Banyak informasi menarik dari informasi relief candi Borobudur. Sayangnya berbeda dengan relief candi sebagai sarana pengenalan ajaran Hindu yang beberapa diantaranya dapat ditelusuri berdasar naskah aslinya, relief candi Borobudur tidak demikian. Hingga kini tidak diketahui naskah yang digunakan sebagai sarana pengenalan pada ajaran Buddha.
Jika melihat teks-teks kakawin yang bernafas Buddha di Jawa, tidak ditemukan naskah saat ini yang dapat digunakan untuk merunut relief candi Borobudur. Tidak berlebihan jika Ānandajoti Bhikkhu menyatakan sebagai berikut.
Tujuan pasti candi ini (Borobudur, red) tidak jelas, karena ini bukan wihara, dan bukan sekadar stupa, dan juga tidak jelas apa ini dimaksudkan sebagai sarana pengenalan pada ajaran Buddha untuk perumah tangga. Namun cukup aman untuk mengatakan bahwa candi ini pada umumnya termasuk dalam aliran Mahāyāna, namun menunjukkan ciri-ciri pengaruh aliran Tantra. Banyak naskah yang digambarkan di dindingnya kini telah dikenali, meski versi tepat naskah ini dalam kebanyakan hal masih tak diketahui, dan cerita-cerita di relief tampaknya agak berbeda dari naskah yang kita ketahui saat ini (Ānandajoti Bhikkhu,2020:9).
Candi Borobudur pada era Majapahit tepatnya pada Nāgarakṛtāgama pupuh 77.3, disebut dengan Buḍur. Identifikasi Buḍur sebagai Borobudur dicatat dilakukan Pigeaud dalam komentarnya, (Pigeaud IV:236-237). Menurut Prapañca, Buḍur merupakan 1 dari 51 deśa (wilayah perdikan) yang disebut sebagai kasugatan kabajraḍaran akrāma. Istilah kasugatan kabajraḍaran akrāma menurut pengertian etimologisnya kurang lebih berarti ‘bangunan suci Buddha tempat suci sekte Bajradhara dalam urutan yang baik’, (Irawan, 2022:2).
Sebagai kasugatan kabajraḍaran akrāma, dapat dikatakan jika latar penggambaran relief tentu sama dengan latar penggambaran relief candi lain di Jawa, yaitu bukan berlatar India. Latar yang digunakan mengacu pada latar Jawa pada masa itu. Baik itu seni bangunan maupun lainnya.
Bangunan Berkubah di Jawa Kuna
Dari seni bangunan yang dihadirkan di Borobudur, dicatat adanya sebuah bangunan yang dilukiskan sebagai bangunan yang berkubah. Misalnya dapat dilihat dalam relief Candi Borobudur di bagian Lalitavistara berikut ini.
Dalam KBBI, kubah adalah kata benda yang diantaranya berarti: 1 lengkung (atap); 2 atap yang melengkung merupakan setengah bulatan (kupel): — masjid. Sementara itu, berkubah adalah kata kerja yang berarti: 1 memakai kubah; 2 beratap lengkung.
Kubah tersebut seperti memperkuat informasi bila pada masa lalu, Jawa Kuna telah mengenal bangunan berkubah. Sementara hingga saat ini, kubah dipercaya identik dengan seni arsitektur Barat atau juga Arab.
Bangunan Berkubah Sebagai Istana
Dalam https://www.photodharma.net/Indonesia/05-Lalitavistara/index.htm, bangunan berkubah masuk dalam sub judul The Daughters of the Village Head offer Food to the Bodhisattva ‘Putri-putri Kepala Desa mempersembahkan Makanan kepada Bodhisattva’.
Dalam keterangannya, gambar tersebut dideskripsikan sebagai berikut.
The group-of-five monks decide to leave the Bodhisattva thinking he had given up his efforts, then a group of ten maidens led by Sujātā come and offer him broth, which he takes.
To the left is a Palace, presumably the home of the village Headman, and in the middle under a well drawn coconut tree sit four of the girls, one offering a lotus. Nearby stands another who is holding the Bodhisattva’s bowl, having filled it with rice gruel.
Terjemahan:
‘Kelompok lima biksu memutuskan untuk meninggalkan Bodhisattva karena mengira dia telah menghentikan usahanya, kemudian sekelompok sepuluh gadis yang dipimpin oleh Sujātā datang dan menawarinya kaldu, yang dia ambil’.
‘Di sebelah kiri adalah sebuah Istana, yang diduga merupakan rumah Kepala desa, dan di tengahnya di bawah pohon kelapa yang tergambar rapi terdapat empat anak perempuan, salah satunya mempersembahkan teratai. Di dekatnya berdiri orang lain yang memegang mangkuk Bodhisattva, mengisinya dengan bubur nasi’.
Gambar yang didiskripsikan sebagai istana yang diduga merupakan rumah Kepala Desa tersebut, tentu sangat menarik. Hal ini karena di Jawa Kuna, istana umumnya mengacu pada kumpulan bangunan yang dikelilingi banteng. Sementara itu Kepala Desa tidak pernah tinggal di dalam istana.
Sekalipun demikian, yang disebut istana tersebut kemungkinan besar merupakan bangunan yang ada di istana memiliki pembenaran. Hanya di bagian bangunan tersebut tepatnya tentu masih dapat diperdebatkan.
Mungkinkah Yang Disebut Istana Adalah Gṛha Nggwan Śrī Nātha n Paweh Sewa?
Prapañca dalam Nāgarakṛtāgama mencatat gṛha nggwan śrī nātha n paweh sewa memang sebuah bangunan yang berstruktur besar seperti kesaksian yang pernah dilihat oleh Odorico da Pordenone. Selain itu juga tinggi dan tiada taranya dalam hal kemewahannya. Bangunan ini, dibangun sebagai tempat raja memberi audiensi kepada mereka yang menghadapnya.
Teks Nāgarakṛtāgama pupuh 9.4.3-4:
wetan têkang gṛhânopama wangunan ikâśry aruhur sopacara,
nggwan śrī nātha n paweh sewa ring umark umungw ing witānâprameya.
Terjemahan:
‘Di sebelah timur adalah gṛha yang tiada taranya, (struktur) bangunannya besar, tinggi, mengesankan keagungan,
Tempat Sri Raja memberikan audiensi, kepada siapa saja yang datang menghadap. Mereka yang bertempat di witana amatlah banyak’.
Jika dilihat dari strukturnya, yang disebut istana itu tinggi karena atapnya memang merupakan kubah. Selain itu (struktur) bangunan juga terlihat besar, tinggi, mengesankan keagungan. Namun menjadi pertanyaan, mungkinkah bangunan itu memang gambaran dari gṛha nggwan śrī nātha n paweh sewa?
Bila mengacu pada informasi Odorico da Pordenone ada informasi yang memperkuat bangunan tersebut sebagai bangunan sebagai gambaran gṛha nggwan śrī nātha n paweh sewa. Hal ini tampak dari pernyataan sebagai berikut.
Raja Jawa memiliki sebuah istana besar dan mewah paling menakjubkan yang pernah saya lihat, dengan tangga lebar dan megah ke arah ruangan di bagian atas, semua anak tangga secara bergantian terbuat dari emas dan perak. Seluruh dinding bagian dalam dilapisi oleh lapisan emas dan perak. Seluruh dinding bagian dalam dilapisi oleh lapisan emas tempa, di mana gambar-gambar ksatria diukirkan pada lapisan emas tersebut. Setiap ksatria berhiaskan sebuah mahkota emas kecil yang dihias dengan beragam batu mulia. Atap istana ini terbuat dari emas murni dan seluruh ruangan di bawah dilapisi berselingan oleh lempeng-lempeng berbentuk kotak yang terbuat dari emas dan perak. Khan yang agung, atau Kaisar China, sering mengadakan peperangan dengan Raja Jawa, tetapi serangannya selalu berhasil dipatahkan dan dipukul mundur”, (Lihat: https://kotomono.co/kesaksian-odorico-atas-kejayaan-majapahit/).
Informasi ‘Atap istana ini terbuat dari emas murni’ pada atap bangunan yang disebut istana tersebut, dicatat memenuhi penjelasan sebagaimana keterangan Odorico da Pordenone. Sebab atap dari kubah memungkinkan memang dapat dibuat dari emas murni.*
Pustaka
Ānandajoti Bhikkhu Lalitavistara. The Life of Gautama Buddha. Kehidupan Buddha Gautama, Ehipassiko Foundation, 2020.
Irawan Djoko Nugroho Pengelolaan Borobudur di Era Majapahit, NusantaraReview, 2022.
______________ Lokasi Istana Majapahit Berlapis Emas, NusantaraReview, 2022.
Kern, H “De Nagarakrtagama. Oudjavaansche Lofdicht op Koning Hayam Wuruk van Majapahit”. VG VII: 249-320; VG VIII: 1-132, 1917.
______________ Verspreide Geschriften. ‘s-Gravenhage, 1917-1922.
Krom, N.J. Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D). Meet Aantekeningen van N.J. Krom. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1919.
Made Suastika, I Calon Arang dalam Tradisi Bali, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1997.
Pigeaud, Th.G.Th Java in the 14th Century, A Study in Cultural History I-III. The Hague, 1960.
_______________ Java in the 14th Century, A Study in Cultural History IV. The Hague, 1962.
_______________ Java in the 14th Century, A Study in Cultural History V. The Hague, 1963.
Robson, S.O Desawarnana (Nāgarakŗtāgama), KITLV, Leiden, 1995.
Teeuw, A & S.O Robson Kunjarakarna Dharmakathana: Liberation Throught the Law of the Buddha. An Old Javanese Poem by Mpu Dusun. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A & E.M Uhlenbeck “Over de Interpretatie van de Nagarakrtagama”. BKI 114: 210-234, 1958.
Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985.
_______________ Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto – Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Website: