka dipilih disesuaikan dengan regulasi baru yaitu berdasar pada gagasan dan jejak rekam yang positif untuk bangsa dan negara Indonesia. Tentu saja disesuaikan dengan tupoksinya masing-masing. Mereka yang belum menorehkan jejak rekam positif atau yang kemudian menorehkan jejak rekam negatif tentu tidak dapat bekerja sebagai anggota.
Dipahami, jika mendapatkan gagasan dan jejak rekam tentu tidak mudah. Namun dengan adanya regulasi yang ada dan jelas, maka akan membuat warga negara dapat menghadirkan integritasnya untuk bangsa dan negara. Kondisi ini tidak hanya menguntungkan bagi UG dan UD semata, namun juga bagi keberlangsungan demokrasi Pancasila serta Indonesia sendiri.*
Sumber:
Soebardjo, Dewan Perwakilan Daerah Menurut UUD 1945 Dan Penerapan Sistem Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 14 Januari 2007: 142-157.
Sumber gambar: