Selain kawaca (baju baja) dan karambalangan (lapis logam di depan dada) para prajurit Jawa pada masa lalu juga mengenakan baju zirah lain. Baju zirah tersebut disebut dengan waju rante.
Kawaca misalnya dicatat dalam prasasti Terawulan 1358, Kepingan V. Bagian belakang 5 dan 6. Lihat M. Yamin, Tatanegara Majapahit, Parwa II, 99. Sementara itu, karambalangan misalnya dicatat dalam Kidung Sundayana pupuh 1: 95. Karambalangan dalam Kidung Sundayana tersebut, dicatat dikenakan Gajah Mada.
Di dalam Kamus Zoetmulder, definisi waju rante adalah baju yang terdiri atas rantai-rantai besi, (Zoetmulder, 1995: 919). Winaju rante artinya memakai baju rantai (Zoetmulder, 1995: 919). Dalam teks Jawa Kuna, waju rante dicatat dalam teks kidung Ranggalawe. Misalnya adalah sebagai berikut.
RL 7.31: Balanyâtuturun ewon saha sañjata gāņḑīwa lan bĕdil, tameng towok kantar, akañjar pangarĕpnya, wong winaju rante sami, saha kakhaņḑa, tatabuhan tan kari (C.C. Berg, 1930:91).
RL 7.107: Sinuduk tan dhalaņa tĕmpuh ing jaja, lwir sata kĕnĕng pilis, gumuling ing lĕmah, mangkin sumahab wadwa winaju rante ngĕmbuli, anikĕp sira, orĕg wong Dahâgingsir (C.C. Berg, 1930:99).
Informasi Kidung Ranggalawe tersebut menunjukkan pasukan Majapahit mengenakan baju rantai sebagai baju pelindung. Pasukan waju rante tersebut dalam peperangan berada di posisi terdepan. Akañjar pangarĕpnya, wong winaju rante sami ‘berjingkrak-jingkrak dengan galak pemukanya, orang yang berbaju rantai semua’.
Tidak ada catatan lain terkait jenis senjata secara eksplisit yang dikenakan bagi mereka yang mengenakan baju rantai pada pasukan masa lalu. Berdasar informasi Kidung Ranggalawe 7.31 pula, senjata yang mereka gunakan dimungkinkan adalah gāņḑīwa ‘busur’, bĕdil ‘senapan’, tameng ‘perisai’, towok ’tombak’, dan kantar ‘sejenis tombak?‘. Sekalipun demikian, informasi tersebut kiranya dapat menjadi informasi awal jika pasukan Majapahit di garis depan pada masa lalu, mengenakan baju rantai sebagai baju pelindung.
Selain Kidung Ranggalawe, ternyata terdapat catatan menarik terkait pasukan Majapahit yang mengenakan waju rantai itu dari sumber Hikayat Banjar. Di mana dalam Hikayat Banjar, waju rante dicatat sebagai bagian dari pasukan pengawal raja. Sebuah informasi yang tentu berbeda dengan Kidung Ranggalawe di mana wadwa winaju rante merupakan pasukan di garis depan dalam pertempuran.
Baju Rantai Pasukan Majapahit di Hikayat Banjar
Secara umum ada beberapa bagian dari Hikayat Banjar yang memiliki tema cerita mirip dengan Kakawin Nāgarakŗtāgama terkait parhiasan tahta kerajaan Majapahit. Dalam Nāgarakŗtāgama pupuh 9 dan 10, diceritakan parhiasan tahta kerajaan Majapahit untuk mereka yang menghadap di ruang luar istana dan para pembesar yang menghadap raja. Sementara itu dalam Hikayat Banjar, mengisahkan parhiasan tahta kerajaan Majapahit khusus yang telah dipasang pada rancak suci yaitu berupa adat kedatangan raja dan para pelindung dan pengiring raja kala bertahta.
Dengan demikian catatan Hikayat Banjar memperkaya parhiasan tahta kerajaan Majapahit dari Nāgarakŗtāgama. Hal ini karena adat kedatangan raja dan para pelindung dan pengiring raja kala bertahta tidak dicatat dalam Nāgarakŗtāgama.
Hikayat Banjar yang digunakan dalam kajian ini ada dua. Naskah Hikayat Banjar (ML-43) dan Naskah Hikayat Banjar Kotaringin. Baik Hikayat Banjar dan Hikayat Banjar Kotaringin fokus pada sisi penceritaan raja keluar untuk dihadap, sebuah alur penceritaan yang tidak dikisahkan dalam Nāgarakŗtāgama.
Hikayat Banjar (ML-43) mencatat: Sagala mantri itu sudah sama mangadap dipagungan mananti lokinnasnya. Sudah itu dipalu orang galaganjur dipaseban. Sarta parhiasan tahta kerajaan sudah dipasang pada rancak, suci. Hikayat Banjar dan Kotaringin mencatat: segala mantri itu sudah sama menghadap menanti raja di sitilohor. Sudah itu berbunyi bedil di dalam tanda raja hendak ke luar maka dipalu orang gamelan di pagungan logananta. Sudah itu dipalu orang galaganjar di paseban serta perhiasan takhta kerajaan sudah dipasang orang pada runcak suji.
Sementara itu pada Nāgarakŗtāgama, parhiasan tahta kerajaan Majapahit dilukiskan pada mereka yang menghadap di ruang luar istana dan para pembesar yang menghadap raja sebagaimana dicatat dalam pupuh 9 dan 10, (1) adalah sebagai berikut.
Pupuh 9
nāhan lwirnya ng manangkil pangalasan ingaran kwehnya tan papramāṇa,
Tanpalwir Nyū-gading Janggala Kaḍiri S(ĕ)ḍah Panglarang Rājadewī,
Waiśangkā Wwang Panewwan Kṛtapura Sin(ĕ)lir mwang Jayeng Prang Jayâgöng,
Angreyok Kaywapu Wwang Jaladhi Pasuruhan Sāmajādhi prakīrṇ[n]a,
nāhan tādhinya munggw ing watangan alun-alun tan p(ĕ)gat lot maganti,
taṇḍa mwang gusti wadwā haji muwah ikang amwang tuhan ring yawābāp,
mukya ng munggw ing wijil ping kalih adhika bhayangkāry apintâpupul sök,
lor ning dwārê dalĕm nggwanya ika para kṣatriya mwang bhujanggā.
ngkânêng bāyabya ring paścima miděr umārêng mṛtyudeśa yaśâkweh,
sar sök de ning sumantry āmawa pinituha ring wirabhṛtya n panangkil,
anyat kannah kidul pāntaran ika lawangan maṇḍapa mwang gṛhâkweh,
sar sök de bhṛtya sang śrī nṛpati ri Paguhan nityakāla n pasewa.
ngkânê jro ning wijil pingkalih aṛja natarnyâratālwâtiśobha,
sök weśma mwang witanâbhinawa papupulan sang manangkil marêng jro,
wetan têkang gṛhânopama wangunan ikâśry aruhur sopacara,
nggwan śrī nātha n paweh sewa ring umark umungw ing witānâprameya.
Terjemahan Pupuh 9
1.
Demikianlah keadaan orang menghadap, disebut Pangalasan, jumlahnya tak terhingga,
Tanpalwir, Nyū-Gading, Janggala, Kaḍiri, Sĕḍah, Panglarang, Rājadewi,
Waiśangkā, Wwang Panewwan, Kṛtapura, Sinělir dan Jayengprang, Jayâagöng,
Angreyok, Kaywapu, Wwang Jaladhi, Pasuruhan, Sāmajādhi dan lain sebagainya.
Demikianlah yang terbaik diantara mereka, menempati watangan di alun-alun, mereka tanpa putus-putus tekun menjalankan tugasnya,
Para taṇḍa dan gusti, tentara raja dan berikutnya para among-tuhan berada di halaman luar, banyak sekali,
Para pemimpin berada di wijil kedua, yang terbaik diantara mereka: para Bhayangkari berhimpun dalam kelompok besar,
Di sebelah utara pintu penghubung menuju ke ruang dalam itulah tempat mereka, di sebelah selatan adalah tempat para ksatria dan bhujangga ‘pendeta’.
Di sebelah barat laut di bagian barat, melingkar ke arah selatan, terdapat banyak bangunan,
Penuh padat oleh para sumantri yang dihormati dan dianggap sesepuh oleh para wirabhṛtya (prajurit), mereka tengah bersiaga,
Berlainan keadaannya dengan di sebelah selatan, terdapat sebuah gerbang dengan beberapa maṇḍapa dan banyak bangsal istana,
Penuh padat oleh iringan para raja tersohor di Paguhan, yang senantiasa siap melayani.
Di sana di balik gerbang wijil kedua yang indah itu, terdapatlah halaman yang asri dan luas, sungguh amat semarak,
Penuh sesak bangunan-bangunan dan sebuah witana, merupakan tempat pertemuan bagi para bangsawan yang tengah menunggu giliran menghadap ke ruang dalam,
Di sebelah timut adalah bangunan-bangunan yang tiada taranya, strukturnya besar, tinggi, mengesankan keagungan,
Tempat Sri Raja memberikan audiensi, kepada siapa saja yang datang menghadap. Mereka yang bertempat di witana amatlah banyak
Pupuh 10
1
warṇ[n]an warṇ[n]a ni sang manangkil irikang witāna satatā,
mantrī wṛddha parâr[y]a len para pasangguhan sakapaṛk,
mwang sang pañca ri Wilwatikta mapagĕh d[ĕ]mung kanuruhan,
tan sah rangga tumĕnggung uttama ni sang maṛk w(ĕ)ki, p(ĕ)nuh.
2
kweh ning weśapurī kamantryan ing amātya ring sanagara,
don ing bhāsa parâpatih para dĕmung sakala n apupul,
anghing sang juru ning watĕk pangalasan mahīngan apagöh,
pañcâkweh nira mantry anindita rumakṣa kāry[y]a ri dalĕm.
3
ndan sang kṣatriya len bhujangga rṣi wipra yapwan umaṛk,
ngkânê höb ning aśok[h]a munggw i hiring ing witāna mangadĕg,
dharm[m]âḍyaksa kalih lawan sang upapatti sapta dulur,
sang tuhw āry[y]a l(ĕ)kas nirā n pangaran āry[y]a yukti satirun.
Terjemahan Pupuh 10
Akan diceritakan adalah penampilan para pembesar, dalam menghadap raja di witana, tetap,
Mantrī wṛddha, para bangsawan juga di sisi lain terdapat para penyandang gelar keluarga raja,
Dan para pembesar yang berjumlah lima di Majapahit, Mapatih, Demung, Kanuruhan,
Tak terpisah, Rangga, Tumenggung, merekalah yang paling terpandang dari para pembesar yang menghadap raja penuh sesak karena banyaknya.
Jumlah Wesapuri, mantri yang berkedudukan sebagai amatya di seluruh kota,
Menjadi pokok pembicaraan bagi para Patih dan para Demung setiap mereka bertatap muka,
Hanya para pemimpin golongan Pangalasan yang terbatas dan tetap jumlahnya,
Lima jumlahnya, para mantri bertanggung jawab menangani segala urusan di ruang dalam istana.
Kemudian para ksatria di sisi lain para bhujangga, rĕsi, wipra, setiap saat mereka datang menghadap,
Di sana di bawah naungan pohon Aśoka berkedudukan di sisi witana itulah tempat mereka berdiri,
Dharmadyaksa: dua, dengan sang upapati: tujuh, berjajar
Pembesar sejati yaitu arya: perilaku mereka dengan gelar arya, patutlah dijadikan panutan.
Secara keseluruhan kisah raja Majapahit keluar untuk dihadap, berserta parhiasan tahta kerajaan yang dicatat Hikayat Banjar sebagai berikut.
Naskah Hikayat Banjar (ML-43) halaman 24-25 (2):
Sagala mantri itu sudah sama mangadap dipagungan mananti lokinnasnya. Sudah itu dipalu orang galaganjur dipaseban. Sarta parhiasan tahta kerajaan sudah dipasang pada rancak, suci, saparti kalabangan dan kumbala rajasa, tatunggul wulung warna putih diltulis dengan air mas ampat dan lalayu kimka merah bartulis air mas ampat, dan kakanah kimka hijau diparamas ampat, dan kimka merah ampat dan umbul-umbul kimka kuning diparamas ampat, dan Mariam akan tangara itu ampat, dan tumbak ganjur barsamu kuning ampat puluh, dan hindi sarta tumbak ampat puluh. saliliknya parhiasan itu sama dipagang orang baju Sahlat merah barkupiah taranggos sahlat merah. dan kaluar dangan parhiasan orang baju rantai ampat puluh saparti padangnya barkupiah tarangkos sahlat merah, orang astenggar ampat puluh, mambawa dadapa parisai ampat puluh, mambawa tameng ampat puluh sakalinya barlapis-lapis itu orang sarta padangnya ampat puluh, orang sanagri ampat ratus duduk barkuliling marapit raja itu dua orang duduk dihadapan raja ampat puluh, dan orang sarawiil mawan tumbak sama bartatah itu barsalut amas dua puluh, payung bawat diparamas ampat, payung agung, artinya payung ubur-ubur bartulis. ampat orang paragan duduk barlapis-lapis dua ratus. Orang parampuan yang baik-baik rupanya sarta mamakai kain diparamas duduk dihadapan raja itu sama bersarung kuning saratus. Ada yang amas, ada yang mambawa kandi amas, ada yang mambawa kandaga amas, parungguan amas bartatahkan ratna mutu manikam, ada yang mambawa udutan timbaku suasa, dan kaling amas. Maka raja kain gadang diparamas, barsabuk tali udut air mas, barsasumping surengpati, barkaris Jaga Piturun barlandean cula bungulat barpanduk timbaga suasa barurap-urap sari mamakai narawastu. Maka banyak tiada tarsabutkan.
Berdasar teks tersebut, parhiasan tahta kerajaan Majapahit yang telah dipasang pada rancak suci adalah sebagai berikut.
- kalabangan
- dan kumbala rajasa,
- tatunggul wulung warna putih diltulis dengan air mas ampat
- dan lalayu kimka merah bartulis air mas ampat,
- dan kakanah kimka hijau diparamas ampat,
- dan kimka merah ampat
- dan umbul-umbul kimka kuning diparamas ampat,
- dan Mariam akan tangara itu ampat,
- dan tumbak ganjur barsamu kuning ampat puluh,
- dan hindi sarta tumbak ampat puluh.
- saliliknya parhiasan itu sama dipagang orang baju Sahlat merah barkupiah taranggos sahlat merah.
- dan kaluar dangan parhiasan orang baju rantai ampat puluh saparti padangnya barkupiah tarangkos sahlat merah,
- orang astenggar ampat puluh,
- mambawa dadapa parisai ampat puluh,
- mambawa tameng ampat puluh sakalinya barlapis-lapis itu orang sarta padangnya ampat puluh,
- orang sanagri ampat ratus duduk barkuliling marapit raja itu
- dua orang duduk dihadapan raja ampat puluh,
- dan orang sarawiil mawan tumbak sama bartatah itu barsalut amas dua puluh,
- payung bawat diparamas ampat,
- payung agung, artinya payung ubur-ubur bartulis.
- ampat orang paragan duduk barlapis-lapis dua ratus.
- Orang parampuan yang baik-baik rupanya sarta mamakai kain diparamas duduk dihadapan raja itu sama bersarung kuning saratus. Ada yang amas, ada yang mambawa kandi amas, ada yang mambawa kandaga amas, parungguan amas bartatahkan ratna mutu manikam, ada yang mambawa udutan timbaku suasa, dan kaling amas.
- Maka raja kain gadang diparamas, barsabuk tali udut air mas, barsasumping surengpati, barkaris Jaga Piturun barlandean cula bungulat barpanduk timbaga suasa barurap-urap sari mamakai narawastu.
- Maka banyak tiada tarsabutkan.
Dalam Hikayat Banjar tersebut dicatat adanya pasukan pengawal raja berjumlah 40 yang mengenakan baju rantai serta membawa pedang dan mengenakan kupiah (dari kain?) tarangkos warna coklat merah (dan kaluar dangan parhiasan orang baju rantai ampat puluh saparti padangnya barkupiah tarangkos sahlat merah). Mereka yang mengenakan baju rantai membawa pedang dan mengenakan kupiah tersebut dicatat sebagai bagian dari pasukan pengawal raja.
Informasi ini seperti memperkaya informasi kisah Kidung Ranggalawe bahwa pasukan berbaju rantai tidak hanya digunakan sebagai pasukan garis depan tapi juga pasukan pengawal raja. Hanya saja pasukan yang berbaju rantai sebagai pengawal raja di Majapahit menurut Hikayat Banjar, memiliki ciri khas dibanding informasi Kidung Ranggalawe. Di mana mereka menggunakan kupiah tarangkos warna sahlat merah. Sebuah gambaran yang tidak dikisahkan dalam Kidung Ranggalawe.
Parhiasan Tahta Kerajaan Majapahit Pada Hikayat Banjar Dalam Perbandingan
Teks Hikayat Banjar yang bersumber pada Naskah Hikayat Banjar (ML-43), secara umum memiliki kesamaan dengan teks Hikayat Banjar dan Kotaringin. Sekalipun keduanya memiliki kesamaan, namun keduanya memiliki perbedaan khususnya dalam penceritaan parhiasan tahta kerajaan Majapahit yang telah dipasang pada rancak suci. Persamaan dan perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
Berikut, perbandingan parhiasan tahta kerajaan Majapahit yang telah dipasang pada rancak suci dalam teks Hikayat Banjar ML-43 (HB) dan Hikayat Banjar dan Kotaringin (HBK).
HB : kalabangan
HBK : kalabangan
HB : dan kumbala rajasa
HBK : dan gumbala raja
HB : tatunggul wulung warna putih diltulis dengan air mas ampat
HBK : dan tatunggal wulang warna putih ditulis dengan aer maas
HB : dan lalayu kimka merah bartulis air mas ampat
HBK : dan lalayu kamuga merah ditulis aer maas ampat
HB : dan kakanah kimka hijau diparamas ampat
HBK : dan kandaga kamoga hijau dipermaas ampat
HB : dan kimka merah ampat
HBK : –
HB : dan umbul-umbul kimka kuning diparamas ampat
HBK : dan ambul-ambul kamoga kuning dipermaas ampat
HB : dan Mariam akan tangara itu ampat
HBK : mariam akan tangara itu ampat
HB : dan tumbak ganjur barsamu kuning ampat puluh
HBK : dan tumbak ganjur bersulam kuning ampat pouluh
HB : dan hindi sarta tumbak ampat puluh
HBK : dan handei serta tumbaknya ampat puluoh
HB : saliliknya parhiasan itu sama dipagang orang baju Sahlat merah barkupiah taranggos sahlat merah
HBK : sekaliannya perhiasan itu sama dipegang orang berbaju sakelat merah berkopiah tarandus sakelat merah itu
HB : dan kaluar dangan parhiasan orang baju rantai ampat puluh saparti padangnya barkupiah tarangkos sahlat merah
HBK : kaluar dengan perhiasannya orang berbaju ranti ampat puluh serta pedangnya berkopyah tarangasa sakelat merah
HB : orang astenggar ampat puluh
HBK : orang membawa astenggar ampat puluh
HB : mambawa dadapa parisai ampat puluh
HBK : orang membawa perisai serta pedangnya ampat puluh
HB : mambawa tameng ampat puluh sakalinya barlapis-lapis itu orang sarta padangnya ampat puluh
HBK : –
HB : –
HBK : orang membawa adap-adap serta sudoknya sepuluh
HB : –
HBK : orang membawa panah serta araknya sapuluh
HB : –
HBK : yang membawa tumbak parampukan bersulam ampat
HB : –
HBK : yang membawa tameng bali bertulis maas ampat puluh
HB : orang sanagri ampat ratus duduk barkuliling marapit raja itu
HBK : sekaliannya itu ada duduk berlapis-lapis alat raja dan Singanegara ampat ratus ia duduk berkeliling memeriksa raja itu
HB : dua orang duduk dihadapan raja ampat puluh,
HBK : dan orang mawargu duduk di hadapan raja ampat-ampat puluh
HB : dan orang sarawiil mawan tumbak sama bartatah itu barsalut amas dua puluh
HBK : dan orang-orang desa Rawasimauan tumbak sama bertatah bersalut maas dua puluh
HB : payung bawat diparamas ampat
HBK : dan payung baut dipermaas ampat
HB : payung agung, artinya payung ubur-ubur bartulis ampat
HBK : payung ubur-ubur bertulis maas ampat
HB : orang paragan duduk barlapis-lapis dua ratus
HBK : orang pembarakan duduk berlapis-lapis dua ratus
HB : Orang parampuan yang baik-baik rupanya sarta mamakai kain diparamas duduk dihadapan raja itu sama bersarung kuning saratus. Ada yang amas, ada yang mambawa kandi amas, ada yang mambawa kandaga amas, parungguan amas bartatahkan ratna mutu manikam, ada yang mambawa udutan timbaku suasa, dan kaling amas.
HBK : Orang perempuan yang baik rupanya serta memakai kain dipermaas duduk di hadapan raja itu seratus sama bersamar kuning ada yang membawa lampit maas ada yang membawa kendi maas ada yang membawa kendaga maas paranggunya maas di tanah ratna mutu manikam ada yang membawa udutan tembaga suasa sahunggalannya maas
HB : Maka raja kain gadang diparamas, barsabuk tali udut air mas, barsasumping surengpati, barkaris Jaga Piturun barlandean cula bungulat barpanduk timbaga suasa barurap-urap sari mamakai narawastu
HBK : maka raja itu kain kadiang dipermaas disabut tali uwat dan aer maas bersasumping suranggapati berkeris cangapiturun landian jula bunga ulan pendok tembaga suasa berurap-urap sri memakai minyak narawastu
HB : Maka banyak tiada tarsabutkan
HBK : maka banyak tiada tersebut
Dari perbandingan Hikayat Banjar ML-43 (HB) dan Hikayat Banjar dan Kotaringin (HBK) tersebut, maka dapat dikatakan sesungguhnya keduanya memiliki kisah yang saling memperkuat. Demikian pula dengan kisah pasukan yang berbaju rantai sebagai pengawal raja di Majapahit.
Di mana dalam HB dicatat: dan kaluar dangan parhiasan orang baju rantai ampat puluh saparti padangnya barkupiah tarangkos sahlat merah. Dan pada HBK dicatat: kaluar dengan perhiasannya orang berbaju ranti ampat puluh serta pedangnya berkopyah tarangasa sakelat merah.
Dengan keduanya mengisahkan hal yang sama, maka kisah pasukan yang berbaju rantai tersebut, menjadi kisah yang tidak mendapat pertentangan atau memiliki kebenaran.
Prajurit Jawa di Boxer Codex
Berdasar informasi Hikayat Banjar tersebut, pasukan baju rantai Majapahit dicatat memiliki senjata khas yaitu pedang. Informasi Hikayat Banjar dan Hikayat Banjar dan Kotaringin tersebut ternyata memiliki kesamaan dengan informasi Boxer Codex (Códice Boxer) karya Luis Pérez Dasmariñas. (3) Pada Boxer Codex hal: 92, salah satunya dilukiskan pasukan Jawa, yaitu sebagai berikut. (4)

Boxer Codex yang untuk pertama kalinya dipublikasikan tahun 1590 dengan menggunakan bahasa Spanyol tersebut, kiranya melukiskan pasukan Jawa dengan maksud pasukan Era Demak. Pasukan yang masih menerapkan tradisi Majapahit.
Dalam lukisan tersebut, pasukan Jawa mengenakan baju zirah yang dapat diidentifikasi sebagai waju rante. Selain itu, mengenakan pedang panjang dan pedang pendek serta memanggul sebuah senjata api.
Informasi waju rante dan pedang memiliki dua keidentikan dengan informasi Hikayat Banjar. Hanya saja Hikayat Banjar tidak mendeskripsikan jenis pedang yang dikenakan pasukan pengawal raja Majapahit. Sehingga kala Boxer Codex melukiskan panjang dan pendek, maka hal tersebut tetap dimungkinkan. Boxer Codex juga tidak mencatat adanya kupiah tarongkos yang dikenakan prajurit Jawa, sehingga prajurit Jawa yang digambarkan tersebut bukan pasukan pengawal raja.
Terkait senjata api yang dipanggul pasukan Jawa dalam Boxer Codex, juga bukan sesuatu yang baru. Pada Kidung Ranggalawe, pasukan Majapahit juga telah mengenal bĕdil, (C.C. Berg, 1930:91). Berdasar informasi Kidung Ranggalawe 7.31 pula, senjata pasukan winaju rante dimungkinkan adalah gāņḑīwa ‘busur’, bĕdil ‘senapan’, tameng ‘perisai’, towok ’tombak’, dan kantar ‘sejenis tombak?‘. Dengan demikian bĕdil ‘senapan’ dimungkinkan menjadi senjata para winaju rante. Sebuah informasi yang memiliki keidentikan dengan informasi Boxer Codex. Demikian pula dalam Hikayat Banjar. Menurut Hikayat Banjar, orang Majapahit telah mengenal astenggar dan bedil. Hikayat Banjar mencatat: orang astenggar ampat puluh, dan Hikayat Banjar Kotaringin mencatat: orang membawa astenggar ampat puluh. Astenggar = astengger = istinggar? Istinggar adalah sejenis senjata api.
Istinggar memiliki laras yang panjang dan berhulu bengkok, serta menggunakan tali sabut kelapa sebagai sumbu pencucuh. Daya sentakan (recoiling) istinggar ketika tembakan dilepaskan tidak dikawal oleh bahu tetapi pipi dan pergelangan tangan. Proses pencucuhan bedil ini agak lambat kerana penggunaan sumbunya – agak berisiko dalam menghadapi cuaca lembap atau tiupan angin yang kuat. Sementara itu, laras istinggar lebih ringkas tanpa alur berpilin (rifled) di bahagian dalamnya. Untuk itu, ia menembakkan peluru-peluru berbentuk bulat yang diperbuat dari plumbum atau timah – yang diisi dengan pecahan tembikar, batuan kecil sehinggalah beras; dan oleh kerana ia merupakan jenis senapang awal, proses mengisi peluru ke dalam larasnya itu (muzzleloading) sangat perlahan dan kompleks berbanding senapang terkemudian (Wan Mohd Dasuki & Othman Yatim, 2013). (5)
Sementara itu bedil atau bĕḑil merupakan Bahasa Jawa Kuna yang berarti bedil, senjata api (model kuno), senapan, (Zoetmulder, 1995: 119). Bedil (badil) dicatat dalam Hikayat Banjar, yaitu dalam teks Hikayat Banjar (ML-43) halaman 26, sebagai berikut.
Sudah itu maka raja manyarahkan anaknya pada Lambung Mangkurat itu. Sarta dibawahnya anaknya laki-laki sapuluh, orang parampuan sapuluh, orang babadong amas satu, galang ponto’ barnaga sapasang, galang todong bartatah amas sapasang, galang kana amas saratas bunggal’ sapasang, sabuk garingsing wayang satu, kain kancana salambar, tapih cindai sapuluh lambar, kimka putih salambar, kain sarasah sapuluh lambar, baju kimka kuning salambar, kimka hijau salambar, kimka merah salambar, kimka hitam salambar, satu karis Jaga-Piturun bartatah sapuluh pucuk, lande-annya cula bungulan, pamandaknya timbaga suasa, pamandaknya amas, badil cocorong bartatah amas dua pucuk, payung agung putih bartulis air mas dua, payung kartas dua, amas saratus tail, dan rial saribu, gamalan sarancak, bandi nama macan, pakatik satu barnama Mundung dua barnama si Mangun, gong sarancak yang barnama si larasati.
Kalimat badil cocorong bartatah amas dua pucuk sebagai senjata yang diberikan untuk sertaan anak Raja Majapahit yang diminta Lambu Mangkurat menunjukkan badil (bedil) telah dikenal era Majapahit menurut informasi Hikayat Banjar. Dalam teks Hikayat Banjar dan Kotaringin digunakan istilah bedil dan bukan badil, bedil cacorong bertatah // sarasan dua pucuk.
Dari hal tersebut, maka lukisan pasukan Jawa dalam Boxer Codex dapat dikatakan memiliki beberapa relevansi dengan Hikayat Banjar (seperti baju rantai dan pedang) serta Kidung Ranggalawe (seperti baju rantai dan dimungkinkan juga bĕdil). Dengan demikian lukisan pasukan Jawa yang dihadirkan untuk melukiskan pasukan Jawa era Demak tersebut, sesungguhnya juga memiliki keidentikan dengan pasukan Jawa era Majapahit.
Sekalipun lukisan pasukan Jawa dalam Boxer Codex tersebut lebih memiliki keidentikan dengan kisah Hikayat Banjar karena lukisan tersebut mengenakan baju rantai dan pedang, namun lukisan pasukan Jawa dalam Boxer Codex tersebut sesungguhnya lebih memiliki keterkaitan dengan informasi Kidung Ranggalawe. Hal ini karena lukisan tersebut sebenarnya tidak untuk melukiskan pasukan pengawal raja yang tertutup sebagaimana informasi Hikayat Banjar, namun melukiskan pasukan lapangan garda terdepan yang dapat dilihat oleh penulis atau pun pelukis Boxer Codex, sebagaimana informasi Kidung Ranggalawe.*
Catatan:
- Lihat Pigeaud, Th.G.Th, Java in the 14th Century, A Study in Cultural History I. The Hague, 1960, hal: 8-9.
- Sumber: https://idr.uin-antasari.ac.id/21116/9/9.%20Lampiran%20Belakang%20-%20Dinu.pdf
- Lihat https://archive.org/details/boxercodex/page/n15/mode/2up.
- Gambar diambil dari gambar KANDANG KEBO Menapak Jejak Sang Leluhur Nusantara. Lihat: https://www.facebook.com/groups/597697120439262/posts/1338469186362048/
- Lihat, Wan Mohd Dasuki Wan Hasbullah, Istinggar dalam Manuskrip Melayu: Tradisi Ilmu dan Teknologi Minangkabau. Makalah ini disampaikan dalam Wacana Manuskrip Melayu Siri 1 (2019) di Pusat Dagangan Dunia Putra (PWTC), Kuala Lumpur pada 4 April 2019, hal: 2.
Penulis:
Irawan Djoko Nugroho
Filolog Jawa Kuna
Disosialissikan kembali dari CoreNews.id