Penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi negara menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang menganut konstitusionalisme, konsep negara hukum, dan prinsip demokrasi. Hal ini diungkapkan oleh A.M. Fatwa dalam Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 (2009). Dalam perjalanannya, penetapan UUD 1945 sebagai konstitusi negara pada dasarnya memiliki realitas yang sangat menarik.
Pertama. Piagam Jakarta dirumuskan Panitia Sembilan Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 22 Juni 1945.
Kedua. UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah proklamasi kemerdekaan. Namun pada pengesahan UUD 1945 tersebut, terjadi amandemen terhadap Piagam Jakarta. Amandemen tersebut adalah sebagai berikut. 1. Perubahan kalimat pada butir pertama sila yang kini dianggap sebagai bagian dari Pancasila. Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. UUD 1945: Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Istilah Mukadimah diganti menjadi Pembukaan. 3. Pasal 29 yang berisi ayat yang menyatakan bahwa Presiden Indonesia harus Islam, dihapus.
Ketiga. Konstitusi RIS 1949 menggantikan UUD 1945. Konstitusi RIS diberlakukan setelah pada tanggal 27 Desember 1949 dibentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) usai penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.
Keempat. UUD Sementara menggantikan Konstitusi RIS 1949. UUD Sementara diberlakukan setelah RIS dibubarkan.
Kelima. UUD 1945 kembali diberlakukan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Sukarno yang dikukuhkan secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada 22 Juli 1959.
Keenam. UUD 1945 mengalami amandemen 4 kali amandemen. Amandemen pertama UUD 1945 dimulai pada Sidang Umum MPR 14-21 Oktober 1999. Amandemen kedua UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR 7-18 Agustus 2000. Amandemen ketiga UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-9 November 2001. Amandemen Keempat UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002.
Pada Amandemen UUD 1945 pertama, diterapkan terhadap 9 pasal dari total 37 Pasal, yakni Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Pada Amandemen UUD 1945 kedua, meliputi 5 Bab dan 25 Pasal. Pada Amandemen UUD 1945 ketiga, mencakup beberapa pasal dan bab mengenai Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Impeachment, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman, serta lainnya. Terakhir pada Amandemen UUD 1945 keempat, disempurnakan penyesuaian untuk perubahan-perubahan sebelumnya termasuk penghapusan atau penambahan pasal/bab.
Semangat Kesamaan Sejarah
Dari semua perjalanan penerapan UUD 1945 tersebut di atas, penggunaan istilah amandemen pada UUD 1945 menjadi satu hal yang menarik. Hal ini karena sekalipun amandemen telah dilakukan, namun dapat dikatakan jika amandemen tersebut menyimpang jauh dari semangat UUD 1945.
Seperti misalnya amandemen UUD 1945 ketiga pasal 6 (1). Pada pasal 6 (1) asli dicatat berbunyi: Presiden ialah orang Indonesia asli. Pada pasal amandemen diubah menjadi: Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu juga misalnya amandemen UUD 1945 tentang Kedudukan MPR. Pada pasal 1 ayat (2) asli dicatat berbunyi: MPR adalah lembaga negara tertinggi. Pada pasal amandemen diubah menjadi: MPR adalah lembaga negara yang punya kedudukan yang sama denga lembaga negara lainnya. Demikian pula amandemen UUD 1945 tentang Kewenangan MPR. Pada pasal 2 dan 6 ayat (2) asli dicatat berbunyi: MPR punya kewenangan untuk mengubah, menetapkan UUD, GBHN, memilih presiden dan wakil presiden, dan memberhentikan presiden dan wakil presiden. Pada pasal amandemen diubah menjadi: Kewenangan MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD, melantik preisiden dan wakil presiden, memberhentikan presiden dan wakil presiden setelah adanya proses hukum di Mahkamah Konstitusi [Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A UUD 1945].
Dengan masih digunakannya istilah UUD 1945 atas amandemen atau perubahan yang dilakukan, menunjukkan bila para pembuat amandemen masih memiliki semangat untuk tetap mengaitkan kesejarahan dengan keberadaan UUD 1945 itu sendiri. Ada semangat ‘keindonesiaan bersama’ di sini, khususnya semangat kesamaan sejarah dalam penggunaan istilah amandemen yang dilakukan. Sebagai akibatnya, konstitusi yang memuat amandemen itu tidak dianggap sebagai konstitusi baru atau berbeda dengan konstitusi sebelumnya.
Menghilangkan Semangat Kesamaan Sejarah
Uniknya, semangat kesamaan sejarah seperti tidak dimiliki pada penggunaan istilah UUD 1945. Penetapan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 yang pada dasarnya merupakan penetapan Piagam Jakarta dengan memuat perubahan atau amandemen, telah menjadi bola liar.
Perubahan atau amandemen tersebut, ternyata digunakan untuk menyebut UUD 1945 menjadi sebuah konstitusi baru lepas dari Piagam Jakarta. Padahal dalam Piagam Jakarta, Tuhan Negara yang disebut sebagai Tuhan pemberi rahmat lahirnya kemerdekaan Indonesia adalah Tuhannya umat Islam, yaitu Allah. Hal ini sesuai paragraf ketiga dan awal Piagam Jakarta yang berbunyi: Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa. Sementara itu dalam UUD 1945, paragraf tersebut tetap dipertahankan.
Karena dianggap sebagai konstitusi baru, menjadi tidak berlebihan kemudian muncul gerakan kebijakan-kebijakan yang seperti memutus hubungan dengan semangat Piagam Jakarta. Politik Nasakom Pemerintah ORLA misalnya. Kebijakan ini memasukkan visi Atheis di samping kepercayaan akan adanya Tuhan Negara. Politik Azas Tunggal Pemerintah ORBA, sebagai contoh lainnya. Kebijakan ini juga seperti melupakan Tuhan Negara yang diadopsi dalam UUD 1945 dan Piagam Jakarta. Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila seperti tidak berbasis pada Allah Tuhan yang memberi berkat dan rahmat kepada kemerdekaan Indonesia. Ada upaya pengaburan sejarah yang berujung pada nuansa Islamphobia. Dan kini, muncul apa yang dinamakan dengan Politik Identitas. Sebuah klaim akan kebijakan yang sekali lagi, seperti melupakan Piagam Jakarta.
Kini, sudah seharusnya anggapan bahwa UUD 1945 sebagai konstitusi baru lepas dari Piagam Jakarta hanya dengan diubahnya kalimat: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dua amandemen ikutannya harus segera diakhiri. Hal ini karena perubahan tersebut bahkan tidak menyimpang dari semangat Piagam Jakarta sebagaimana yang terjadi pada 4 amandemen UUD 1945 saat ini. Kebijakan-kebijakan yang ujungnya hanya sebagai bentuk untuk menghadirkan Islamophobia ini, dicatat sangat tidak sesuai dengan semangat pengakuan pada Tuhan Negara yang diakui bersama sesuai Piagam Jakarta dan amandemennya yaitu UUD 1945, yaitu Allah Tuhannya umat Islam sebagai satu-satunya Tuhan yang memberi berkat dan rahmat kepada kemerdekaan Indonesia.*
Sumber:
Boland, B.J. (1971), The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Den Haag: Martinus Nijhoff.
Elson, R.E. (2009), “Another Look at the Jakarta Charter Controversy of 1945”, Indonesia, 88: 105–130
Website:
- https://www.satuhukum.com/2020/05/mpr-sebelum-sesudah-amandemen.html
- https://tirto.id/amandemen-uud-1945-dilakukan-4-kali-sejarah-perubahan-pasal-f7Cw
- https://tirto.id/sejarah-isi-perubahan-amandemen-uud-1945-pertama-tahun-1999-ejFQ
- https://tirto.id/isi-perubahan-kedua-sejarah-amandemen-uud-1945-tahun-2000-ejFV
- https://tirto.id/amandemen-uud-1945-sejarah-isi-perubahan-ketiga-tahun-2001-ejHB
- https://tirto.id/amandemen-uud-1945-tahun-2002-sejarah-isi-perubahan-keempat-ejLE