Dalam narasi ASISI Channel: ‘Tribhuwana Tunggadewi & Rahasia Majapahit Menyatukan Nūṣântara’ yang kini berubah menjadi: ‘Tribhuwana Tunggadewi: The Great Java Queen that Brought Majapahit to Its Golden Ages’, tepatnya di menit 13.58-14.28, dicatat sebagai berikut.
“Narasi:
Dan di masa kekuasaan Tribuwana, Majapahit berubah dari kerajaan kecil yang digerogoti pemberontakan menjadi kemaharajaan yang espansif. Majapahit menjadi lebih kaya karena sukses mendominasi jalur perdagangan utama di pesisir utara Jawa. Seandainya Tribhuwana tidak pernah bertahta, dan Jayanagara yang diejek Pararaton dengan Kalagemet terus berkuasa, kecil kemungkinan visi penyatuan Nusantara akan terwujud”.
Narasi tersebut tidak hanya keliru namun secara jelas juga menghilangkan sejarah gemilang Raja Jayanagara. Pertama, karena narasi tersebut hanya mendasarkan pada sumber Pararaton. Kedua, narasi tersebut menghilangkan informasi sumber prasasti. Padahal menurut informasi sumber prasasti, Raja Jayanagara merupakan satu-satunya raja Majapahit yang mampu menaklukkan kerajaan Pandya di India. Sebuah prestasi yang tentu sangat luar biasa. Karena itu seperti apa sebenarnya sejarah Raja Jayanagara, ada banyak hal yang wajib diketahui. Tentu saja dengan dasar sumber-sumber teks dari naskah atau prasasti, yang valid, kredibel, dan juga resmi. Semua dilakukan agar pemaparan sejarah dalam narasi yang dilakukan, tidak menjadi penghilangan sejarah masa lampau.
1. Sejarah Raja Jayanagara Versi Pararaton
Dalam Pararaton, Raja Jayanagara adalah Raja Majapahit kedua. Pararaton mencatat informasi yang unik tentang masa pemerintahan raja ini. Dalam Serat Pararaton Drs. R. Pitono Hardjowardo, Raden Wijaya dicatat naik tahta pada tahun 1216 S/1294 M dan meninggal tahun 1257 S/1335 M, (R. Pitono Hardjowardo, 1965:47). Sementara itu Raja Jayanagara tidak dicatat tahun berapa ia naik tahta namun tahun meninggalnya dicatat tahun 1250 S/1328 M, (R. Pitono Hardjowardo, 1965:47).
Dengan demikian, informasi Pararaton seperti mencatat Raja Jayanagara memerintah saat Raden Wijaya masih hidup dan meninggal saat Raden Wijaya masih hidup juga. Selain itu, ada keunikan lain. Di dalam Pararaton, selama masa pemerintahan Raja Jayanagara dicatat dilalui dengan terus-menerus adanya pemberontakan. Pararaton bahkan mencatat ada 11 pemberontakan yang terjadi. Di mana kesebelas pemberontakan tersebut adalah sebagai berikut (R. Pitono Hardjowardo, 1965:47-50).
- Pemberontakan Ranggalawe (1217 S).
- Pemberontakan Sora (1222 S).
- Pemberontakan Jurudemung (1224 S). Pemberontakan Jurudemung dapat dikatakan paling lama. Sebab ia memberontak 2 tahun setelah Sora, dan Jurudemung meninggal tahun 1233 S.
- Pemberontakan Gajah Biru (1236 S).
- Pemberontakan Mandana (1237 S?).
- Pemberontakan Wagal (1237 S?).
- Pemberontakan Nambi (1238 S).
- Pemberontakan Lusem (1239?).
- Pemberontakan Semi (1240 S).
- Pemberontakan Kuti (1241 S).
- Pemberontakan Tanca (1250 S).
2. Perbedaan Informasi Pararaton, Kidung, dan Nāgarakṛtāgama
Dengan ketidakjelasan informasi masa awal dimulainya pemerintahan Raja Jayanagara, sementara masa akhir pemerintahan Sri Kṛtarājasa dicatat lebih lama dari masa akhir pemerintahan Raja Jayanagara, maka ada kejanggalan pada informasi Pararaton. Sepertinya penulis Pararaton tidak mengetahui dengan baik sejarah Raja Jayanagara dan Raja Sri Kṛtarājasa sebenarnya.
Bila dibandingkan dengan sumber data lain seperti kidung misalnya, maka dicatat terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
Pada Pararaton, para pemberontak Raja Jayanagara dicatat banyak yang dilakukan oleh para sahabat Raden Wijaya atau ayah Raja Jayanagara. Mereka dahulu dicatat ikut berjuang membangun Majapahit. Pemberontakan tersebut diantaranya terjadi karena hasutan Mahapati. Karena itu Mahapati kemudian dihukum bunuh (R. Pitono Hardjowardo, 1965:49). Berbeda dengan Pararaton, informasi kidung juga mencatat pemberontakan sebagaimana yang dicatat dalam Pararaton. Seperti misalnya Kidung Ranggalawe dan Kidung Sorandaka. Namun dalam Kidung Ranggalawe, Ranggalawe dicatat melakukan pemberontakan kepada Raden Wijaya dan bukan Raja Jayanagara. Pada Kidung Sorandaka, dicatat adanya 4 pemberontakan, yaitu: Ranggalawe, Sora, Nambi, dan Kuti.
Sementara itu jika dibandingkan dengan Nāgarakṛtāgama, juga terdapat banyak perbedaan lain. Menurut Nāgarakṛtāgama (Nāg. 47.1-3), Raja Kṛtarajasa Kṛtarājasa menjadi raja tahun 1216 S/1294 M dan meninggal tahun 1231 S/1309 M. Tidak dicatat adanya pemberontakan terjadi pada eranya. Raja Jayanagara diangkat menjadi Raja Kadiri tahun 1217 S/1295 M. Ia menggantikan ayahnya (Raja Kṛtarājasa) menjadi Raja Majapahit tahun 1231 S/1309 M. Pada tahun 1238 S/1316 M, Raja Jayanagara menghancurkan pemberontak Nambi di Lumajang. Raja Jayanagara meninggal tahun 1250 S/1328 M, (Nāg. 48.1-3). Dengan demikian menurut Nāgarakṛtāgama, hanya dicatat ada 1 pemberontakan pada masa Raja Kṛtarajasa hingga Raja Jayanagara. Pemberontakan itu dilakukan Nambi di Lumajang tahun 1238 S/1316 M (Nāg. 48.2).
Persamaan dan Perbedaan Pemberontakan Era Raja Kṛtarājasa dan Raja Jayanagara Menurut Pararaton, Nāgarakṛtāgama, dan Kidung.
3. Kisah Raja Jayanagara Yang Dihilangkan
Dibanding Kidung dan Pararaton, Nāgarakṛtāgama dicatat merupakan sumber yang memiliki kedekatan dengan sumber asli berita yang ada. Hal ini karena Nāgarakṛtāgama ditulis tahun 1365 M, sementara Kidung dan Pararaton dibuat sekitar tahun 1600-an. Pararaton bahkan dicatat dibuat tahun 1535 S/1613 M. Dilihat dari sisi isinya, Nāgarakṛtāgama juga merupakan sebuah prasasti dan bukan sekedar karya sastra, (Irawan Djoko Nugroho, 2010: 26-72).
Dengan hal tersebut, Nāgarakṛtāgama dapat dikatakan sebagai sumber utama sejarah Majapahit dibanding sumber Kidung atau Pararaton. Menariknya, Nāgarakṛtāgama ternyata hanya mencatat adanya 1 pemberontakan di era Rajasanagara yaitu tahun 1238 S/1316 M. Informasi Nāgarakṛtāgama ini seperti menginformasikan jika Majapahit era Kṛtarajasa hingga Rajasanagara relatif aman dan solid. Karena itu kala terjadi pemberontakan Nambi di Lumajang, pemberontakan tersebut kemudian dapat dihancurkan dengan mudah.
Informasi Nāgarakṛtāgama tentang Majapahit era Rajasanagara aman dan solid tersebut, ternyata juga selaras dengan informasi lain dibandingkan informasi Kidung dan Pararaton. Informasi tersebut misalnya adalah informasi Praśāsti Jayanagara II (1323 M) dan Catatan Odorico Mattiuzzi. Catatan Odorico Mattiuzzi (Odorico da Pordenone) diperkirakan terjadi tahun 1321-1322 M, era di mana Raja Jayanagara berkuasa. (1) Dalam Praśāsti Jayanagara II, dicatat adanya aneksasi Majapahit ke India. Sementara itu dalam catatan Odorico da Pordenone, Jawa era Raja Jayanagara dicatat jadi pusat rempah dunia.
Informasi Praśāsti Jayanagara II
Praśāsti Jayanagara II (Muhammad Yamin II, 1962: 43):
… sakala sujana nika rahṛdaya kumuda wīkaśa niśākara, akila pratipaksa niśandha karakṣa yadiwākara, wipraksatrôbhaya kula wiśuddha, śrī Suṇdarapāṇdyadewâdhîswara nāma rājâbhiṣeka, …
Terjemahan :
‘… seperti bulan yang membuka kembang tunjung-jantung dari perkampungan segala orang baik-baik; yang membinasakan segala musuh; seperti Matahari yang melenyapkan kegelapan pada waktu malam hari, yang digembirakan Wipra dan Satria, yang berbahagia dapat bertegak nama penobatan raja, berbunyi: Iswara Suṇdarapandyadewa’, (Muhammad Yamin II, 1962: 49)
Pemakaian gelar Sri Suṇdarapandyadewa oleh Raja Jayanagara menurut H.B. Sarkar menandakan bahwa Raja Jayanagara memegang kekuasaan tinggi (suzerainty) atas Raja Pandia di India Selatan yang bernama Suṇdarapandya, (H.B. Sarkar, Journal GIS, Djuli 1935: 132 via Muhammad Yamin II, 1962: 59).
Peta Kerajaan Pandia di India Selatan yang disebut ditundukkan Raja Jayanagara.
Pendapat H.B. Sarkar tersebut, ternyata dibenarkan Prapañca dalam Nāgarakṛtāgama Nāg. 93.1. Kanchi (Kañcipurī) di wilayah Pandya pada tahun 1365 dicatat mengirim pendeta bernama śrī Buddāditya ke Majapahit. Menurut Prapañca pula, selain śrī Buddāditya, India juga mengirim śrī Mutali Sahṛdayāwat ke Majapahit. Mereka yang merupakan bhikṣu atau wipra dicatat menjadi pemimpin duta untuk menyampaikan misinya yaitu dengan mempersembahkan pujian kepada Raja Rājasanagara, Nāg. 83.4.4. Prapañca bahkan juga mencatat utusan Pandya (India) tersebut datang bersama utusan Cina, Nāg. 83.4.2. Negara Cina kala itu masih dikuasai Mongol.
Informasi Odorico Mattiuzzi
Dalam Catatan Odorico Mattiuzzi dicatat sebagai berikut.
“Saya pergi ke sebuah pulau lain bernama Jawa yang memiliki garis keliling pantai sepanjang 3.000 mil dan raja Jawa memiliki tujuh raja lain di bawah kekuasaan utamanya. Pulau ini dianggap sebagai salah satu pulau terbesar di dunia dan sepenuhnya dihuni; berlimpahan cengkih, kemukus dan buah pala serta segala macam rempah lain juga banyak, jenis makanan lain dalam jumlah besar, kecuali anggur. Raja Jawa memiliki sebuah istana besar dan mewah paling menakjubkan yang pernah saya lihat, dengan tangga lebar dan megah ke arah ruangan di bagian atas, semua anak tangga secara bergantian terbuat dari emas dan perak. Seluruh dinding bagian dalam dilapisi oleh lapisan emas dan perak. Seluruh dinding bagian dalam dilapisi oleh lapisan emas tempa, di mana gambar-gambar ksatria diukirkan pada lapisan emas tersebut. Setiap ksatria berhiaskan sebuah mahkota emas kecil yang dihias dengan beragam batu mulia. Atap istana ini terbuat dari emas murni dan seluruh ruangan di bawah dilapisi berselingan oleh lempeng-lempeng berbentuk kotak yang terbuat dari emas dan perak. Khan yang agung, atau Kaisar China, sering mengadakan peperangan dengan Raja Jawa, tetapi serangannya selalu berhasil dipatahkan dan dipukul mundur”.(2)
Informasi tersebut jelas menunjukkan dua hal. Pertama. Majapahit era Raja Jayanagara telah menjadi pusat rempah dunia. Ini hanya bisa didapat dari negara aman dan solid dan tanpa seringnya pemberontakan sebagaimana informasi Nāgarakṛtāgama. Kedua. Informasi: Khan yang agung, atau Kaisar China, sering mengadakan peperangan dengan Raja Jawa, tetapi serangannya selalu berhasil dipatahkan dan dipukul mundur, menunjukkan jika bukan hanya visi penyatuan Nusantara yang dilakukan Raja Jayanagara. Tapi lebih dari itu, yaitu visi penyatuan Dwīpântara. Sebab Dwīpântara menurut Nāgarakṛtāgama mengacu pada wilayah India dan Cina.
4. Visi Penyatuan Nūṣântara Sudah Selesai Era Raja Kṛtarajasa
Menurut Kidung Harṣa-Wijaya, visi penyatuan Nūṣântara dicatat sudah selesai pada era Raja Kṛtarajasa. Raja Kṛtarajasa pada masa pemerintahannya, dicatat telah menguasai Nūṣântara.
Kidung Harṣa-Wijaya (VI. 117 b): Sakweh ing satru wus ĕnti dinon denira śrī bhūpati katĕkêng nūṣântara akweh log lyan tungkul subhaktya karuhun tang Bali Tatar Tumasik Sampi Koci lan Gurun, Wandan Tañjung-Pura tan opĕn tang Ḍompo Palembang Makasar prapta sama mawwat sesi ni pura, (C.C. Berg, 1931: 76).
Terjemahan:
‘Seluruh musuh telah habis sama sekali diserang oleh Sri Raja hingga di Nūṣântara, sangat luas, dan juga takluk, berbakti, terutama Bali, Tatar, Tumasik, Sampi, Koci, dan Gurun, Wandan, Tañjung-Pura apalagi Ḍompo, Palembang, Makasar, datang bersama-sama dengan persembahan segala isi negeri’.
Visi penyatuan Nūṣântara yang dilakukan dengan Raja Kṛtarajasa ternyata selaras dengan informasi Praśāsti Gunung Butak 1294 M (Muhammad Yamin I, 1962: 206), Praśāsti Kṛtarājasa 1305 M (Muhammad Yamin I, 1962: 255), Praśāsti Kṛtarājasa 1350 M (Muhammad Yamin I, 1962: 255-256). Ketiga prasasti tersebut mencatat Raja Kṛtarājasa dimuliakan raja-raja di wilayah Dwīpântara. Dwīpântara menurut Prapañca mengacu pada wilayah India dan Cina, (Irawan Djoko Nugroho, 2010: 118-119). Dengan Raja Kṛtarājasa dimuliakan raja-raja di wilayah Dwīpântara maka wilayah Nūṣântara tentu sudah diselesaikan. Sangat tidak mungkin menyatukan wilayah yang jauh sementara itu wilayah terdekat belum disatukan.
Tidak berlebihan bila Praśāsti Kṛtarājasa 1350 M, kemudian mencatat permaisuri sang raja menjadi pola/model bagi di wilayah-wilayah di Nūṣântara.
‘ … Śrī Kṛtarājasa Jayawarddhana Anāntawikrama Uttungga; yang mempunyai empat permaisuri (catus dewika); yang dengan keempat permaisurinya setara dengan dewa-dewi, yang menjadi prakṛti (pola/model) pulau Bali, Melayu, Madhura dan Tañjungpura; yang kaki-tunjungnya dimuliakan hidung yang bengkak dari paradwīpa-rāja (raja-raja pulau lain); yang menjadi suami putra-putri Śrī Mahārāja Kṛtanagara’ …, (Muhammad Yamin I, 1962: 260).
Visi penyatuan Nūṣântara telah dilakukan dengan Raja Kṛtarājasa juga selaras dengan informasi Kidung Harsa Wijaya. Di mana ekspedisi Pamalayu dikisahkan berhasil dan kemudian memilih mendukung Raja Kṛtarājasa (KH. 3.80a-90b). Keberhasilan ekspedisi Pamalayu ini menunjukkan pada awal pemerintahan Raja Kṛtarājasa, Nūṣântara telah disatukan.
Kesimpulan
Dari hal di atas, maka narasi: “Seandainya Tribhuwana tidak pernah bertahta, dan Jayanagara yang diejek Pararaton dengan Kalagemet terus berkuasa, kecil kemungkinan visi penyatuan Nūṣântara akan terwujud”, merupakan narasi yang tidak benar. Hal ini karena Jayanagara dicatat mampu menganeksasi Pandya dan mampu menjadikan Majapahit menjadi pusat rempah. Selain itu, dengan memiliki visi politik penyatuan Dwīpântara, menunjukkan visi Nūṣântara sesungguhnya telah selesai. Karena tidak mungkin menyatukan Dwīpântara sebelum menyatukan Nūṣântara.
Diharap ke depan narasi-narasi sejarah di Youtobe menggunakan kajian sejarah yang resmi, valid dan kredibel. Semua itu agar informasi sejarah yang dihadirkannya lebih mencerahkan, dan bukan malah menyesatkan.
Catatan:
- Lihat https://kotomono.co/kesaksian-odorico-atas-kejayaan-majapahit/
- https://kotomono.co/kesaksian-odorico-atas-kejayaan-majapahit/. Dalam Ritual Netwoks and Royal Power in Majapahit Java, hlm. 100. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 431. “… Raja (Jawa) memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. (Dan) pulaunya berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada …. Raja pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar, tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya pun bersepuhkan emas. Khan Agung dari China beberapa kali berperang melawan raja ini, tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil mengalahkannya”.
Pustaka:
Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, 2011.
Irawan Djoko Nugroho, Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit, Jakarta, 2022.
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit. Sapta Parwa. Vol. I-III. Jakarta: Yayasan Prapanca, 1962.
R. Pitono Hardjowardo, Serat Pararaton, Jakarta: Bhratara, 1965.
W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta. Komunitas Bambu, 2009.
Zoetmulder P.J., Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983.
Zoetmulder P.J., Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto-Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Website:
https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/26/165346179/raja-raja-kerajaan-majapahit?page=all.
https://www.yaclass.in/p/social-science/class-7/emergence-of-new-kingdoms-in-south-india-later-cholas-and-pandyas-6961/the-later-pandyas-8362/re-93ee6c73-7bcd-4df9-ac79-3b696bedfdc8
Youtobe: