Singkong adalah salah satu tanaman pangan yang demikian popular di Indonesia. Demikian terkenalnya, ia bahkan dicatat memiliki nama sebutan khusus di masing-masing daerah. Di Sunda, singkong disebut sampeu. Di Jawa, singkong disebut sebagai pohung. Di Sangihe, singkong disebut bungkahe dan di Gorontalo dan Tolitoli, singkong disebut kasubi.
Uniknya, singkong dicatat dalam sejarah bukan sebagai tanaman asli Indonesia. Menurut Haryono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekitar abad ke-16. Bahkan singkong sebagai ubi kayu, yang disebut sebagai ketela dalam bahasa Melayu, kemudian dianggap memiliki akar kata yang berasal dari kata ‘castilla’ yang dibaca kastilya. Kata ini merujuk pada bangsa Portugis dan Castilla atau Spanyol yang membawa singkong menjadi salah satu tanaman budidaya di Indonesia.
Nama Daerah Singkong Dan Permasalahan Sejarah
Hipotesa singkong bukan tanaman asli Indonesia seperti diperkuat dengan adanya catatan tahun 1876. Di mana H.J. van Swieten seorang kontrolir di Trenggalek, dalam buku De Zoete Cassave (Jatropha janipha) yang terbit 1875 mencatat bahwa singkong kurang dikenal atau tidak ada sama sekali di beberapa bagian Pulau Jawa, tetapi ditanam besar-besaran di bagian lain. Informasi H.J. van Swieten tersebut sesungguhnya wajar karena singkong memang ditanam di daerah yang tidak banyak air, sehingga daerah lain yang memiliki sumber air melimpah akan lebih memilih menanam padi.
Kala banyak daerah di Indonesia dicatat memiliki nama lain untuk singkong sesuai nama daerah masing-masing, timbul pertanyaan menggelitik bagaimana cara memperkenalkan nama singkong tersebut dalam bahasa mereka masing-masing. Selain karena singkong masih baru juga karena diserapnya tanaman baru tersebut dalam nama-nama daerah di Indonesia yang menunjukkan bila sebelumnya sesungguhnya telah ada akulturasi lama sebelumnya.
Merunut Sejarah Singkong
Merunut sejarah singkong khususnya di Jawa, ternyata bukan merupakan pekerjaan mudah. Hal ini karena pohung yaitu nama lain singkong ternyata merupakan nama Jawa Baru dan bukan nama Jawa Kuna. Dalam Jawa Kuna sendiri, tidak ditemukan kata spesifik sebagaimana kata pohung. Kata yang ada lebih merujuk sebangsa umbi-umbian secara umum. Misalnya: huwi ’sebangsa umbi-umbian; ubi’ (Zoetmulder, 1995: 372).
Namun demikian singkong atau cassava ternyata juga dikenal di dalam tradisi Jawa Kuna. Dalam Arjunawijaya a Kakawin of Mpu Tantular, Supomo mencatat tentang cacah yaitu campuran nasi dan singkong (Supomo, 1971: 107). Supomo mencatat sebagai berikut:
In places where irrigation was not possible, dry rice-field (gaga, Arj. 10,21b; 23,1b) were cultivated. This was the usual way of rice-farming for religious communities living in the hills and in the newly cleared forests far from the established villages. In the dry fields, in addition to gaga rice, people also planted various kinds of tubers: mowi, suga and talěs (Arj. 10, 21b), and perhaps also some kind of cassava. Rice mixed with cassava, which was called cacah (Arj. 10,21d; 23,4d; see KBW 1: 563; 577) and vegetables (gangan, 10, 21d) seem to have formed the staple diet for those living in the hermitages.
‘Di tempat-tempat di mana irigasi tidak memungkinkan, sawah kering (gaga, Arj. 10,21b; 23,1b) ditanami. Ini adalah cara bercocok tanam padi yang biasa dilakukan oleh komunitas religius yang tinggal di perbukitan dan di hutan yang baru dibuka jauh dari desa-desa yang sudah mapan. Di lahan kering, selain padi gaga, masyarakat juga menanam berbagai jenis umbi-umbian: mowi, suga dan talěs (Arj. 10, 21b), dan mungkin juga beberapa jenis singkong. Nasi campur singkong yang disebut cacah (Arj. 10,21d; 23,4d; lihat KBW 1: 563; 577) dan sayur-sayuran (gangan, 10, 21d) tampaknya telah menjadi makanan pokok bagi mereka yang tinggal di pertapaan’.
Catatan menarik tentang cacah tersebut, menunjukkan jika singkong sudah dikenal semenjak era Majapahit khususnya era Raja Rājasanagara karena Mpu Tantular sejaman dengan Raja Rājasanagara. Ia mungkin dikenal lebih awal karena singkong merupakan salah satu makanan untuk para pertapa. Sebab tradisi para pertapa telah ada jauh sebelum era Majapahit.
Adanya informasi cacah tersebut, menunjukkan jika asal-usul singkong bukan tanaman pangan yang dibawa oleh Portugis, tapi merupakan asli Indonesia. Pada masa Majapahit, ia menjadi makanan para pertapa di mana penyajiannya dicampur dengan nasi. Di mana fungsinya kemungkinan besar sebagai salah satu cara untuk menanggalkan kemewahan kehidupan duniawi.*
Sumber:
Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Perdagangan Dunia. Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta, 2011
S. Supomo, Arjunawijaya a Kakawin of Mpu Tantular, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University, Canberra 1971.
Zoetmulder, P.J., Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto-Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Website:
Foto: