Candi Borobudur adalah salah satu candi Budha terbesar di Indonesia. Candi ini dicatat pada era Majapahit tepatnya pada Nāgarakṛtāgama pupuh 77.3. Dalam Nāgarakṛtāgama, Borobudur disebut dengan Buḍur. Identifikasi Buḍur sebagai Borobudur dicatat dilakukan Pigeaud dalam komentarnya, (Pigeaud IV:236-237).
Menurut Prapañca, Buḍur merupakan 1 dari 51 deśa (wilayah perdikan) yang disebut sebagai kasugatan kabajraḍaran akrāma. Pigeaud mencatat makna dari kasugatan kabajraḍaran akrāma adalah places of thunderbolt bearing Buddhists living married according to custom ‘tempat menyambar petir umat Buddha yang hidup menikah menurut adat?’, (Pigeaud III:89). Sementara itu Robson menterjemahkan kasugatan kabajradaran sebagai the Buddhist Bajradara establishment ‘pendirian Bajradara Buddha’, (Robson,1995:80). Ia juga memberi catatan tentang Kabajradharan yaitu: in contrast to the kawinayan (community living according to monastic rule), the Bajradhara Buddhist followed the Tantric wajrayana and were married. For a definition of the latter term, see Gard 1961:37-8). ‘Berbeda dengan kawinayan (masyarakat yang hidup menurut aturan monastik), Buddhis Bajradhara mengikuti wajrayana Tantra dan menikah. Untuk definisi istilah yang terakhir, lihat Gard 1961:37-8), (Robson,1995:136).
Di tempat lin, H. Kern menterjemahkan kasugatan kabajraḍaran n dengan (gewijde plaatsen) der seculaire Buddhistische ‘(Tempat-tempat suci) dari pendeta Buddhis sekuler’, (Krom, 1919:175). Terkait kabajradaran, H. Kern memberi catatan sebagai berikut. Onder kabajradharan heft men te verstaan de aanhangers van het Tantrische Wajrayāna, gewoonlijk in Nepāl en Tibet wajrācārya’s geheeten. Dezen zijn getrouwd, dus geen monniken, en vormen de klasse van wereldche geestelijken ‘Yang dimaksud dengan kabajraḍaran adalah para penganut Tantra Wajrayāna, yang biasa disebut wajrācāryas di Nepāl dan Tibet. Ini menikah, bukan biarawan, dan membentuk kelas pendeta sekuler’, (Krom, 1919:175).
Kasugatan Kabajraḍaran Akrāma Menurut Arti Etimologisnya
Adanya tiga definisi yang berbeda dari ketiga Filolog Jawa Kuna tersebut tentang makna kasugatan kabajraḍaran, tentu menambah informasi baru mengenai pengertian kasugatan kabajraḍaran tersebut. Lepas dari hal tersebut, menurut arti etimologisnya kata kasugatan kabajraḍaran atau bila menurut Pigeaud disebut sebagai kasugatan kabajraḍaran akrāma tersebut, berasal dari 3 kata. Kasugatan, kabajraḍaran, dan akrāma.
Kasugatan berarti bangunan suci Buddha; juga = kasogatan: biara Buddha (bangunan dll), (Zoetmulder 1995:1134). Kabajradharan berarti biara atau tempat suci sekte Bajradhara, (Zoetmulder 1995:97). Sementara itu akrāma atau akrama berarti dalam urutan yang baik, dalam deretan, diatur dengan cara yang rapi, juga, bersenjata, diperlengkapi?, (Zoetmulder 1995: 514).
Dengan demikian dapat dikatakan bila kalimat: kasugatan kabajraḍaran akrāma menurut pengertian etimologisnya kurang lebih berarti ‘bangunan suci Buddha tempat suci sekte Bajradhara dalam urutan yang baik’.
Kasugatan Kabajradaran Dalam Nāgarakṛtāgama
Secara keseluruhan, kasugatan kabajraḍaran yang dicatat dalam Nāgarakṛtāgama adalah sebagai berikut.
Nāgarakṛtāgama 77.1-3:
1. nāhan muwah kasugatan kabajraḍaran akrameka wuwusěn, Īçākabajra ri Nadī tadā mwan i Mukuh ri Sāmbang i Tajung, lāwan tan Amṛtasabha ri Bangbang irī Boddhimūla Waharu, Tāmpak ḍuri Paruha taṇḍare Kumuda Ratna Nandināgara.
2. len tang Wungañjaya Palaṇḍi Tangkil Asahing Samīcy Apitahěn, Nairañjane Wijayawaktra Magěněng i Poyahan Bala masin, ri krat Lěmah tulis i Ratnapangkaja Panumbangan Kahuripan, mwang Ketakī; Talaga jambale Jungul i Wiṣṇuwāla paměwěh.
3. len teng Buḍur Wwirun i Wungkulur mwan i Mananggung i Watu kura, Bajrasana mwang i Pajambayan ri Samalantěn ing Simapura, Tambak laleyan te Pilanggu Pohaji ri Wangkali mwang i Beru, Lěmbah Dalīnan i Pangadwan ādi nika ring pacarccan apagöh.
Terjemahan:
1. Demikian juga kasugatan kabajraḍaran ‘bangunan suci Buddha tempat suci sekte Bajradhara’dalam urutan yang baik, ini harus disebutkan: Īçākabajra, Nadītadā dan Mukuh, Sāmbang, Tajung, juga Amṛtasabha, Bangbangir, Boddhimūla, Waharu, Tāmpak Ḍuri, Paruha, Taṇḍar, Kumuda-Ratna, Nandi-Nāgara.
2. Di samping itu Wungañjaya, Palaṇḍi (Walanḍit), Tangkil, Asah, Samīci, Apitahěn, Nairañjana, Wijaya-Waktra, Magěněng, Poyahan, Bala-Masin, Krat, Lěmah Tulis, Ratna-Pangkaja, Panumbangan, Kahuripan, dan Ketakī, Talaga-Jambala, Jungul, Wiṣṇuwāla, sebagai tambahan.
3. Di sisi lain Buḍur, Wwirun, Wungkulur, dan Mananggung, Watu Kura, Bajrasana, dan Pajambayan, Samalantěn, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wang Kali, dan Beru, Lěmbah, Dalīnan, Pangadwan adalah yang pertama dalam daftar, tetap.
Terkait informasi bait ketiga, yaitu Buḍur, Wwirun, Wungkulur, Mananggung, Watu Kura, Bajrasana, Pajambayan, Samalantěn, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wang Kali, Beru, Lěmbah, Dalīnan, dan Pangadwan, menurut Kern dan Robson lokasinya terletak di Jawa Tengah. Hanya saja mereka tidak memberi keterangan lebih lanjut akan identifikasi yang dimaksud.
Ciri Sekte Bajradhara Sekte Pendiri Borobudur
Dengan dapat diketahui Buḍur sebagai tempat suci sekte Bajradhara, menjadi pertanyaan kemudian seperti apa sekte Bajradhara itu sesungguhnya. Apakah seperti pengertian para penganut Tantra Wajrayāna, yang biasa disebut wajrācāryas di Nepāl dan Tibet menurut Kern?
Pada dasarnya, saat Prapañca menyejajarkan Buḍur dengan Lěmah Tulis sebagai kasugatan kabajraḍaran, maka pada saat ini kita dapat mengetahui dengan sedikit lebih baik informasi mengenai sekte Bajradhara yang mendirikan Borobudur sebagai tempat suci. Hal ini karena adanya teks Calon Arang sebagai sebuah teks prosa Jawa Kuno yang mencatat kisah aktivitas komunitas Buddha di Lěmah Tulis. Hana ta wuwusira sang mahatuwa, umujarakěn ri katatwanira sira Sri Mpu Baradah, ri sěděngira hana ng sramanira, i ngkana ng Lěmah Tulis, ‘Ada perkataan orang-orang tua yang mengisahkan hakekat Sri Mpu Baradah ketika beliau tinggal di pertapaannya di Lěmah Tulis, (I Made Suastika, 1997:57)
Teks Calon Arang sendiri secara umum memiliki latar kisah Mpu Baradah dari Lěmah Tulis membantu Raja Kahuripan Airlangga untuk menyingkirkan serangan teluh Rangda dari Girah dan membantu Raja Airlangga mendamaikan Raja Kadiri dan Raja Janggala dua raja anak Raja Airlangga yang saling berperang. Teks Calon Arang menurut I Made Suastika terdiri dari 2 jenis, yaitu prosa dan geguritan. Adapun teks prosa tersebut adalah Calon Arang LOr5387/5279, dan teks geguritan adalah teks geguritan Calon Arang Kirtya 1047.
Menurut teks Calon Arang tersebut, Mpu Baradah sebagai salah satu penganut sekte Bajradhara yang bertempat di Lěmah Tulis dikisahkan memiliki ciri umum sebagai berikut.
Pertama. Mpu Baradah adalah pendeta yang mengajar dan memiliki banyak murid di Lěmah Tulis. Wěkasan datang pwa Sang Mārěsi muwah mayajña byasa marêng Wisyamuka. Irika ta Sang Munȋndra ingayap de sisya kabeh, ingatur-aturan pwa sira mangkana, ‘Setelah demikian, Sang Pendeta pergi melakukan persembahan rutin bersama di Wisyamuka. Di sana Sang Pendeta dihadap oleh muridnya semua, diberi persembahanlah beliau di sana’, (I Made Suastika, 1997:58). Umwajar pwa Sri Baradah, eng wěka sisya. Tan dwa makon umusungêng patanya wesma, ‘Mpu Baradah memerintahkan kepada murid-muridnya. Segera menyuruh mengusung balai dan rumah (untuk tempat peristirahatannya di kuburan itu)’, (I Made Suastika, 1997:59).
Kedua. Mpu Baradah bukan seorang biarawan namun sebagai seorang pendeta yang menikah. Informasi ini memiliki kesamaan dengan informasi H. Kern juga Pigeaud dan Robson. Ya ta maputri pwa sira sasiki, mangaran Sang Wedawati, kanya sěděng papangkas, antyanta ri hayunira, lwir tâpsary angindarat. Ry uwus mahangkanâgěring pwa sira, swaminira Sri Mpu Baradah, renanira Sang Wedawatȋka. Ya ta paratra pwa sira. ‘Beliau mempunyai seorang putri, bernama Sang Wedawati, gadis belum bersanggul, sangat cantiknya bagaikan bidadari turun ke bumi. Setelah itu sakitlah istri Sri Mpu Baradah, ibu sang Wedawati itu. Akhirnya beliau meninggal’, (I Made Suastika, 1997:57). Ya ta Sang Mpu Baradah mamet swami muwah. Ya tika manak sira sasiki laki-laki. ‘Lalu Mpu Baradah mencari istri lagi. Kemudian beliau berputra seorang laki-laki, (I Made Suastika, 1997:57).
Ketiga. Dalam keseharian, Mpu Baradah sebagai seorang pendeta Buddha dikisahkan memiliki rambut yang lebat dan kumis serta janggut. Kahadang Sang Dwija/ uwusira umuja/ suteja agunga alengis/ aguguntingan/ sipat akung alilit// Acreng asekar kinalpika sapasang/ ateb ikang rarawis/ ahireng angimbal/ janggut inganing dana/. ‘Ketika itu Sang Pendeta selesai memuja, bersinar indah agung halus, bercukur, sifat laki-laki menarik hati. Gagah memakai sepasang kalung bunga, kumisnya lebat, rambutnya hitam, janggut sampai ke dada’, (I Made Suastika, 1997:225). Istilah aguguntingan ‘bercukur’ sesungguhnya untuk menunjukkan jika sekalipun Sang Pendeta berkumis, memiliki rambut, dan janggut namun tetap terawatt dengan rapi.
Pengelolaan Borobudur
Menurut Prapañca, kasugatan kabajradaran dalam tata kelola yayasan yang berhubungan dengan agama di Majapahit tidak masuk dalam dharma haji ‘yayasan agama kerajaan’ namun masuk dalam dharma lěpas ‘yayasan agama umum’. Hingga tahun 1365, Prapañca mencatat jumlah dharma haji dicatat sebanyak 27 buah, (Nāg.73.3-74.1).
Jika dharma haji dikelola oleh amātya, sthapaka, dan wiku rajya: kapwāmātya nipuṇa tang wineh matunggwa, lāwan sthāpaka wiku rājya çāstrawijña. ‘Amātya berpengalaman yang diizinkan untuk mengawasi mereka, dengan sthāpaka (kepala biara) dan wiku rājya (pendeta kerajaan) yang terpelajar dalam tulisan suci (Nāg.74.2), maka kemungkinan besar dharma lěpas juga sama. Hanya saja antara dharma haji dan dharma lěpas terdapat perbedaan pengelolaan di top strukturnya.
Dharma haji dikelola mantrī Wiradhikara seorang dharmadhyaksa dan dharma lěpas dicatat dikelola 3 pejabat kerajaan berdasar agama yang ada. Çaiwaḍyakṣa, bodḍāḍyakṣa dan mantrī her haji. Kasugatan kabajraḍaran sendiri sebagai bagian dari dharma lěpas tentudikelola oleh bodḍāḍyakṣa. Termasuk tentu saja Borobudur yang merupakan bagian dari kelompok kasugatan kabajraḍaran.
Karena itu dapat dikatakan jika Borobudur pada era Majapahit yang masuk dalam kelompok kasugatan kabajraḍaran dikelola oleh amātya, sthapaka, dan wiku. Namun yang dimaksud amātya di sini kemungkinan besar bukan pejabat mantri kerajaan sebagaimana dharma haji, akan tetapi mereka yang ahli mengelola sisi ekonomi sebuah dharma dalam hal ini Borobudur. Sthapaka di sini adalahkepala biara. Sementara itu wiku yang dimaksud bukan wiku rājya namun wiku sebagai pendeta yang ahli dalam tradisi dan kisah Buddha. Mereka bertanggung jawab kepada bodḍāḍyakṣa.*
Pustaka
Kern, H “De Nagarakrtagama. Oudjavaansche Lofdicht op Koning Hayam Wuruk van Majapahit”. VG VII: 249-320; VG VIII: 1-132, 1917.
______________ Verspreide Geschriften. ‘s-Gravenhage, 1917-1922.
Krom, N.J. Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D). Meet Aantekeningen van N.J. Krom. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1919.
Made Suastika, I Calon Arang dalam Tradisi Bali, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1997.
Pigeaud, Th.G.Th Java in the 14th Century, A Study in Cultural History I-III. The Hague, 1960.
_______________ Java in the 14th Century, A Study in Cultural History IV. The Hague, 1962.
_______________ Java in the 14th Century, A Study in Cultural History V. The Hague, 1963.
Robson, S.O Desawarnana (Nāgarakŗtāgama), KITLV, Leiden, 1995.
Teeuw, A & S.O Robson Kunjarakarna Dharmakathana: Liberation Throught the Law of the Buddha. An Old Javanese Poem by Mpu Dusun. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A & E.M Uhlenbeck “Over de Interpretatie van de Nagarakrtagama”. BKI 114: 210-234, 1958.
Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985.
_______________ Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto – Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Sumber Gambar Foto