Saat Hang Tuah dikisahkan diutus ke Rom, Hikayat Hang Tuah dicatat mengisahkan taman istana Rom. Dari banyak tanaman yang ditanam di taman yang disebut dengan Taman Ghairat tersebut, terdapat satu tanaman yang sangat unik, yaitu ketéla ‘singkong’. Disebut unik karena perjalanan Hang Tuah ke Rom dicatat pada tahun 1481. Tahun di mana Portugis dan Spanyol belum berlayar di Nusantara. Sementara hingga saat ini, ketéla atau manihot dipercaya dihadirkan Portugis dari Amerika Selatan ke Nusantara.

Bila melihat teks Hikayat Hang Tuah, kisah keindahan Taman Ghairat sesungguhnya bukan merupakan observasi Hang Tuah sendiri. Ia lebih merupakan kisah Ibrahim Kakan (Maka Laksamana dan Maharaja Setia terlalu hairan sekalian mendengar riwayat Ibrahim Kakan itu, HHT XXVI:460). Karena itu sekalipun terdapat realitas bahwa yang diceritakan tersebut, memiliki pembenaran dalam artian bahwa taman istana di Istambul juga memilikinya, misalnya adalah pelukisan adanya bunga mawar, namun tetap dimungkinkan banyak flora yang didiskripsikan, merupakan sebuah imaginasi atau tambahan pengarang semata.

Imaginasi ini misalnya  jenis-jenis flora yang sebenarnya adalah khas Melayu atau Nusantara, yang tidak mungkin ada ditanam di istana Rom pada tahun 1481. Seperti misalnya adalah bunga lada. Lada pada tahun itu merupakan tanaman rempah yang hanya ada dan hidup di Nusantara. Dicatatnya lada pada masa itu terdapat di Taman Ghairat, menjadi sebuah bentuk imaginasi pengarang. Namun secara keseluruhan dapat dikatakan bila flora yang dicatat menghiasi Taman Ghairat merupakan bagian dari perbendaharaan flora Melayu Klasik yang sangat luar biasa. Ia merupakan tanaman hias cantik yang kemungkinan besar menghiasi taman istana Melaka sendiri atau istana di Nusantara lain seperti Majapahit yang diketahui dengan baik oleh sang pengarang, termasuk tentu saja dengan ketéla.

Dekripsi Taman Istana Rom Dalam Hikayat Hang Tuah Bukan Saduran

Menurut Henri Chambert-Loir, Taman Ghairat yang dicatat dalam (HHT 456-460), tasik (HHT 456), serta kota Rom dilihat dari luar (HHT 466), merupakan lukisan yang disalin secara harfiah dari tiga lukisan kota lain (Henri Chambert-Loir 2011:42). Khusus Taman Ghairat, dicatat menyalin secara harfiah dari Bandar Aceh berdasar catatan Bustan al-Salatin, (Henri Chambert-Loir 2011:48-56). Dengan kata lain muncul asumsi kisah flora yang dicatat dalam Hikayat Hang Tuah terjadi selepas Melaka runtuh.

Irawan Djoko Nugroho menolak asumsi Henri Chambert-Loir tersebut. Dalam Hikayat Hang Tuah Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka ‒ Majapahit, Irawan Djoko Nugroho menyatakan bila anggur dan gandum yang dicatat dalam Hikayat Hang Tuah dan Bandar Aceh memberikan identifikasi jelas. Khusus anggur, memang benar bila buah ini juga dikenal dalam tradisi Nusantara khususnya Jawa Kuna. Anggur masuk dalam kosa kata bahasa Jawa Kuna yaitu miñu. Selain itu, anggur manis juga menjadi salah satu hidangan untuk tamu di istana Majapahit sebagaimana dicatat dalam Kroniek van Koetai. Namun sayangnya hingga tahun 1650, anggur dan gandum tidak dicatat menjadi salah satu tanaman budi daya di Aceh. Kedua tanaman tersebut ternyata merupakan tanaman budidaya di Rom (Turki) kala itu, (Irawan, 2022:285-286).

Karena itu, Irawan Djoko Nugroho kemudian menyimpulkan bila Bandar Acehlah yang menyalin secara harfiah Taman Ghairat dari sumber asli Hikayat Hang Tuah tanpa melalui proses penyaringan, sehingga memasukkan buah anggur dan gandum dalam diskripsi Bandar Aceh. Namun sebagaimana penulisan Hikayat Hang Tuah terkait menghadirkan adanya interpolasi yang melalui proses kesengajaan, Bustan al-Salatin kiranya juga melakukan hal yang sama. Ia sengaja mencontoh dan tidak berusaha menutupinya dengan menghilangkan sesuatu yang dianggap tidak biasa, (Irawan, 2022:285-286). Dengan memiliki basis data tahun 1481, Hikayat Hang Tuah memiliki sumber data yang lebih tua dari Bustan al-Salatin. Terlebih pengarang Bustanus Salatin yaitu Nuruddin ar-Raniri dicatat sejaman dengan Bendahara Paduka Maharaja Tun Sri Lanang, (Taufik Abdullah 2014:17).

Ketéla Dan Kastela

Dalam catatan sejarah, manihot atau ‘singkong’ menjadi satu dari sekian banyak jenis tanaman dari Benua Amerika, yang dibawa masuk secara bergelombang ke Nusantara sejak abad ke-16 oleh para pedagang Portugis dan Spanyol (Walujo, 1998: 82). Fakta manihot yang ada di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Portugis dan Spanyol adalah penyebutan kata ketela yang diserap dari kastela (Abdurrachman, 2007: 174). Meskipun jelas ada pengaruh Spanyol dan Portugis, namun secara pasti, awal periode impor ketela pohon ke Nusantara tetap tidak jelas, (Fadly Rahman, 2021: 224).

Sementara itu peneliti pertanian A.J. Koens (1946) menduga ketela pohon masuk ke Jawa pada awal abad ke-17 dari Maluku. Peneliti lainnya, I.H. Burkill (1935) menyatakan bila ketela pohon diperkenalkan ke Jawa pada akhir abad ke-18.

Tidak ada kesamaan sejarah terkait masuknya ketela pohon di Nusantara tersebut menyadarkan bila informasi Manihot atau ‘singkong’ sebagai satu dari sekian banyak jenis tanaman dari Benua Amerika, yang dibawa masuk secara bergelombang ke Nusantara menjadi meragukan. Terlebih dengan tergesa-gesa menyebut ketela diserap dari kata kastela. Hal ini karena catatan perjalanan Hang Tuah ke Rom adalah realitas sejarah. Karena itu catatan ketéla sebagai flora yang dicatat dalam Hikayat Hang Tuah tentu telah dikenal lebih dahulu daripada kastela. Kasus ini lebih sebagaimana perbandingan kata perahu ghali dengan perahu galleon. Kata terakhir ternyata merupakan tipe kapal Portugis atau Spanyol yang terinspirasi perahu ghali kala berlayar ke Nusantara (Irawan, 2011:277). Hal ini karena kapal-kapal perintis yang digunakan Portugis dicatat kecil dan tidak bertipe sebagai perahu ghali.

Ketela Dalam History of Java dan Serat Centhini

Dalam karya History of Java, Thomas Stamford Raffles (1817) tidak menyebut ketela pohon. Ia hanya menyebut tanaman yang diimpor dari Benua Amerika adalah jagung dan ubi jalar (Fadly Rahman, 2021: 224). Mungkinkah informasi tersebut menunjukkan jika ketela pohon bukan tanaman impor?

Kala Serat Centhini yaitu serat yang ditulis beberapa kali dengan tahun penulisan paling awal tahun 1802 (Anies Widiyarti, tanpa angka tahun: 73), ternyata katela dan salah satu produk olahannya yaitu criping telah dicatat di dalamnya. Talês kimpul katela uwi gêmbili (Serat Centhini Jilid 12, hlm: 216). kalong sagu cinantèn brêm tumpu criping (Serat Centhini Jilid 12, hlm: 216).

Menariknya, Serat Centhini sendiri ternyata memang hanya dibuat untuk mencatat cerita lama dan keseluruhan pengetahuan Jawa. Hal ini sesuai dengan informasi Serat Centhini pada Jilid-1, Pupuh 1, Tembang 1 (Sinom): Sri narpadmaja sudigbya, talatahing tanah Jawi, Surakarta Adiningrat, agnya ring kang wadu carik, Sutrasna kang kinanthi, mangun reh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, ingimpun tinrap kakawin, mrih kemba karaya dhangan kang miyarsa. ‘Sang putra mahkota, berwilayah tanah Jawa, Surakarta Adiningrat, memerintahkan jurutulis, Sutrasna yang dipercaya, mengumpulkan cerita lama, keseluruhan pengetahuan Jawa, digubah dalam bentuk tembang, agar mengenakkan dan menyenangkan yang mendengar’.

Hal tersebut menunjukkan bila ketela merupakan pohon asli yang telah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat sejak masa lalu.  

Ketéla Dalam Catatan Hikayat Hang Tuah Menggenapi Sejarah Flora Nusantara

Bila diperbandingkan dengan informasi sebelumnya, ketéla dalam catatan Hikayat Hang Tuah dapat dikatakan semakin memperkuat Serat Centhini dan pendapat Supomo tentang cacah yaitu campuran nasi dan singkong sebagai makanan pertapa pada era Majapahit. Ketéla merupakan tanaman asli Nusantara.

Rice mixed with cassava, which was called cacah (Arj. 10,21d; 23,4d; see KBW 1: 563; 577) and vegetables (gangan, 10, 21d) seem to have formed the staple diet for those living in the hermitages. ‘Nasi campur singkong yang disebut cacah (Arj. 10,21d; 23,4d; lihat KBW 1: 563; 577) dan sayur-sayuran (gangan, 10, 21d) tampaknya telah menjadi makanan pokok bagi mereka yang tinggal di pertapaan’, (Supomo, 1971: 107).

Karena itu dapat disimpulkan bila pengenalan masyarakat Nusantara terhadap ketéla telah ada jauh sebelum kedatangan Portugis dan Spanyol.*

Daftar Pustaka:

Anies Widiyarti, Serat Centhini, Sebuah Kompleksitas Kesusastraan Jawa Yang Mumpuni. https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/lensa/article/download/2725/pdf.

Abdurrachman, Paramitha R. 2008. ”Some Portuguese Loanwords in the Vocabulary of Speakers of Ambonsche – Malay in Christian Villages of Central Moluccas”, dalam Paramitha R. Abdurrachman. Bunga Angin Portugis di Indonesia. Jakarta: Obor & LIPI, hlm. 162 – 182.

Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of the Economic Products of the Malay Peninsula, vol. II (I- Z). London.

Fadly Rahman, 2021. “Bertumbuh dan Mengakar” Sejarah Pembudidayaan Ketela Pohon di Indonesia. Metahumaniora Volume 11 Nomor 2, hlm. 222-235.

Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.

Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Perdagangan Dunia. Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, 2011

Irawan Djoko Nugroho, Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur Dan Kekerabatan Melaka-Majapahit. Jakarta: PT Merdeka Karya Bersama, 2022

Koens, A.J. 1946. “Knolgewassen”, dalam De Landbouw in den Indischen Archipel. The Hague.

Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java (vol. I). London: John Murray.

S. Supomo, Arjunawijaya a Kakawin of Mpu Tantular, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University, Canberra 1971.

Walujo, Eko B. 1998. “Keanekaragaman Hayati Indonesia dan Peluangnya dalam Penelitian Etnobotani”, dalam Christian Pelras (ed.), Dialog Prancis – Nusantara: Aneka Ragam Pendekatan dalam Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya tentang Asia Tenggara Maritim. Jakarta: CNRS-Lasema & Obor.

Wirodono, Sunardian. 2009. Centhini: Sebuah Novel Panjang (40 Malam Mengintip Sang Pengantin). Yogyakarta: Diva Press.

Zoetmulder, P.J., Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto-Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Website:

https://www.academia.edu/32630623/Serat_Centhini_jilid_12

Foto:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*