Pemerintah saat ini tengah menggarap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang ditargetkan rampung pada HUT ke-80 RI pada 17 Agustus 2025. Salah satu topik yang diangkat ialah rencana perubahan sejarah RI dijajah selama 350 tahun.
Hal ini disampaikan Menteri Kebudayaan Fadli Zon Hotel Shangri-La, Jakarta (8/5/2025) lalu. Menurut Fadli Zon, tak seluruh wilayah Indonesia mengalami penjajahan selama 350 tahun oleh kolonialisme Belanda. Menurutnya kembali, faktanya banyak daerah di Indonesia yang tak memilih tunduk kepada kolonialisme. Lewat proyek penulisan ulang sejarah, ia kemudian mengajak seluruh pihak untuk melihat kembali sejarah secara lebih objektif.
Penjajahan 350 Tahun Menurut Bapak Bangsa
Pernyataan Fadli Zon ini bertolak belakang dengan pernyataan Bapak Bangsa Soekarno. Soekarno dengan tegas menyebut Indonesia dijajah selama 350 tahun. Hal ini dapat dilihat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 2’. Buku yang menghimpun 20 pidato Sukarno setiap tanggal 17 Agustus sejak 1945 hingga 1966, plus 2 pidato di luar tanggal 17 Agustus ini, diantaranya berbunyi sebagai berikut.
“….Tatkala pada 17 Agustus tahun yang lalu kita memproklamirkan kemerdekaan kita dengan kata-kata sederhana, belum dapat kita membayangkan benar-benar apa yang kita hadapi. Kita hanyalah mengetahui, bahwa Proklamasi kita itu adalah satu kata pekik “berhenti!” kepada penjajahan yang 350 tahun,” (Sekali Merdeka Tetap Merdeka: 17 Agustus 1946 di Yogyakarta).
“Benar, selama 350 tahun Indonesia memang telah memberikan darahnya bagi hidupnya bangsa lain. Penjajah menjadi gemuk, kita menjadi kurus-kering,” (Berilah Isi Kepada Hidupmu: 17 Agustus 1956 di Jakarta).
“Dia apakah juga tidak tahu, bahwa bangsanya sendiri 350 tahun terjajah, 350 tahun terkungkung dan terhina, 350 tahun tertindas dan terhisap, 350 tahun diingkel-ingkel menjadi satu bangsa lung-lit oleh Old Established Order itu?,” (Genta Suara Republik Indonesia: 17 Agustus 1963 di Jakarta).
Pernyataan Soekarno tersebut sesungguhnya jelas, terlebih kala ia mengatakan “Benar, selama 350 tahun Indonesia memang telah memberikan darahnya bagi hidupnya bangsa lain”. Soekarno tentu tahu sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Dimulai dari kedatangan Cornelis Houtman 1596, sebagai pelopor penjajahan Belanda diikuti kemudian dengan penjajahan Jakarta dan sekitarnya serta Maluku Selatan.
Nasionalisme yang diusung Soekarno di sini adalah menggunakan konsep solidaritas. Bila satu daerah telah menderita sebagai daerah yang dijajah maka hendaknya hal ini dianggap sebagai suatu penderitaan bersama, penderitaan seluruh bangsa Indonesia, dengan kata lain, sebagai penjajahan atas seluruh bangsa Indonesia.
Dari hal tersebut, menjadi tidak benar bila kemudian Ulil Absiroh, Isjoni, dan Bunari dalam jurnal berjudul ‘Sejarah Pemahaman 350 tahun Indonesia Dijajah Belanda’ (2017) mengatakan jika pidato Sukarno sebetulnya bukanlah fakta sejarah, melainkan sebuah propaganda politik untuk membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme rakyat Indonesia.
Tidak Dijajah 350 Mengikuti Sarjana Kolonial Belanda
Pernyataan Fadli Zon soal tak ada satupun wilayah Indonesia yang benar-benar dijajah 350 tahun ini senada dengan G. J. Resink dalam bukunya Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910. Enam Tulisan Terpilih (Penerbit Djambatan, 1987) serta Bukan 350 Tahun Dijajah (Komunitas Bambu, 2012).
Dikutip dari buku ‘Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910′, Resink pernah menyatakan sebagai berikut. ‘Pernyataan-pernyataan itu, karena rasa hati terungkap daripadanya telah mengajarkan kepada saya untuk melihat gambaran penjajahan seluruh Indonesia berabad-abad lamanya sebagai penyamarataan buatan luar negeri berpusat pada Jawa. Dalam penyamarataan itu, maka penjajahan seluruh Jawa dalam abad kesembilanbelas dipertebal dan diperluas menjadi penjajahan seluruh Indonesia selama tiga abad atau lebh lama lagi; kerenggangan berfikir diperluas dengan cara pikiran pars-pro-toto, yang menyebutkan bagian (kecil) yang (asal mulanya hanya terdiri dari Jakarta dan sekitarnya serta Maluku Selatan) senantiasa dibesar-besarkan sebagai keseluruhan (seluruh Indonesia),’ (Resink, 1987:27).
Resink juga menyatakan bahwa masih banyak kerajaan di Indonesia yang belum pernah ditaklukkan Belanda hingga 1900-an. Resink mengatakan pada abad ke-17, kerajaan-kerajaan lokal dapat menjalin hubungan diplomatik dengan bangsa lain tanpa diatur pemerintahan VOC. Sepanjang 1900-an juga masih banyak kerajaan lokal yang belum dijajah Belanda. Dalam buku itu, ia mencatat beberapa kerajaan seperti Aceh yang baru dikalahkan pada 1903 dan Bone pada 1905. Kemudian Kerajaan Klungkung di Bali yang berakhir pada 1908 buntut kekalahannya di Perang Puputan Klungkung.
Pernyataan Resink ini merupakan wajah asli kolonial. Di mana penjajahan Jakarta dan sekitarnya serta Maluku Selatan dianggap sebagai hal kecil. Wajah kolonial adalah wajah moralis tanpa merasa bersalah. Hal ini diperkuat dengan dikutipan pernyataannya sebagai berikut.
“Demikianlah pula jajahan yang sudah ‘dewasa’ mengenangkan dengan berterima kasih apa yang dibuat untuknya oleh negara induk (negara penjajah, red.), (Resink, 1987:176).
Merubah Sejarah Memenangkan Belanda
Disadari atau tidak, upaya Fadli Zon yang mengajak seluruh pihak untuk melihat kembali sejarah secara lebih objektif yang bertumpu pada pendapat Resink sesungguhnya tengah menghancurkankan Nasionalisme Indonesia. Nasionalisme yang bertumpu pada solidaritas sebuah bangsa, secara nyata akan dihancurkan.
Resink dengan ‘cerdik’ menusuk nasionalisme itu dengan membalikkan solidaritas yang diusung para Bapak Bangsa. Dengan menyebut adanya ‘bangsa merdeka’, rasa solidaritas itu kemudian dibaliknya. Selama ada satu daerah yang masih ‘merdeka’ dan belum masuk wilayah Hindia Belanda, maka hendaknya dilihat sebagai kemerdekaan bersama. Dengan demikian, Indonesia seharusnya tidak dianggap dijajah 350 tahun.
Pendapat ‘cerdik’ Resink tersebut, kiranya hanya ingin menghilangkan ‘pengungkungan, penghinaan, penindasan dan perhisapan’ penjajahan Belanda, sebagaimana istilah yang digunakan Soekarno, pada negara Nusantara lain yang mengalaminya sebelumnya. Hal mana kiranya kurang disadari oleh Fadli Zon.
Resink sengaja atau tidak juga telah mengaburkan kata ‘merdeka’ yang ada. Kata ‘merdeka’ ini sebenarnya merupakan sebuah majas eufemisme, yaitu gaya bahasa yang digunakan untuk menyampaikan sesuatu dengan lebih halus dan sopan, terutama saat membahas topik sensitif atau kurang enak didengar. Makna ‘merdeka’ yang dimaksud sesungguhnya adalah yang tidak ‘dianggap’ Belanda. Tidak memiliki ‘nilai ekonomi’ untuk dihisap dan diingkel-ingkel sebagaimana menggunakan istilah Soekarno, oleh Belanda. Khususnya, rempah dan hasil pertanian lain sebagai komoditas utama dunia kala itu di abad 15-19.
Terlebih lagi kemerdekaan negara yang dianggap ‘merdeka’ oleh Resink, tidak membuat negara ‘merdeka’ tersebut mandiri dan memiliki daya saing dipergaulan dunia. Hal ini karena mereka, jika kembali menggunakan istilah Soekarno ‘dikungkung’, baik secara politik dan ekonomi dalam hubungan internasionalnya. Bahkan, kedaulatan internasional yang dimiliki negara ‘merdeka’ yang disebut Resink, sama sekali tidak bisa disamakan dengan kedaulatan internasional yang dimiliki Indonesia setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda tahun 1949. Karena itu sesungguhnya ‘merdekanya’ di mana?
Bilamana negara yang disebut ‘merdeka’ tersebut memiliki ‘nilai ekonomi’ bagi Belanda, maka ia pasti akan segera dijadikan negara jajahan seperti negara lainnya di Hindia Belanda. ‘Nilai ekonomi’ tersebut bisa secara secara langsung (dieksplorasi) maupun tidak (sebagai pasar). Terbukti setelah ditemukannya komoditas baru dunia bernama minyak bumi yang mulai dieksplorasi di Jawa tahun 1871 sebagai salah satu contohnya, semua negara yang mulanya tidak ‘dianggap’ Belanda kemudian segera dijajah Belanda.
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Perlu Dikaji Ulang
Dari hal tersebut, maka penggarapan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia sesungguhnya perlu dikaji ulang. Seharusnya tidak ditujukan untuk perubahan ‘sejarah RI dijajah selama 350 tahun’, karena masih banyak penulisan ulang sejarah Indonesia lain.
Seperti misalnya, menghilangkan istilah ‘Kerajaan Majapahit’ karena sesungguhnya yang ada menurut Prapanca adalah Kerajaan Jawa. Penyatuan Nusantara tidak dilakukan oleh Gajah Mada sebagaimana yang diangkat para sarjana Belanda. Selain itu, Pengungkapan Sistem Pemerintahan pada masa lalu, Luas Wilayah ‘Kerajaan Jawa’ yang sampai meliputi kekaisaran Cina, atau Runtuhnya Kerajaan Maritim Mataram. Dan tentu masih banyak lainnya. Penulisan ulang tersebut tentu lebih urgent bagi sejarah RI.
Namun bila Pemerintah tetap memaksakan rencana perubahan sejarah RI dijajah selama 350 tahun, maka pemerintah tidak boleh menganggap pendapat Resink sebagai pendapat yang paling benar. Penyederhanakan sebuah patung Gubernemen Hindia Belanda yang amat berkuasa dalam bagian kedua abad kesembilan belas, sebagaimana pengakuannya, yaitu dengan mencopot bagian-bagian yang terlalu plastis, (G.J. Resink, 1987:99), tidak bisa memasukkannya secara otomatis sebagai pembeharu sejarah. Perlu kajian ulang atas apa yang telah ia lakukan, oleh para ahli filologi, sejarah, dan arkeologi saat ini, sebelum pendapat tersebut dijadikan master penulisan Sejarah Baru Indonesia.*
Penulis:
Irawan Djoko Nugroho
Filolog Jawa Kuna
Sumber:
G. J. Resink, Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910. Enam Tulisan Terpilih. Jakarta, 1987, Penerbit Djambatan.
G. J. Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah. Jakarta, 2012, Penerbit Komunitas Bambu.
Irawan Djoko Nugroho Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
__ Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Perdagangan Dunia. Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta, 2011.
__ Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit, Jakarta: 2022.
Website:
https://kumparan.com/kumparannews/ayah-megawati-sukarno-ternyata-pernah-3-kali-singgung-penjajahan-350-tahun-1vvWBFMXtbg/full
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250509141859-20-1227733/sejarawan-ke-fadli-zon-sejarah-ri-tak-dijajah-350-tahun-sudah-ditulis
https://www.nusantarareview.com/sistem-multipartai-indonesia-era-reformasi-bawa-negara-tanpa-visi-kebangsaan.html
https://www.nusantarareview.com/tahun-saka-dalam-catatan-filologis.html
Disosialisasikan kembali dari CoreNews.id.