Kalender Śaka ternyata ada dua. Menurut TS Narayana Sastri, zaman Śaka lama yang dimulai pada tahun 550 SM dan tahun Śaka yang muncul kemudian pada tahun 78 M. Menurut Vedveer Arya, penanggalan zaman Śaka (583 SM) ada hingga abad ke-15 Masehi. Misalnya, sebagai berikut. Prasasti Hoysala Raja Ballāla bertanggal Śaka 1919 (1336 M). Prasasti Nilavara Mallikārjuna bertanggal Śaka 1975 (1392 M) dan juga prasasti yang ditemukan di desa Bittaravalli, Belur taluka, Karnataka bertanggal Śaka 2027 (1444 M) [Śakavarṣāda 2027 neya Ānanda Saṁvatsara Bhādrapada śuddha padiva śukrav āradandu]. Menariknya, tahun 1919, 1975 dan 2027 pada zaman Śakānta atau Śakakālātīta (78 M) akan menjadi tahun 1997, 2053 dan 2105. Ternyata, penanggalan ketiga prasasti ini tidak dapat dijelaskan pada zaman Śakānta atau Śakakālātīta (78 M). Penanggalan zaman Śaka dicatat bermula dari kisah Raja Śālivāhana menurut Naskah Chola Pūrva Patayam. Uniknya Śālivāhana dicatat terbunuh pada Kali tahun 2443 (659 SM). Bila ia pendiri era Śaka yang dimulai tahun 550 SM, siapa pendiri era Śaka tahun 78 M. Ternyata pendiri era Śaka terakhir, lebih dekat dengan kisah penduduk Lang-ga menurut Sejarah Dinasti Liang (502-557).
Ada dua sistem penulisan penanggalan pada masa lalu dalam tradisi Jawa kuna. Menurut tradisi filologis dan menurut tradisi arkeologis. Penulisan penanggalan dalam tradisi filologis adalah tradisi penulisan penanggalan sebagaimana yang dicatat dalam teks-teks karya sastra Jawa kuna seperti misalnya, kakawin dan parwa. Sementara itu, penulisan penanggalan dalam tradisi arkeologis adalah tradisi penulisan penanggalan sebagaimana yang dicatat dalam teks-teks prasasti.
Contoh Penulisan Penanggalan Pada Tradisi Filologis.
ring śākâdri gājary[y]amâswayujamāsa śubhadiwaśa pūrņ[n]acandrama, (Nāg. 94.2.1)
‘Pada Śaka Gunung-Gajah-Matahari (1287 S/ 1365 M) dalam bulan September-Oktober (Aswayuj) pada hari baik pada bulan purnama’,
Contoh Penulisan Penanggalan Pada Tradisi Arkeologis.
swasti śaka warṣatîta, 1216, bhadrapādamāṣa, tithi pañca-
mi kṛsṇapakṣa, ha, u, śa, wāra, maḍangkungan, bāyabyastha grhacāra,
rohiṇinaksatra, prajāpatidewatā, mahendramaṇḍala,
siddhiyoga, werajyamuhūrtta, yamaparwweśa, tetilakaraṇa,
kanyarāśi, (Prasasti Gunung Butak, I) [1]
‘Selamatlah! Tahun Śaka telah dilewati, 1216, pada bulan Bhadrapāda, pada tanggal lima bulan sedang turun; pada hari Haryang, Umanis, Śanéścara (menurut pekan berhari lima, enam, dan tujuh); pada wuku Madangkungan, ketika bintang tetap bersinar di sebelah tenggara di perumahan rembulan Rohiṇi, dengan Sang Hyang Prajapati sebagai pelindungnya; dan masuk lingkaran mandala Mahéndra, ketika yoga Siddhi dan pukul: Wérajya; dilindungi Yama sebagai pelindung perbuhulan; pada hari karana bernama Tétila, dan pada ketika rasi bertanda bintang Perawan’. [2]
Jika diperbandingkan antara kedua tradisi tersebut, maka tampak sebagai berikut. Pertama. Penulisan penanggalan dalam tradisi filologis dalam hal ini kakawin sebagai contohnya, tampak lebih sederhana. Hanya berisi informasi tahun (1287 S), bulan (Aswayuj) dan tanggal (bulan purnama = tanggal 15). Dalam beberapa contoh lain, penanggalan yang dicatat bahkan lebih ringkas, karena hanya mencatat tahun kejadian saja. Misalnya: ring śāka ṛttu śarena rakwa (Nāg.1.4.1). ‘Di tahun Śaka musim-panah-matahari (1256 = 1334 A.D.)’. Sekalipun demikian, terdapat juga penulisan penanggalan yang dicatat lengkap sekalipun tidak selengkap penulisan di prasasti. Misalnya: Tlaś [s]inurat sang hyang Tantu panglaran ring karang kabhujangan Kutritusan, dina u(manis) bu(dha) maḍangsya, titi śaśi kaśā, rah 7. těnggěk 5, ṛṣi pandawa buta tunggal (1557). ‘Selesai ditulis sang hyang Tantu panglaran di tempat kediaman para bujangga di Kutritusan, hari Rebo Legi, madangsya, hari titi (akhir) bulan pertama (kasa), rah (“tanggal?) tujuh, temggek (bulan) lima, resi pandawa buta tunggal (1557)’. [3]
Kedua. Penulisan penanggalan dalam tradisi arkeologis dicatat sangat lengkap, Hal ini karena sistem penulisan penanggalan yang ada, memasukan unsur angka tahun, bulan, tanggal, hari, minggu, grahacãra, nakşatra, dewatã, maņdala, yoga, muhûrtta, parwweśa, karaņa, dan raśi. Namun demikian menurut Casparis, prasasti-prasasti yang berasal dari sebelum abad XI M jarang menuliskan unsur astronominya, biasanya penyebutan penanggalannya hanya sampai pada hari atau nama minggunya. [4]
Ketiga. Sistem penulisan penanggalan dalam tradisi filologis, sebagaimana contoh di atas menggunakan sistem candrasengkala atau simbolisasi angka tahun. Keempat. Sistem penulisan penanggalan dalam tradisi arkeologis, menggunakan sistem angka.
- Tahun Śaka Dalam Tradisi Filologis Bukan Sebagai Tahun India
Banyak para ahli sejarah dan arkeolog yang memasukkan Kalender Śaka sebagai Kalender India. Vedveer Arya mencatat bahwa era Śaka populer digunakan untuk penanggalan prasasti dan literatur periode kuna dan abad pertengahan di India, Nepal, Burma, Kamboja, dan Jawa (Indonesia). [5] Sistem penanggalan Śaka, kemudian disebut sebagai penanggalan Śālivāhana. Sebutan ini mengacu kepada nama seorang ternama dari India bagian selatan, Śālivāhana yang berhasil mengalahkan kaum Śaka. Tetapi, sumber lain menyebutkan bahwa justru kaum Śaka di bawah pimpinan Raja Kaniskha I yang memenangkan pertempuran tersebut. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Maret tahun 78 M. [6]
Permulaan tahun Śaka bahkan disebut dimulai dari hari Sabtu (14 Maret 78 M), yaitu 1 tahun setelah penobatan Raja Śālivāhana atau biasa disebut sebagai Aji Saka seorang raja di India. Dari hal tersebut, maka penanggalan ini kemudian dikenal dengan penanggalan Śaka. [7] Sementara itu di India, pada saat ini berkembang pendapat bahwa ada dua era atas nama Śaka. Pendapat era Śaka dimulai pada tahun 78 Masehi dikemukakan oleh JF Fleet dan F Kielhorn dan didukung oleh hampir semua sejarawan. Pendapat era Śaka telah ada sebelum tahun 78 Masehi untuk pertama kalinya dikemukakan oleh TS Narayana Sastri. Menurutnya, zaman Śaka lama dimulai pada tahun 550 SM dan zaman Śālivāhana Śaka muncul kemudian pada tahun 78 M. [8] Jaman Śālivāhana Śaka atau disebut juga dengan zaman Śakānta atau Śakakālātīta (pembunuhan raja Śaka) adalah era astronomi yang dimulai pada 1 Apr 78 M, Minggu. [9]
Terlepas dari hal tersebut, menariknya Tahun Śaka yang berkembang di Jawa kuna sesungguhnya berbeda dengan Tahun India. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara Tahun India dengan Tahun Śaka. Adapun perbandingan tersebut adalah sebagai berikut.
Perbandingan Antara Tahun India dengan Tahun Śaka [10]
Bila melihat perbandingan tersebut, maka tampak Tahun India dan Tahun Śaka memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya hanya pada bentuk persamaan penyebutan nama bulan semata. Waktu, pembagian satu hari alamiah, serta musim dicatat berbeda.
A. Waktu
Pada waktu, Tahun Śaka tidak mendasarkan pada mendasarkan sistem kalā (48 detik), ghaṭikā (24 menit = 30 kalā), dan muhurta (48 menit) sebagaimana Tahun India, namun pada taběh (90 menit). Sekalipun taběh dikatakan sebagai jam yang dipukul pada sebuah kentungan dan jumlah pukulan serasi dengan waktu yang bersangkutan (limang taběh, pitung taběh) [11], namun Zoetmulder tidak mencatat seperti apa alat atau sarana yang membuat taběh itu dipukul tepat sesuai waktunya. Zoetmulder juga tidak mencatat ukuran waktu yang lebih kecil dari taběh. Di sini kiranya perlu ada penelitian lain yang khusus tentang hal itu. Zoetmulder mencontohkan taběh dipukul berdasar banyak sumber filologis. Di mana di antaranya adalah sebagai berikut. Sutasoma 73.18: taběh pat muni ‘pukul empat telah dibunyikan’ atau Bhāratayuddha 38.11: těg ndā ndā ḍumawuh tikang ghaṭita sapta himpěr amungu ‘tung tung tung pukul tujuh dibunyikan seolah-olah mau membangunkannya’. [12]
B. Pembagian Satu Hari Alamiah
Pada pembagian satu hari alamiah, Tahun Śaka membagi menjadi sama panjang, Sementara itu, Tahun India tidak membagi satu hari alamiah dalam waktu yang sama panjang. Satu hari alamiah Tahun Śaka masing-masing terdiri atas 8 jam atau taběh dan dihitung sejak matahari terbit (jam 6) dan terbenam (jam 18). Dengan kata lain, 1 hari alamiah Tahun Śaka terdiri dari 16 taběh. Pada tahun India, satu hari alamiah disesuaikan dengan letak matahari. Bila matahari mencapai titik balik utara maka siang 18 muhūrta dan malam 12 muhūrta. Bila matahari mencapai titik balik selatan maka siang 12 muhūrta dan malam 18 muhūrta. Dengan kata lain, 1 hari alamiah Tahun India terdiri dari 30 muhūrta.
Kisah matahari mencapai titik balik utara yang paling terkenal dalam kajian filologis adalah kisah kematian Bhisma sebagaimana dicatat dalam Mahabharata. Dalam kisah tersebut, Bhisma yang terluka parah dan terbaring dalam ranjang panah pada masa Daksinayana, menahan kematiannya hingga matahari mencapai titik balik utara atau masa Uttarayana. Upaya ini dilakukan karena Bhisma ingin meninggal pada saat Uttarayana, sebab ia percaya bahwa mereka yang meninggal di masa Uttarayana dan mengetahui keberadaan Brahman maka ia tidak akan lahir kembali (menyatu dengan Brahman). [13]
Melalui kisah tersebut, pembagian dan pengetahuan akan Daksinayana dan Uttarayana merupakan bagian dari ibadah yang demikian penting di India sejak era Mahabharata. Kala Tahun Śaka tidak menggunakan dan menerapkannya, maka dapat dikatakan jika Tahun Śaka bukan bagian dari Tahun India. Tahun Śaka dapat dikatakan demikan lepas dari kepercayaan yang dipercayai dalam tahun India. Karena itu, Tahun Śaka menjadi lebih dekat dengan tahun khas Jawa kuna asli.
Perbandingan Penanda Waktu Antara Tahun Masehi, Tahun India, dan Tahun Śaka
Taběh Dalam Tahun Śaka
Sistem 8 Taběh Dalam Tahun Śaka
C. Musim
Sementara itu untuk musim, Zoetmulder mencatat bila penyair Jawa kuna cukup mahir dalam bahasa Sansekerta, sehingga ia maklum bahwa basanta berarti musim semi, musim penuh bunga, dan kadang-kadang ia mempergunakan kata itu menurut arti tersebut. Tetapi bulan cetra (kasanga) dan weśakha (kasapuluh) yang di India bertepatan dengan musim basanta, dalam sastra kakawin tak pernah dihubungkan musim semi. [14] Bagi penyair Jawa kuna, bulan terbaik di Jawa yang dapat dikatakan setara dengan musim semi di India adalah bulan kārttika atau kapat, bulan yang keempat (Oktober-Nopember). Ia disebut bulan penuh keindahan (kalangwan), bulan yang paling disukai oleh semua orang yang mencari keindahan (mangӧ). [15] Demikian pula musim-musim lainnya. Semua itu semakin menunjukkan bila Tahun Śaka tidak berasal dari India.
Tahun Śaka lebih dekat dengan penanggalan kaum tani. Penanggalan yang telah ada jauh sebelum keberadaan Tahun Śaka. Baik itu waktu, pembagian satu hari alamiah, dan musim. Tahun Śaka sepertinya hanya merubah nama bulan asli Jawa kuna menjadi nama bulan Sansekerta. Dengan demikian, Tahun Śaka dapat dikatakan sebagai sebuah penanggalan Jawa kuna dengan merubah padanan kata bulan asli Jawa kuna ke bulan Sansekerta India.
Perbandingan Nama Bulan India, Petani Jawa Kuna dan Masehi
- Penulisan Tahun Śaka dan Pra Śaka
Dalam tradisi filologis, dikenal adanya sistem penulisan Tahun Śaka dan Pra Śaka. Hal ini misalnya dicatat dalam kakawin Nāgarakṛtāgama. Dalam Tahun Śaka diawali dengan angka kecil sementara itu Tahun Pra Śaka diawali angka besar. Dalam Nāgarakṛtāgama, Tahun Pra Śaka dicatat dihadirkan untuk mengisahkan kematian Pandawa.
Nāg. 43.1.1-2
liɳ niɳ çastra narendra pandawa rika dwapara nuni prabhu,
gogendu tri lawan/ çakabdi diwaçanyantuknireɳ swahpada,
‘Kata-kata dari buku pelajaran adalah: Pangeran Pandawa berada di (zaman) Dwapara, raja di masa lalu.
Ternak-pegunungan-bulan-tiga (3179 Ś) bergabung dengan tahun Śaka adalah saat mereka pulang ke tanah Surga’.
Sementara itu, Tahun Śaka dalam Nāgarakṛtāgama paling awal dicatat untuk mengisahkan berpisahnya Jawa dengan Madura.
Nāg.15.2
kunaɳ tekaɳ nusa madura tatan ilwiɳ parapuri,
ri denyan tungal / mwaɳ yawadarani rakwaikana danu,
samudra nangung bhumi kta çaka kalanya karnö,
teweknyan dadyapantara sasiki tatwanya tan adoh.
‘Perihal pulau Madhura, ini tidaklah sama dengan kerajaan-kerajaan yang lain,
Karena (pada mulanya ia) bersatu dengan tanah Jawa pada waktu lampau,
Lautan-Menahan-Bumi (124 Ś = 202 M) begitulah perhitungan tahun Śaka, waktunya kabarnya,
Pada saat itu mereka terpisah menjadi dua. Namun demikian mereka pada hakekatnya tetap satu
tak berjauhan satu sama lain’.
Sistem penulisan Śaka dan Pra Śaka tersebut mengingatkan pada sistem penulisan Tahun Masehi, yaitu: Pra Masehi dan Masehi. Pra Masehi diawali tahun besar, misalnya untuk mengisahkan terjadinya kisah Musa di Mesir.
Penggunaan Pra Śaka dan Śaka Dalam Khazanah Jawa Kuna
Informasi Nāgarakṛtāgama di mana Pandawa meninggal tahun 3179 Ś (3101 SM?) pada era Dwapara atau era sebelum era Kaliyuga merupakan informasi yang menarik. Informasi ini berbeda dengan informasi perhitungan P.V. Vartak dan prasasti Aryabhata dan Aihole. Menurut perhitungan P.V. Vartak, era Kaliyuga dimulai sejak 5561 SM.
Era Dwapara sebagaimana yang digunakan Prapañca lebih dekat dengan informasi pada prasasti Aryabhata dan Aihole, di mana era Kaliyuga dimulai sejak 3137 SM [16] sehingga era Dwapara tentu lebih awal dari itu. Hanya saja, karena menurut Vinod K Mishra dalam The Calendars of India, masa Kaliyuga ditandai dengan Peristiwa Perang Mahabarata, Penobatan Raja Yudhisthira, Penobatan Raja Pariksita, dan Menghilangnya Dewa Krsna, [17] maka informasi tersebut menjadi berbeda. Hal ini karena dalam Nāgarakṛtagāma, Pandawa meninggal pada era Dwapara akhir, bukan era Kaliyuga.
Informasi Vinod K Mishra dicatat memiliki kemiripan dengan Vedveer Arya dalam “The Chronology of India: From Manu to Mahabharata”. Sekalipun era Dvāpara Yuga dicatat tahun (5577-3176 SM) dan era Kaliyuga dimulai tahun (3176 SM), [18] namun tenggelamnya era kota Dwārakā dalam tsunami dicatat tahun (3126 BCE), tahun di mana dalam kisah Mahabharata Pandawa masih hidup. Jika diperbandungkan dengan catatan yang digunakan Prapañca, maka kembali dapat dikatakan bila kedua informasi tersebut berbeda.
- Hubungan Kisah Aji Saka Dengan Kisah Lang-ga Dalam Sejarah Dinasti Liang (502-557)
Dengan adanya perbedaan antara Tahun India dan Tahun Śaka, maka kisah Raja Saliwahana ataupun Raja Kaniskha I yang selama ini dipercaya sebagai pendiri Tahun Śaka, menjadi tidak tepat. [19] Hingga saat ini, kisah Raja Saliwahana ataupun Raja Kaniskha I selalu dianggap para sejarawan Indonesia menjadi perwujudan dari Legenda Aji Saka yaitu sebagai kisah masuknya bangsa India ke Jawa. Sekalipun dianggap sebagai kisah masuknya bangsa India ke Jawa, uniknya Legenda Aji Saka sesungguhnya merupakan kisah Jawa Baru.
Menurut Poerbatjaraka (1952: 122) cerita Aji Saka tercantum dalam Serat Manikmaya karya Kartamursadah. Di dalam Serat Manikmaya-Kartamursadah itu terdapat tokoh “Empu Sangka Adi” yang kemudian menjadi “Aji Saka” dalam teks yang lebih muda. [20] Kisah Aji Saka juga dicatat dalam Serat Momana, yang antara lain tersimpan di Museum Sono Budoyo, Yogyakarta, [21] atau dicatat dalam Serat Aji Saka yang terdapat dalam kumpulan teks Suluk Plencung halaman 87-134, koleksi Badan Perpustakaan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. [22]
Legenda Aji Saka tidak pernah ditemukan relevansinya di dalam teks Jawa kuna. Legenda Aji Saka merupakan sebuah kisah yang menceritakan sebuah peristiwa di Kerajaan Medang Kamulan di Jawa pada masa lalu, di mana Raja Medang Kamulan Prabu Dewata Cengkar diganti oleh Aji Saka. Aji Saka juga kemudian dipercaya memperkenalkan aksara, semasa dengan dimulainya tahun Saka yang bertepatan dengan tahun 78 Masehi (abad ke-l). [23]
Sekalipun tidak memiliki relevansi dengan teks Jawa kuna, kisah Aji Saka tersebut jika dilihat dari perbandingan teks dalam kajian filologis, ternyata memiliki relevansi secara lebih dekat dengan kisah yang diceritakan dalam Sejarah Dinasti Liang (502-557). Penduduk Lang-ga (Jawa), menyebut Kerajaan Lang-ga didirikan 400 tahun yang lalu. [24] Dinasti Liang berdiri pada tahun 502, sedangkan Kerajaan Lang-ga (Jawa) berdiri kurang-lebih mendekati tahun 78 M. Perhitungan tersebut dilihat dari tahun berdirinya Dinasti Liang yaitu tahun 502, dikurangi dengan informasi kerajaan Lang-ga didirikan yaitu 400 tahun sebelumnya, maka diperoleh tahun 102. Tahun 102 ini sekalipun tidak sama dengan tahun 78 M, namun dapat dikatakan jika informasi ini paling mendekati dimulainya penanggalan Śaka. [25] Lebih menarik lagi, ternyata kisah peralihan kekuasaan raja di Medang Kamulan sebagaimana catatan Kisah Aji Saka memiliki kemiripan dengan kisah penduduk Lang-ga menurut Sejarah Dinasti Liang (502-557).
Berikut ini Sejarah Dinasti Liang (502-557).
Dahulu kala, ada seorang raja yang kurang disukai rakyatnya. Raja ini memiliki seorang kerabat yang sangat pandai, sehingga rakyat mulai berpaling kepadanya. Ketika Raja mendengar hal tersebut, kerabatnya itu dia masukkan ke penjara. Pada saat dia dirantai, secara tiba-tiba rantai itu terputus dengan sendirinya. Akibatnya, Raja berpikir kerabatnya itu memiliki kekuatan gaib, dan akhirnya sang Raja tidak berani menyakitinya. Lalu Raja mengusir dia ke luar negeri. Kerabat raja ini pergi ke India. Di sana dia menikahi putri tertua negara itu. Beberapa waktu kemudian, Raja Lang-ga wafat dan penguasa yang dikucilkan itu diundang kembali oleh para bangsawan untuk menjadi raja mereka. Lalu dia meninggal 20 tahun setelah menjadi raja dan digantikan anak laki-lakinya yang bernama Pa-ga-da-duo. [26]
Kemiripan antara kisah Raja Medang Kamulan di Kisah Aji Saka dengan Raja Lang-ga di sini, ialah sama-sama tidak disukai rakyatnya. Kedua raja itu juga bermusuhan dengan calon penggantinya. Calon pengganti mereka pun sama-sama pernah hidup di India. Aji Saka dianggap berasal dari India, sementara kerabat Raja Lang-ga diusir sehingga hidup dan menikah dengan putri tertua negara di India. Setelah kematian raja yang tidak disukai rakyat, calon pengganti yang dikucilkan tersebut menjadi raja. [27] Kemungkinan besar Kerajaan Lang-ga merupakan istilah dialek Cina untuk Medang. [28] Adanya pola kemiripan kisah tersebut menunjukkan bahwa jauh sebelum masa Dinasti Liang, Jawa telah memiliki organisasi pemerintahan, bahkan sebelum tahun 78, sebagai tahun permulaan kalender Śaka.
Bahwa kerajaan Medang tidak hanya dimulai pada masa Sanjaya, juga didukung oleh prasasti Canggal tahun 732. Sanjaya dicatat menggantikan pamannya bernama Sanna. Dengan demikian kerajaan Medang telah ada sebelum tahun 732.
Selain dicatat dalam Sejarah Dinasti Liang, awal kerajaan Jawa juga dicatat pada Sejarah Dinasti Ming. Menurut catatan Sejarah Dinasti Ming, kerajaan Jawa didirikan pada masa dinasti Han. Dinasti Han berdiri dalam 2 periode. Periode tahun 202 SM—9 M dan tahun 25—220 M.
Menurut Sejarah Dinasti Ming (1368-1643), disebutkan sebagai berikut. Ketika mereka datang menyampaikan upeti tahun 1432 mereka juga menyampaikan surat. Di dalamnya dinyatakan bahwa negara mereka didirikan 1376 tahun sebelumnya atau tahun pertama tarikh Yuankang pada masa Kaisar Xuandi dari Dinasti Han (65 SM). [29]
Informasi tersebut menunjukkan bahwa kerajaan Jawa yang dimaksud adalah kerajaan Medang. Kerajaan yang mengalami pergolakan pada tahun (78 M) atau tahun 102 M sebagaimana catatan Sejarah Dinasti Liang. Bila kembali merujuk pada informasi Sejarah Dinasti Liang dan Sejarah Dinasti Ming, kerajaan Jawa terbagi menjadi dua. Yaitu, kerajaan Lang-ga sebelum raja Lang-ga yang mengusir kerabatnya meninggal dan masa kerabat raja Lang-ga yang diusir dan menikah dengan putri tertua negara India menjadi Raja Lang-ga serta berputra Pa-ga-da-duo.
Sangat dimungkinkan masa pemerintahan kerabat Raja Lang-ga yang menikah dengan putri tertua negara India dan melahirkan putra bernama Pa-ga-da-duo inilah yang merubah penanggalan kaum tani menjadi Tahun Śaka. Di mana perubahan ini hanya merubah nama-nama bulan yang ada dalam tradisi penanggalan Jawa kuna menjadi nama-nama bulan dalam tradisi Sansekerta dengan dicantumkan adanya nama tahun dari perubahan tersebut dimulai.
Informasi Sejarah Dinasti Liang (502-557) yang memiliki kedekatan dengan peristiwa sejarah rakyat Lang-ga ini, dalam kajian sejarah memiliki nilai yang lebih baik dari pada informasi yang tidak memiliki kedekatan dengan peristiwa yang terjadi. Dalam hal ini, Serat Manikmaya, Serat Momana, dan Serat Aji Saka. Ketiga serat yang ditulis pada era Jawa Baru ini, dicatat ditulis jauh dari berlangsungnya cerita penduduk Lang-ga sehingga dimungkinkan adanya kekaburan informasi. Terbukti misalnya, ketiga serat tersebut menghadirkan kisah-kisah selepas tahun 78 M, yang ditandai dengan adanya warna Islam. Warna yang seharusnya belum ada di tahun 78 M. Karena itu dapat dikatakan bila informasi Sejarah Dinasti Liang (502-557) menjadi lebih valid informasinya daripada ketiga serat yang ada.
Dari hal tersebut, maka informasi sosok ‘Aji Saka’ berasal dari India menjadi tidak benar. Kisah Aji Saka yang dihubungkan dengan kisah Raja Saliwahana dan Raja Kaniskha I terbukti tanpa dasar. Sosok ‘Aji Saka’ tidak lain adalah sosok ‘kerabat Raja Lang-ga’ yang berasal dari Lang-ga sendiri. Bila dihubungkan kembali informasi antara Tahun Śaka menurut informasi filologis dengan Sejarah Dinasti Liang (502-557) tentang kisah penduduk Lang-ga, keduanya ternyata saling berhubungan. Tahun Śaka yang menurut informasi filologis bukan Tahun India, namun asli Jawa kuna didukung realitas bahwa sosok ‘Aji Saka’ adalah ‘kerabat Raja Lang-ga’. Hadirnya nama bulan India mengganti nama bulan asli Jawa kuna pada Tahun Śaka memiliki korelasi dengan kehadiran istri ‘kerabat Raja Lang-ga’ sebagai putri tertua negara India. Hanya saja nama bulan tersebut tidak mempengaruhi seluruh sistem penanggalan asli Jawa kuna yang ada.
- Tahun Śaka Jawa Kuna Dan Tahun Śakānta India
Di India, Raja Śālivāhana disebut sebagai pencetus Era Śaka atau tokoh yang mendirikan zaman era Śālivāhana. Legenda Raja Śālivāhana dicatat dalam Śālivāhana Charita. Śālivāhana adalah cucu dari seorang Kśatriya, Lāṭa Simha, yang bertempat tinggal di Pratiṣṭhāna-nagara di tepi Sungai Narmadā. Śālivāhana lahir dari putrinya Śaśikalā oleh Takśaka, salah satu dari delapan naga yang mengambil wujud suaminya selama ketidakhadirannya. Śaśikalā karena takut akan kemarahan sosial menempatkan putranya di dalam pot tanah tertutup dan membuangnya ke Sungai Narmadā. Seorang pembuat tembikar mengambil periuk itu sambil mengapung di sungai dan membawa bayi itu ke rumahnya. Anak itu dibesarkan di rumah pembuat tembikar dan kemudian menjadi maharaja Śālivāhana. [30]
Sementara itu menurut Naskah Chola Pūrva Patayam (sejarah Chola kuna) dalam bahasa Tamil yang dikumpulkan oleh Mackenzie, terdapat catatan yang menarik tentang Raja Śālivāhana. Dinyatakan bahwa Śālivāhana lahir di Ayodhyā (mungkin, sebuah kesalahan untuk Ambavatī atau Amarāvatī di dekat Pratiṣṭhāna sebagaimana disebutkan dalam Śālivāhana-Charita) di rumah pembuat tembikar dengan restu Ādi Śeṣa. Ia menaklukkan Vikramāditya dan menaklukkan negara Ayodhyā (Avanti?). Śālivāhana juga disebut sebagai Bhoja. Kemungkinan besar, ia berasal dari klan Bhoja kuna di India tengah. Ia kemudian mendirikan sebuah era yang disebut sebagai era Śālivāhana. Tercatat juga bahwa Śālivāhana adalah seorang Śamana, pemuja Sarveśvarer (pemuja Ādi Śeṣa). Pada masanya, terjadi kekacauan besar. Fanes kuna, ritus dan institusi diabaikan. Dia menggulingkan semua hak istimewa yang berasal dari Raja Vikramāditya. Tiga raja, Vīra Chola dari Chola, Ulara Cheran dari Chera dan Vajrāṅga Pāndyan dari Pāndya berkumpul dan bersumpah untuk menghancurkan Śālivāhana. Akhirnya, ketiga raja ini bersatu melawan dan membunuh Śālivāhana pada Kali tahun 2443 (659 SM). Ain-i-Akbari dari Abul Fazal memberikan tanggal Raja Śālivāhana sekitar 670 SM. Jyotirvidābharaṇam Kālidāsa (34 SM) juga menyebutkan Raja Śālivāhana yang mendirikan sebuah era. [31]
Dengan kisah tersebut, Vedveer Arya menyebut ada dua zaman yang menggunakan Śaka sebagai nama tahun. Pertama. Zaman era Śaka yang dimulai dari penobatan raja Śaka pada tahun 583 SM. Era yang dimulai dari penobatan raja Śaka ini, disebut sebagai “Śaka-nṛpa-kāla”, “Śaka-varṣa”. Kedua. Zaman Śakānta yang dimulai pada tahun 78 M. Zaman ini dimulai dari akhir era Śaka, dan selain disebut sebagai “Śakānta” juga disebut sebagai “Śaka-nṛpa-kālātīta” yang berarti ‘tahun-tahun dari akhir era raja Śaka’.
Menurut Vedveer Arya, penanggalan zaman Śaka (583 SM) ada hingga abad ke-15 Masehi. Misalnya, sebagai berikut. Prasasti Hoysala Raja Ballāla bertanggal Śaka 1919 (1336 M). Prasasti Nilavara Mallikārjuna bertanggal Śaka 1975 (1392 M) dan juga prasasti yang ditemukan di desa Bittaravalli, Belur taluka, Karnataka bertanggal Śaka 2027 (1444 M) [Śakavarṣāda 2027 neya Ānanda Saṁvatsara Bhādrapada śuddha padiva śukrav āradandu]. Menariknya, tahun 1919, 1975 dan 2027 pada zaman Śakānta atau Śakakālātīta (78 M) akan menjadi tahun 1997, 2053 dan 2105. Ternyata, penanggalan ketiga prasasti ini tidak dapat dijelaskan pada zaman Śakānta atau Śakakālātīta (78 M). [32]
Sementara itu referensi paling awal tentang era Śaka (583 SM) ditemukan di bab terakhir Yavanajātaka. Salah satu ciri utama Yavanajātaka adalah penggunaan Yuga matahari atau siklus astronomi 165 tahun. Menunjukkan tanggal zaman Yuga matahari 165 tahun dengan mengacu pada era Śaka, dinyatakan bahwa saat ini tahun ke-56 era Śaka, pada hari Minggu, awal tahun itu adalah awal dari Yuga dari matahari. Mempertimbangkan zaman era Śaka pada 583 SM, tahun ke-56 adalah 528-527 SM. Tanggalnya adalah 12 Maret 528 SM, Minggu (Rabu dalam kalender Julian) saat Matahari dan Bulan bersamaan pada derajat pertama Meśa (Aries). [33]
Untuk zaman Śakānta, Vedveer Arya tidak dicatat siapa yang mendirikannya. Ia hanya menyebut zaman Śakānta atau Śakakālātīta diperkenalkan oleh para astronom India pada tahun 78 M. [34] Zaman era Śaka-nṛpa-kālātīta (78 M) sendiri, mulai mendapatkan popularitas di India Selatan sejak abad ke-8 M dan seterusnya. Popularitasnya kemudian dicatat mampu membuat orang India melupakan zaman era Śaka (583 SM). Bahkan saat Beruni mengunjungi India pada abad ke-11 M, para astronom India disebut umumnya hanya mengetahui satu zaman astronomi dari era Śaka, yaitu pembunuhan raja Śaka yang dimulai pada 78 M. [35]
Bila melihat Tahun India khususnya zaman Śakānta atau Śakakālātīta kemudian membandingkannya dengan Tahun Śaka, maka dapat dikatakan ada kemiripan antara keduanya. Pertama. Sama-sama dimulai tahun 78 M. Tahun Śaka tidak ada yang merujuk pada penanggalan Tahun India zaman Śaka (583 SM). Misalnya saja sebagai berikut. Nāg.49.1.1: ring śakabdendu bana dwi rupa (1251). Prasasti Waŋwaŋ Baṅēn: [36] swastī śakawarṣatīta, 746. Prasasti Kuṭi: [37] swasti śakawarṣatīta, 762. Tahun-tahun Śaka tersebut dalam tahun Masehi ditambah 78 sehingga menjadi 1329, 824, dan 840.
Kedua. Pada Tahun India zaman Śakānta atau Śakakālātīta digunakan kata atīta. Misalnya: dalam lempengan Surat Rāṣṭrakūṭa Karkarāja dan lempengan Kauthem milik Raja Chālukya Barat Vikramāditya (Śaka-nripa-kālātita saṁvatsara-śateṣu…. atīteṣu), “Yaṣastilaka Campū” dari Somadeva Suri (Śaka-nripa-kālātita-saṁvatsara-śateṣu…. gateṣu) dan “Lakśaṇāvati” dari Udayana (Atīteṣu Śakāntataḥ varṣeṣu). [38] Dalam Tahun Śaka juga menggunakan kata atīta. Misalnya: swastī śakawarṣatīta, 746 (Prasasti Waŋwaŋ Baṅēn), swasti śakawarṣatīta, 762 (Prasasti Kuṭi), dan svasti śakravarṣātīta, 1208 (Prasasti Padang Arca, 1286). [39]
Hanya saja berbeda dengan Tahun India zaman Śakānta atau Śakakālātīta yang menggunakan kata Śaka-nṛpa-kālātīta” yang berarti ‘tahun-tahun dari akhir era raja Śaka’, Tahun Śaka umumnya menggunakan kata śakawarṣātīta. Kata ini dibentuk dari kata śaka, warṣa (tahun), dan atīta (telah dilewati), sehingga kalimat itu kurang lebih berarti ‘tahun Śaka telah dilewati’. [40] Kata śakawarṣātīta yang kemudian diikuti angka tahun, sepertinya menginformasikan bahwa angka tahun yang dihadirkan kemudian merupakan angka tahun yang melewati tahun Śaka. Tahun awal melewati tahun Śaka dicatat tahun 1 atau 78 M. Informasi ini berbeda dengan informasi ‘tahun-tahun dari akhir era raja Śaka’ pada Tahun India zaman Śakānta atau Śakakālātīta. Śakawarṣātīta dalam Tahun Śaka lebih bermakna umum dan tidak berhubungan dengan kisah akhir era raja Śaka.
Namun demikian dalam beberapa prasasti, Tahun Śaka juga menggunakan kata pembuka ‘śri śakawarṣātīta’. Misalnya: Prasasti Kedukan Bukit, [41] Prasasti Trowulan, [42] Prasasti Wijaya Parakrama Wardana, [43] Prasasti Pedukuhan Duku, [44] Prasasti Jiyu 1, [45] dan Prasasti Jiyu 2. [46] Penggunaan kata ‘śri śakawarṣātīta’ ini, dapat dikatakan memiliki kemiripan pengertian pada penggunaan kata Śaka-nṛpa-kālātīta. Selain itu, juga digunakan kata pembuka ‘‘śri śakawarṣa i śaka’. Misalnya, Prasasti Kertarajasa 1305 M. [47] Istilah terakhir ini sesungguhnya dapat disebut mengacu pada pengertian ‘Śaka-varṣa’, yaitu Tahun India era Śaka (583 SM). Hanya saja karena hingga saat ini semua Tahun Śaka dimulai tahun 78 M, maka pengertian ‘Śaka-varṣa’ tidak ada.
Dari banyak kata pembuka yang ada dalam prasasti, kata ‘śakawarṣātīta’ dapat dikatakan menduduki tempat paling banyak digunakan. Semua itu menunjukkan bila Tahun Śaka pada awalnya memang seperti didesain dimulai dari melewati Tahun India zaman Śaka (583 SM), yang di India ada hingga abad ke-15 Masehi. Śakawarṣātīta dalam tradisi penulisan prasasti di Jawa kuna seperti menjadi nama tarikh baru lepas dari Śakawarṣa sebagai Tahun India zaman Śaka (583 SM).
Pada penulisan penanggalan pada tradisi filologis, kata ‘pembuka’ śakawarṣātīta tidak digunakan. Misalnya Nāg.1.4.1: ring śaka ṛttu śarena rakwa. Meskipun demikian, Prapañca sebagai penulis penanggalan tradisi filologis kakawin tersebut, tidak merujuk menggunakan Tahun India zaman Śaka (583 SM). Ia tetap mengacu pada makna menurut Tahun India zaman Śakakālātīta sebab tahun tersebut berarti 1256 Ś atau 1334 M. Dalam Tantu Panggelaran, istilah Śaka bahkan sama sekali tidak disebut. Misalnya: ṛṣi pandawa buta tunggal (1557). Namun demikian pengertian penulisan tahun tersebut, tetap merujuk Tahun Śaka atau sama dengan Tahun India zaman Śakakālātīta. Para penulis penanggalan pada tradisi filologis seperti telah menganggap semua tahun yang ditulis serta Tahun Śaka identik sebagai Tahun Jawa kuna yang dimulai tahun 78 M. Oleh karena itu, ia tidak perlu lagi memberi penjelasan kata ‘pembuka’ śakawarṣātīta sebagaimana yang selalu dihadirkan pada penulisan penanggalan tradisi arkeologis.
Adanya kemiripan antara Tahun Śaka dengan Tahun India zaman Śakānta atau Śakakālātīta khususnya pada awal perhitungan tarikh dan penggunaan kata atīta, melahirkan pertanyaan kemudian tahun mana yang terlebih dahulu digunakan? Vedveer Arya dengan tegas menyebut (Tahun India) zaman Śakānta atau Śakakālātīta diperkenalkan oleh para astronom India pada tahun 78 M dan mulai mendapatkan popularitas di India Selatan sejak abad ke-8 M sehingga mampu membuat orang India melupakan (Tahun India) zaman era Śaka. Sekalipun demikian, (Tahun India) zaman era Śaka tetap ada hingga abad ke-15 Masehi. Kala Vedveer Arya mencatat bila ia diperkenalkan oleh para astronom India, sementara ia dapat hadir di piagam-piagam resmi kerajaan, maka tentu diperlukan ada kekuasaan yang mampu membuat hal tersebut terjadi. Sayangnya Vedveer Arya tidak memberi penjelasan tentang hal tersebut. Karena itu mungkinkah Tahun India zaman Śakānta atau Śakakālātīta sesungguhnya bukan berasal dari India?
Menariknya adanya pengaruh kekuasaan asing dalam hal ini Jawa di India masa lalu, baik secara langsung atau tidak, dicatat pada beberapa catatan filologis dan arkeologis. Kisah Lang-ga sebagaimana informasi Sejarah Dinasti Liang (502-557) misalnya. Pada kisah tersebut dikisahkan kerabat raja Lang-ga yang dikucilkan dicatat menikah dengan putri tertua negara India serta kemudian disebut sebagai penguasa (India) sebelum diminta para bangsawan Lang-ga kembali ke Lang-ga untuk menjadi raja Lang-ga menggantikan raja Lang-ga yang meninggal. Kerabat raja Lang-ga tersebut, disebut sebagai sosok asli dari tokoh yang dikisahkan dalam Legenda Aji Saka. Tokoh yang memperkenalkan aksara semasa dengan dimulainya tahun Saka yang bertepatan dengan tahun 78 Masehi (abad ke-l). [48]
Selain itu, prasasti Nalanda juga mencatat adanya pengaruh kekuasaan Jawa di India. Prasasti yang ditemukan oleh Hirananda Shastri pada tahun 1921 di ruang depan Biara Nalanda, Bihar-India ini, menjelaskan tentang raja Devapaladeva dari Kerajaan Palla (Bengala-India) diperintah Sri Maharaja dari Swarnadvipa (Sriwijaya) membangun sebuah biara Buddha di Nalanda. Selain itu, dicatat juga pernyataan bahwa lima desa di Calcutta-India dibebaskan dari pajak untuk keperluan misi agama Buddha Kerajaan Sriwijaya di India. Sri Maharaja dari Swarnadvipa (Sriwijaya) ini dicatat merupakan keturunan Syailendra dari Jawa. Prasasti Tajore tahun 1005 juga mencatat penguasa Kedah (Raja Sriwijaya Sri Mara-Wijayottunggawarman dari Wangsa Sailendra) membangun biara di Negapatnam, [49] yaitu sebuah kota di Negara Bagian Tamil Nadu, India. Adanya perintah Sri Maharaja dari Swarnadvipa (Sriwijaya) dan pembangunan biara di Negapatnam oleh Raja Sriwijaya tersebut, menunjukkan adanya pengaruh kekuasaan lanjutan dari kerabat raja Lang-ga menurut Sejarah Dinasti Liang (502-557).
Pada Prasasti Jayanagara II (1323), Raja Jayanegara dicatat bergelar śrī Suṇdarapāṇdyadewâdhîswara nāma rājâbhiṣeka: … sakala sujana nika rahṛdaya kumuda wīkaśa niśākara, akila pratipaksa niśandha karakṣa yadiwākara, wipraksatrôbhaya kula wiśuddha, śrī Suṇdarapāṇdyadewâdhîswara nāma rājâbhiṣeka. [50] Gelar ini menurut H.B. Sarkar (Journal GIS, Juli 1935:132), menandakan bahwa Raja Jayanegara memegang kekuasaan tertinggi (suzerainty) atas raja Pandia di India Selatan yang bernama Sundarapandya. [51] Prasasti Tajore tahun 1005 juga mencatat penguasa Kedah (Sriwijaya) membangun biara di Negapatnam. [52]
Demikian pula dalam catatan Nāgarakṛtāgama. Prapañca mencatat adanya utusan pendeta India ke Majapahit. Nāg 83.4: hentunyanantara sarw[w]ajana t(ĕ)ka sakeng anyadeśa prakīrṇ[n]a, nang Jambudwipa K[h]amboja Cina Yawana len Cĕmpa K[h]arṇ[n]ātakadī, Goḍa mwang Syangka tang sangkanika makahawan potra milwing waṇik[h] sök, bhikṣu mwang wipra mukyān hana t(ĕ)ka sinungan bhoga tuṣṭan panganti. [53] Para pendeta itu dicatat membuat stuti untuk Raja Rajasanagara. Salah satunya pendeta śrī Mutali Sahṛdayāwat dari Kañcipurī, Ṣadwihāra.
Nāg. 93.1: sakweh sang pandita ng anyadharaṇi mangik(ĕ)t kāstawan śrī narendra, śrī Buddāditya sang bhikṣwagaway i sira bhogaw[w]ali śloka kirṇ[n]a, ring Jambudwīpa tongwānira mangaran i Kañcipurī Ṣadwihāra, mwang sang wiprā ngaran śrī Mutali Sahṛdayāwat stuti śloka śūddha. ‘Semua pendeta yang terhormat di kerajaan-kerajaan lain mengarang puisi untuk memuji Sri Raja; Sri Budhāditya, biksu yang terhormat, karyanya adalah Bhogawali dalam bentuk śloka, banyak variasi; Di India sekarang tempatnya bernama Kañcipurī, Ṣadwihāra; Dan brahmana terhormat bernama Sri Mutali Sahṛdaya mengalunkan puji- pujian dalam bentuk śloka asli.
Tentu masih banyak catatan lainnya. [54] Hubungan pengaruh tersebut sebenarnya tidak lepas dari penguasaan perdagangan rempah-rempah pada masa lalu, yang dikuasai Jawa. Menurut Duarte Barbosa hingga awal abad ke-16, kapal-kapal Jawa menjadi pelaku perdagangan rempah utama yang berlayar dari Nusantara ke Tenasserim, Pegu, Bengal, Palicat, Coromandel, Malabar, Cambay, dan Aden. [55] Penguasaan tersebut, mendorong Jawa untuk memiliki pengaruh kekuasaan di berbagai negeri termasuk India untuk memajukan dan melindungi perdagangannya. Dalam sejarah Jawa kuna penduduk India juga dicatat tinggal di Jawa dalam komunitas khusus di wilayah sekitar pelabuhan dalam kaitannya dengan perdagangan rempah. Mereka terlarang untuk melakukan aktivitas di luar komunitas tersebut. Mereka disebut sebagai wargga kilalān. Menurut Prasasti Cane 1021, wargga kilalān meliputi: kling aryya singhala pandikira drawida campa kmir rmen mambang … Artinya, “Kling (daerah di India Selatan), Aryya (India Utara), Srilangka, Pandikira, Dravida, Campa (kerajaan di Vietnam), Khmer (Kamboja), Rmen, Mambang …” Sementara itu dalam Prasasti Turun Hyang A, wargga kilalān meliputi: kling, aryya, singha … karnataka … campa, remba … Artinya, “Kling (daerah di India Selatan), Aryya (daerah di India Utara), Srilangka, Karnnataka (daerah di India Tengah), Campa (daerah di Vietnam), Remba …”.
Dengan demikian, pengaruh kekuasaan Jawa di India pada masa lalu menjadi sesuatu nyata. Pengaruh ini tentu dapat menimbulkan hubungan timbal balik. Termasuk dalam Tahun Śaka misalnya. India memberi pengaruh masuknya nama-nama bulan pada Tahun Śaka dan nama Śaka sebagai nama tarikh, namun Tahun Śaka dalam hubungan selanjutnya mampu memberi pengaruh bagi India dalam hal penentuan awal tarikh baru. Semua berhubungan dengan meningkatnya pengaruh kekuasaan Jawa di India. Awal tarikh Tahun Śaka adalah awal tahun yang menutup zaman era Śaka (583 SM).
- Tahun Śaka Sebagai Bukti Keberadaan Sejarah Kerajaan Awal Jawa
Zoetmulder dengan tegas menyebut bila prasasti Sukabumi merupakan tonggak yang mengawali sejarah Bahasa Jawa kuna. Prasasti Sukabumi merupakan piagam pertama yang mempergunakan bahasa Jawa kuna dan sejauh ada kaitannya dengan Bahasa Jawa kuna, jaman sebelum tahun 804 merupakan pra-sejarah. [56]
Pernyataan Zoetmulder tersebut pada dasarnya merupakan pandangannya berdasar sisi arkeologis semata. Sebuah pandangan yang tentu saja menafikan sisi filologis. Dalam tradisi sejarah, penggunaan sisi filologis dan sisi arkeologis setara. Hanya saja saat terjadi perbedaan antara sisi filologis dan sisi arkeologis, maka sisi arkeologis lebih diutamakan. Penggunaan sisi filologis dalam tradisi sejarah misalnya adalah penggunaan catatan sumber-sumber filologis dari Arab atau Eropa. Baik catatan Ibn Khordazbeh (844), Ibn Al-Fakih (902), Abu Zayd (916), Mas’udi (943), Dimaski (1325), Ibn Batutta, dan Odorico da Pordenone (1286–1331), sebagai contohnya. Selain itu, Catatan Sejarah Dinasti di China. Catatan Sejarah Dinasti bahkan sangat unik. Informasi sisi filologis yang ada tidak dinafikan namun bahkan kemudian dicarikan bukti dari sisi arkeologisnya, termasuk untuk kisah yang disebut sebagai biografi Cheng Ho.
Sistem penulisan sebagaimana tradisi sejarah tersebut, ternyata seperti diabaikan pada sistem penulisan sejarah Indonesia. Penulisan sejarah Indonesia seperti melakukan standar ganda dalam sistem penulisan sejarahnya. Uniknya, pandangan Zoetmulder ternyata juga merupakan pandangan mainstream sejarawan Indonesia. Dalam penentuan kerajaan tertua Indonesia misalnya, semua hanya didasarkan pada sisi arkeologis. Kerajaan Kutai sebagai contohnya, diangkat sebagai kerajaan tertua di Indonesia didasarkan pada temuan sisi arkeologis. Ia didasarkan pada penemuan tujuh buah Prasasti Yupa yang ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman, pedalaman Sungai Mahakam di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.
Sementara itu banyak temuan sejarah berdasar sisi filologis dikesampingkan. Salah satu contohnya adalah Tahun Śaka. Tahun asli Jawa kuna yang dimulai tahun 78 M ini tidak dianggap sebagai tonggak yang mengawali sejarah Bahasa Jawa kuna. Demikian pula catatan filologis Sejarah Dinasti Liang (502-557) yang memperkuat asal usul Tahun Śaka dan catatan Sejarah Dinasti Ming (1368-1643), yang menginformasikan ‘bahwa negara mereka (Jawa) didirikan 1376 tahun sebelumnya atau tahun pertama tarikh Yuankang pada masa Kaisar Xuandi dari Dinasti Han (65 SM)’. [57] Semua itu menunjukkan penghadiran sejarah dengan hanya mendasarkan sisi arkeologis dalam sejarah Indonesia, sesungguhnya bukan tengah menghadirkan sejarah namun menghilangkan sejarah nasional Indonesia.
Dari hal tersebut, maka sudah seharusnya standar ganda dalam sistem penulisan sejarah Indonesia dihapuskan. Sudah saatnya sumber filologis digunakan untuk menghadirkan sejarah nasional Indonesia yang utuh. Hal ini dapat dimulai dengan memasukkan Kerajaan Medang sebagai kerajaan tertua Indonesia dan Tahun Śaka menjadi tonggak yang mengawali sejarah bahasa Jawa kuna.*
Catatan:
1 M. Yamin I, 1962:206.
2 Terjemahan itu adalah terjemahan M. Yamin. Lihat M. Yamin I, 1962:211. Hanya saja kalimat pembuka disesuaikan dengan Kamus Jawa Kuna Zoetmulder. Teks asli berbunyi: Selamatlah! Pada tahun Śaka 1216. Terjemahan M. Yamin seperti mengabaikan kata atîta dalam kata warṣatîta. Terjemahan lain: Selamat tahun Saka yang telah berlalu, Tahun 1216, Bulan Bhadrapāda, Tanggal (hari ke-) 52. Paro gelap bulan, Hari Hariyang Umanis Saniscara (Sabtu Legi), Wuku Medangkungan, Saat kedudukan matahari di barat laut, Saat kedudukan bulan di tempat Rohiṇi, Dewa penguasanya Prajāpati, dan (bumi) pada lingkaran Māṇḍala milik Mahendra (orbit timur), Yoganya solar dan lunar adalah Siddhi, Muhurta pada pukul Werajya, Parwesanya Yama, Karananya Tetila. Benda-benda langit terletak pada rasi bintang Kanya’.
3 Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, 1999:72.
4 Casparis, 1978:56.
5 Vedveer Arya, 2019:13.
6 Darsono, 2010: 57, via Mujahidum Mutamakin, 2018: 42. Menurut J.F. Fleet dalam Śālivāhana and the Śaka Era, era Śaka didirikan oleh seorang raja Śālivāhana yang memerintah pada tahun 78 M di Pratishṭhāna, yang merupakan Paiṭhaṇ sekarang, di Gōdāvarī, di wilayah Nizam.
7 Lihat Mujahidum Mutamakin, 2018: 45.
8 Vedveer Arya, 2019:13. Bhāskarāchārya sebagai penulis Siddhānta Śiromaṇi, juga menyebutkan adanya era Śaka atau Śakābda sebelum tahun 78 Masehi.
9 Lihat Vedveer Arya, 2019:25.
10 Perbandingan Tahun India dengan Tahun Śaka, kami rangkumkan dari sub bab: Waktu dan Musim di Kalangwan. Lihat, Zoetmulder, 1985:241-248. Zoetmulder tidak mendeskripsikan Tahun India yang dimaksud. Sementara itu menurut Prabhakar Vyankatesh Holay dalam karya fenomenalnya Vedaanga Jyotisha ada empat era penanggalan di India, yaitu: Penanggalan masa Kaliyuga, Kalender Saptarshi Vatsara, Kalender Vikrama Samvat, Kalender Saka. Lihat, Najmuddin Saifullah dan Mega Suksma, 2022:30-33.
11 Zoetmulder, 1985:242.
12 Zoetmulder, 1985:270. Dalam Nāgarakṛtāgama, tanda waktu tidak hanya dilakukan di istana, namun pada berbagai wilayah termasuk wilayah yang dikunjungi Raja Rajasanagara kala melakukan perjalanan ke daerah. Misalnya: kāla ḍawuh tiga tang diwaśa, (Nāg. 58.3.1), eñjing rakwa khaping nĕm ing dina (Nāg. 66.1.1).
13 Bhagavad Gita 8.24 mencatat sebagai berikut. agnirjyotirahaḥ śuklaḥ ṣaṇmāsā uttarāyaṇam, tatra prayātā gacchanti brahma brahmavido janāḥ. Artinya: Fire, light, day-time, the bright fortnight, the six months of the northern solstice; following this path, men who know Brahman go to Brahman ‘Api, cahaya, siang, purnama dan enam musim matahari berada di Uttara (Uttarayana). Jika saat itu ajal tiba orang yang mengetahui Brahman pergi menuju pada Brahman’. Lihat, https://shlokam.org/bhagavad-gita/8-24/.
14 Zoetmulder, 1985:247-248.
15 Zoetmulder, 1985:247.
16 Najmuddin Saifullah dan Mega Sukma, 2022:31.
17 Lihat Najmuddin Saifullah dan Mega Sukma, 2022:30.
18 Vedveer Arya, 2019:12.
19 Menurut J.F. Fleet dalam Śālivāhana and the Śaka Era, disebutkan bahwa tidak ada penguasa yang terlacak dalam catatan mana pun di India Selatan dan di India Utara bernama Śālivāhana, atau semacamnya, telah ditemukan sebagai nama orang yang nyata, selain hanya di: (1) catatan pelat tembaga dari Negara Bagian Chambā, sekitar pertengahan abad ke-11, yang menyebutkan raja Sālavāhana sebagai ayah dari raja Sōmavarman yang berkuasa saat itu; lihat Kielhorn’s List of the Inscriptions of Northern India, Epi, Ind ., vol.5, Google Scholar, lampiran, No.593; dan sekarang lihat juga Vogel, ‘s Antiquities of Chambā State, hal.192: dan—Google Scholar. (2) Prasasti Rōhtāsgarh dari tahun 1631 M, yang menyebutkan seorang pangeran Tōmara Śālivāhana yang berkembang di Gwālior pada atau tepat sebelum tahun itu; lihat Kielhorn’s Northern List, No. 318. Semua itu menunjukkan bila informasi Śālivāhana di India sendiri terkait tahun 78 Masehi sebenarnya juga merupakan legenda, sebagaimana legenda Aji Saka di Jawa.
20 Slamet Riyadi, 2007:30.
21 Slamet Riyadi, 2007:37.
22 Slamet Riyadi, 2007:40. Kisah Aji Saka, baik yang tercantum dalam Serat Manikmaya, Serat Momana, dan Serat Aji Saka memiliki isi cerita yang berbeda-beda. Di dalam Serat Manikmaya salinan Panambangan, cerita Aji Saka terdapat dalam buku jilid II, pupuh Sinom (halaman 85) sampai dengan pupuh Durma (halaman 429) berisi kisah tentang Aji Saka melawan Prabu Dewatacengkar. Setelah menang, ia kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang dan bergelar Prabu Jaka. Selepas menjadi raja, anak Prabu Dewatacengkar yang bernama Daniswara menyusun kekuatan di Panungkulan untuk menaklukkan Medang yang dipimpin Prabu Jaka. Penyerangan itu berhasil. Daniswara kemudian bergelar Prabu Daniswara, Prabu Kaskaya, atau Prabu Sri Mahapunggung. Sementara itu dalam Serat Momana, sekalipun dengan detail yang berbeda, ending cerita mengisahkan cerita yang sama. Hanya saja setelah mengalahkan Prabu Dewatacengkar, Aji Saka bergelar Prabu Girimurti. Dan setelah berkuasa selama tiga tahun (1002-1005), pada tahun 1005 ia digulingkan oleh Daniswara. Daniswara kemudian menggantikan kedudukannya sebagai raja di Medang dengan gelar Prabu Mapunggung (Prabu Mahapunggung). Pada Serat Aji Saka, Aji Saka dikisahkan berguru dan menjadi Sahabat Nabi Muhammad.
23 Lihat Koentjoro, 1996:27 via Slamet Riyadi, 2007:8.
24 W.P. Groeneveldt, 2009:15.
25 Dimungkinkan jumlah tahun yang tercantum dalam kisah penduduk Lang-ga telah salah catat dan aslinya 424 tahun. Hal ini karena bila dihitung mundur 502-424 adalah 78. Kesalahan catat ini juga terjadi dalam Sejarah Dinasti Ming (1368-1643).
26 W.P. Groeneveldt, 2009:15.
27 Kemiripan yang terjalin ini sangat menarik. Bagaimana mungkin kisah yang dicatat sekitar abad 5 ini di dalam catatan Cina masih diingat hingga pada sekitar abad 18 sekalipun dengan format baru. Ini menunjukkan bila kisah tersebut benar-benar merupakan kisah yang sangat digemari dan bersejarah pada masa lalu.
28 Aji Saka merupakan kisah perlambang. Hal ini karena ia memuat kisah kejadian luar biasa, diluar kodrat manusia. Misalnya, ikat kepala yang ketika dibentangkan menjadi sangat panjang. Barangkali makna perlambang tersebut memiliki makna sebagaimana yang dicatat dalam Sejarah Dinasti Liang. Lihat Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, (Yogyakarta: Ragam Media, 2010).
29 W.P. Groeneveldt, 2009, hlm. 55-56. Kemungkinan jumlah tahun yang tercantum dalam surat itu telah salah catat dan aslinya 1497 tahun . Hal ini karena bila dihitung mundur 1432-1497 adalah -65 atau tahun 65 SM.
30 Vedveer Arya, 2019:32.
31 Lihat Vedveer Arya, 2019:32.
32 Vedveer Arya, 2019:25-26.
33 Vedveer Arya, 2019:26.
34 Vedveer Arya, 2019:30.
35 Vedveer Arya, 2019:37.
36 Prasasti Koleksi Museum Nasional 1, 1985:15.
37 Prasasti Koleksi Museum Nasional 1, 1985:16.
38 Vedveer Arya, 2019:16. … in the Surat plates of Rāṣṭrakūṭa Karkarāja and the Kauthem plates of Western Chālukya King Vikramāditya (Śaka-nripa-kālātitasaṁvatsara-śateṣu…. atīteṣu), “Yaṣastilaka Campū” of Somadeva Suri (Śaka-nripa-kālātita-saṁvatsara-śateṣu…. gateṣu) and “Lakśaṇāvati” of Udayana (Atīteṣu Śakāntataḥ varṣeṣu).
39 M. Yamin I, 1962:191.
40 Śaka = (Skt Śaka, nama suku atau ras yang khas; śaka, berhubungan dengan Śaka, tarikh Śaka) tahun Śaka (Zoetmulder,1995:982), warṣa = tahun (Zoetmulder,1995:1394), atīta = (Skt telah lalu, lampau; sst yang telah melampaui, telah dilewati atau diabaikan; dilewati, ditinggal; berlebihan). 1. lalu, lampau, zaman dulu. 2. telah lalu, telah selesai. 3. hebat sekali, sangat, (Zoetmulder,1995: 79).
41 M. Yamin III, 1962:31.
42 M. Yamin II, 1962:97.
43 M. Yamin II, 1962:131.
44 M. Yamin II, 1962:234.
45 M. Yamin II, 1962:235.
46 M. Yamin II, 1962:237.
47 M. Yamin I, 1962:255. Teks asli ditulis: śrī śalawarsa i śaka’.
48 Lihat Koentjoro, 1996:27 via Slamet Riyadi, 2007:8.
49 Paul Michel Munoz, 2009:211.
50 Terjemahan : ‘ … seperti bulan yang membuka kembang tunjung-jantung dari perkampungan segala orang baik-baik; yang membinasakan segala musuh; seperti Matahari yang melenyapkan kegelapan pada waktu malam hari, yang digembirakan Wipra dan Satria, yang berbahagia dapat bertegak nama penobatan raja, berbunyi: Iswara Suṇdarapandyadewa’. Lihat, M. Yamin II, 1962:49.
51 M. Yamin II, 1962:59.
52 Paul Michel Munoz, 2009:211.
53 Terjemahan: ‘Hal itulah yang menjadi alasan mengapa tanpa jarak waktu atau berhenti semua orang datang dari anyadeśa (daerah lain), sangat banyak; India, Kamboja, Cina, Yawana juga Campa, Kharṇātaka (India Selatan) dan lain sebagainya; Goḍa (India Timur) dan Syangka (Siam) adalah tempat asalnya, dengan memakai kapal berjalan bersama pedagang dalam jumlah besar; Bhiksu dan Wipra di depan, adapun kedatangan mereka akan memberikan kesenangan (mereka memberi) kebahagiaan, (dan pada suatu waktu mereka) dinanti-nanti.’
54 Calon Arang 36.a: Tan lingĕn pwa wwang Nuśantarâtah, samy ahidĕp mangawuleng Sang Naranātha. Sabrang, Malayu, Palembang, Jambi, Malaka, Singapura, Patani, Pahang, Siyĕm, Cĕmpa, Cina, Koci, Kĕling, Tatar, Pego, eng Kĕdah, Kutawaringin, Kute, Bangka, Sunda, Madura, Kangayan, Makassar, Seran, Goran, Pandan, Peleke, Moloko, Bolo, Dompo, Bima, Timur, Sasak, Sambawa. Samangkana kweh ikang Nuśantara, kang asrah upeti marekeng Sang Prabu. Sira Sang apuspata Jatiningrat, maharaja Erlanggyabiseka. Lihat: Teks Calon Arang Lor 5387/5279, I Made Suastika, 1997:81.
55 Duarte Barbosa, A Description of the Coast of East Africa and Malabar in the Beginning of the 18th Century, diterjemahkan oleh H.E.J Stanley (1866). Duarte Barbosa adalah keponakan Magellan, yang berkelana di Samudera Hindia dan Indonesia selama 15 tahun. Lihat Paul Michel Munoz, 2009:396-397.
56 Zoetmulder, 1983:3-4.
57 W.P. Groeneveldt, 2009:55-56. Kemungkinan jumlah tahun yang tercantum dalam surat itu telah salah catat dan aslinya 1497 tahun. Hal ini karena bila dihitung mundur 1432-1497 adalah -65 atau tahun 65 SM.
LAMPIRAN 1
Beberapa Candrasengkala Dalam Catatan Filologis
Pustaka
Ahmad Musonnif Geneologi Kalender Islam Jawa Menurut Ronggo Warsito: Sebuah Komentar atas Sejarah Kalender dalam Serat, Kontemplasi, Volume 05 Nomor 02, Desember 2017.
Ani Triastanti Perdagangan Internasional pada Masa Jawa Kuna: Tinjauan Terhadap Data Tertulis Abad X-XII, (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2007).
Darsono Ruswa Penanggalan Islam, Tinjauan Sistem, Fiqh dan Hisab Penanggalan, Yogyakarta: Labda Press, 2010.
Djulianto Susantio Astrologi Sebagai Ilmu Bantu Epigrafi: Sebuah Pemikiran, Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, 2014.
Fajri Zulia Ramdhani Analisis Sistem Penanggalan Pawukon Bali, Skripsi: Jurusan Ilmu Falak Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2017.
Groeneveldt, W.P Nusantara dalam Catatan Tionghoa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.
I Made Suastika Calon Arang dalam Tradisi Bali, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1997.
Irawan Djoko Nugroho Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
__ Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Perdagangan Dunia. Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta, 2011.
__ Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit, Jakarta: 2022.
Muhammad Yamin Tatanegara Majapahit. Sapta Parwa. Vol. I-III. Jakarta: Yayasan Prapanca, 1962.
Muhyiddin Khazin Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka.
Mujahidum Mutamakin Analisis Sistem Penanggalan Kalender Śaka Bali Dalam Perspektif Astronomi, Skripsi: Ilmu Falak Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2018.
Najmuddin Saifullah dan Mega Sukma, Sejarah Penanggalan India, Al-Marshad: Jurnal Astronomi Islam dan Ilmu-Ilmu Berkaitan, 2022.
Nur Azizah dan Dendi Pratama, Perputaran Zodiak Pada Kayon Jagad Gumelar Sebagai Simbol Perhitungan Jawa, Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya, Vol. 2 No. 02, Januari-April 2020, Hlm. 125-129.
Paul Michel Munoz Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia, Yogyakarta: Mitra Abadi, 2009.
Pigeaud, Th.G.Th Java in the 14th Century, A Study in Cultural History I-III. The Hague, 1960.
Siti Maziyah Implikasi Prasasti dan Kekuasaan Pada Masa Jawa Kuna, ANUVA Volume 2 (2): 177-192, 2018.
Slamet Riyadi Makna Simbolik Legenda Aji Saka, Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta, 2007.
Vedveer Arya The Chronology of India: From Mahabharata to Medieval Era, Hyderabad: Aryabhata Publications, 2019.
Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985.
___ Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto – Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
NOTE
Disosialisasikan kembali dari Corenews,id. Penulis: Irawan Djoko Nugroho