Bangunan bertingkat tampak dalam
Relief Borobudur Gandavyuha

Nāgarakṛtāgama secara eksplisit mencatat adanya bangunan bertingkat. Bangunan itu disebut dengan istilah susun ‘bertingkat’ dan dicatat dalam Nāg. 8.4.2-3. Bangunan tersebut digambarkan sebagai berikut.

Nāg. 8.4.2-3:

nggwan sang wipra kidul padhottama susun barat i natar ikā batur patawuran,
nggwan sang Sogata lor susun tiga tikang wangunan i pucak ār[j]a mokir-ukiran,

‘Tempat sang wipra adalah Selatan. Semuanya sangat istimewa, susun (bertingkat), bagian barat halaman itu berbatur (berpondamen) tempat tawur (korban persembahan)
Tempat sang Sogata adalah utara, susun tiga (tingkat tiga), bangunan itu bagian puncaknya indah berukir-ukiran,’

Dalam Nāgarakṛtāgama tersebut dengan jelas menyebut ‘Tempat sang wipra yang ada di selatan’ merupakan bangunan bertingkat. Karena tidak ada keterangan jumlah tingkatnya, dimungkinkan bangunan tersebut bertingkat dua. Sementara itu ‘Tempat sang Sogata yang ada di utara’ karena disebut tingkatnya, maka bangunan tersebut bertingkat tiga. Dengan demikian, di Majapahit ada bangunan tingkat 2 dan tingkat 3.

Namun karena Nāgarakṛtāgama adalah sebuah kakawin, yaitu puisi Jawa Kuna maka penggambaran bangunan yang disebut susun tersebut menjadi tidak terdiskripsikan. Terlebih pelukisan gambaran bangunan bertingkat 2 dan 3 tidak terdapat dalam relief-relief candi peninggalan Majapahit. Relief candi peninggalan Majapahit yang ditemukan, juga telah memiliki gaya pelukisan yang tidak lagi bersifat realis.

Bangunan bertingkat 2 dan 3 yang disebut dalam Nāgarakṛtāgama tersebut, uniknya juga tidak ditemukan di Bali dan Jawa Baru. Ada kesan peninggalan budaya Majapahit memang bukan diteruskan Bali atau Jawa Baru yang lebih menggunakan bahan kayu.

Bangunan Jawa Baru (Mataraman)

Dalam tradisi Jawa, saat ini dikenal adanya beberapa jenis bangunan tradisional.  Seperti diantaranya: rumah panggangpe, rumah kampung, omah limasan, omah joglo, serta bentukan atap untuk tempat beribadah yang berbentuk tajug (Budiharjo, 1997), lihat Theodorus A.B.N.S. Kusuma dan Andry Hikari Damai, 2020:45-46.

Uniknya joglo ternyata merupakan kata dari bahasa Jawa baru dan bukan Jawa Kuna. Dalam Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa), joglo merupakan bahasa Krama Ngoko yang berarti aran wanguné omah (mawa saka guru umumé papat, brunjung lan tumpang), bangunan cakrik, Jawa asli, (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2009: 304).

Demikian pula limasan, panggangpe, dan tajug. Dalam Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa), limasan berasal dari kata limas merupakan bahasa Krama Ngoko yang berarti wangun kaya déné piramid (mrunjung mandhuwur). Limasan berarti wangun kaya déné limas (tumrap payon), (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2009: 437).

Sementara itu panggangpé merupakan bahasa Krama Ngoko atau dhialèk yang berarti émpèr (tambahan), omah cilik, (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2009: 437). Tajug merupakan bahasa Krama Ngoko yang berarti omah-omah, cungkup lsp payoné awangun ompak; awangun kaya ompak tumrap mata inten ing ali-ali, (Tim Balai Bahasa Yogyakarta, 2009: 695).

Sementara itu khusus untuk tajug, kata ini juga tidak ditemukan dalam bahasa Jawa Kuna. Dalam Jawa Kuna, kata yang mendekati tajug adalah tajuk. Namun demikian kata ini bukan kata tunggal. Kata ini diawali dengan kata bale sehingga menjadi bale tajuk. Ia berarti dengan lantai yang terbuat dari tanah? (Zoetmulder, 1995:1181). Istilah Jawa Kuna ini, ternyata sama sekali tidak memiliki kaitan dengan bentuk atap rumah seperti dalam Bahasa Jawa Baru.

Kata Jawa Kuna yang memiliki makna atap berbentuk piramid adalah tajur. Tajur berarti atap yang berbentuk pyramid? (Zoetmulder, 1995:1181).

Penggambaran Bangunan Bertingkat Dalam Relief Candi Borobudur

Karena tidak ada referensi dari informasi Jawa Baru mengenai bangunan tingkat 2 atau tingkat 3, maka informasi bangunan bertingkat akan dicarikan referensi yang lebih tua. Berkaca pada Kalangwan karya Zoetmulder, di mana beberapa informasi visual direferensikan dengan informasi relief Borobudur, maka metode tersebut juga akan digunakan.

Bila melihat rangkaian relief Candi Borobudur, ada dua bentuk penggambaran bangunan bertingkat yang digambarkan oleh perelief kala itu. Struktur bangunan tampak luar dan struktur bangunan tampak dalam. Struktur bangunan bertingkat tampak luar adalah sebagai berikut.

Sumber gambar: Relief Borobudur
https://www.photodharma.net/Indonesia/05-Lalitavistara/index.htm
Identifikasi: The Statues worship Siddhartha

Bangunan yang digambarkan dalam relief Borobudur tersebut, tampak sebagai bangunan bertingkat. Hal ini ditandai dengan adanya balkon di lantai kedua dan struktur bangunan yang memiliki bidang yang sama antara bidang bangunan ditingkat pertama dan kedua.

Sementara itu, penggambaran bangunan bertingkat tampak dalam, misalnya adalah sebagai berikut.

Pertama, Relief Borobudur dengan identifikasi: The Bodhisattva of the South ‘Bodhisattva dari Selatan’.

Sumber gambar: Relief Borobudur
https://www.photodharma.net/Indonesia/08-Gandavyuha-Level-2/index.htm
Identifikasi: The Bodhisattva of the South

Kedua, Relief Borobudur dengan identifikasi: Samantabhadra explains the Buddha’s Samādhi ‘Samantabhadra menjelaskan Samadhi Sang Buddha’.

Sumber gambar: Relief Borobudur
https://www.photodharma.net/Indonesia/08-Gandavyuha-Level-2/index.htm
Identifikasi: Samantabhadra explains the Buddha’s Samādhi

Penggambaran bangunan bertingkat tampak pada lantai para ‘jamaah’ yang digambarkan sebagai sebuah lantai yang rata, lurus dan seragam. Baik itu lantai dua pada Relief Borobudur yang diidentifikasi sebagai The Bodhisattva of the South maupun lantai dua dan tiga pada Relief Borobudur yang diidentifikasi sebagai Samantabhadra explains the Buddha’s Samādhi.

Melihat Kembali Penggambaran Bangunan Bertingkat Tampak Dalam

Bila melihat gambar relief yang diidentifikasi sebagai The Bodhisattva of the South, perelief sepertinya tidak menggambarkan sebuah lukisan Buddha di sebuah tebing. Hal ini diperkuat dengan melihat lukisan lampion dan hiasan di atas Buddha dan mereka yang hadir untuk menghormati Buddha. Lukisan lampion dan hiasan di atas Buddha dan mereka yang hadir untuk menghormati Buddha, tidak akan memiliki makna bila merupakan penggambaran Buddha yang dihadap ‘jamaahnya’. Perelief tampak seperti tengah menggambarkan sebuah bangunan, namun dengan cara dilukiskan secara mendatar.

Penggambaran sebuah bangunan namun dengan cara dilukis secara mendatar tersebut, tampak sebagai berikut.

Diagram Penggambaran Relief Borobudur Dengan Cara Mendatar

Dari penggambaran tersebut, dapat dikatakan jika pelukisan relief dengan cara mendatar pada gambar relief yang diidentifikasi sebagai The Bodhisattva of the South, dapat dikatakan sesungguhnya merupakan penggambaran sebuah ruangan yang terdiri dari 2 lantai. Bodhisattva dilukiskan seperti berada dalam mihrab. Menurut KBBI, mihrab adalah kata benda yang berarti ruang kecil di langgar atau di masjid, tempat imam berdiri waktu salat berjamaah. Di sini Bodhisattva dilukiskan berada dalam ruang kecil yang terletak di tengah di mana Bodhisattva sebagai ‘pendeta’ melakukan kegiatan peribadatannya.

Berbeda dengan mihrab masjid yang rata dengan lantai pertama para jamaah, ‘mihrab’ yang dilukiskan pada relief Borobudur dibuat jauh lebih tinggi. Tingginya mihrab bahkan membuat pendeta atau ‘imam’ dilukiskan terlihat dari lantai 2. Pada pelukisan relief Borobudur yang diidentifikasi dengan Samantabhadra explains the Buddha’s Samādhi, pendeta atau ‘imam’ tampak terlihat pada lantai 3, dari tingginya lantai mihrab yang ada.

Sekalipun relief yang diidentifikasi sebagai 014-Samantabhadra-explains-the-Buddhas-Samadhi-Thumb hanya dalam satu sisi semata, namun dengan adanya pelukisan lantai tempat mereka yang memberi hormat kepada Buddha yang duduk dalam kursinya, tampak lantai memiliki kesamaan dengan 05 The Bodhisattva of the South. Karena itu dapat dikatakan penggambaran 014-Samantabhadra-explains-the-Buddhas-Samadhi-Thumb sesungguhnya sama dengan penggambaran 05 The Bodhisattva of the South. Dengan kata lain sesungguhnya melukiskan sebuah bangunan yang dilukiskan secara mendatar.

Bila melihat kembali lantai bangunan yang dilukiskan mendatar tersebut, dapat dikatakan jika bangunan tersebut memiliki lantai dua untuk relief yang diidentifikasi dengan 05 The Bodhisattva of the South. Sementara itu bangunan yang diidentifikasi dengan 014-Samantabhadra-explains-the-Buddhas-Samadhi-Thumb merupakan penggambaran bangunan yang memiliki lantai 3.

Struktur Bangunan Bertingkat 2 di Relief Borobudur

Jika melihat gambaran relief Borobudur Gandavyuha-Level-2, yang diidentifikasi sebagai The Bodhisattva of the South, tampak bangunan tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama. Terdapat sebuah ‘mihrab’ tempat pendeta duduk memberi pengajaran di tengah di ujung bangunan. ‘Mihrab’ ini terletak agak tinggi dari lantai sehingga ‘pendeta’ yang memberi pengajaran dapat dilihat dari lantai 1 dan 2.

Kedua. Bangunan lantai 1 dan 2 sepenuhnya menghadap ‘mihrab’ tempat tempat pendeta duduk memberi pengajaran di tengah, di ujung bangunan.

Ketiga. Bila dilihat dari lukisan relief yang ada, tampak ‘jamaah’ lantai 1 dan 2 dilukiskan berbeda. Lantai 1 para ‘jamaah’ dilukiskan memiliki hiasan rambut yang tidak tinggi. Dimungkinkan ia merupakan golongan rakyat biasa atau mungkin golongan pendeta. Sementara itu lantai 2 para ‘jamaah’ dilukiskan memiliki hiasan rambut yang tinggi, sehingga dimungkinkan ia merupakan golongan bangsawan.

Sementara itu gambaran relief Borobudur yang diidentifikasi sebagai Samantabhadra explains the Buddha’s Samādhi, sekalipun digambar hanya dalam satu sisi semata, sesungguhnya juga menunjukkan hal sama dengan gambaran relief Borobudur Gandavyuha-Level-2, yang diidentifikasi sebagai The Bodhisattva of the South. Sama-sama terdapat gambaran ‘mihrab’ serta memiliki ‘mihrab’ di tengah di ujung bangunan. Berbeda dengan gambaran relief Borobudur Gandavyuha-Level-2, yang diidentifikasi sebagai The Bodhisattva of the South, pada gambaran relief Borobudur yang diidentifikasi sebagai Samantabhadra explains the Buddha’s Samādhi, pada lantai 1 dilukiskan terdiri dari para ‘jamaah’ yang memiliki hiasan rambut tinggi. Sementara itu lantai untuk lantai 2 dan 3 dilukiskan terdiri dari para ‘jamaah’ yang memiliki hiasan rambut yang kurang tinggi dibandingkan lantai pertama. Ini seperti menunjukkan lantai pertama menjadi tempat golongan bangsawan.

Bila dibandingkan dengan gambaran ‘masjid’ pada saat ini, gambaran relief Borobudur yang diidentifikasi sebagai The Bodhisattva of the South maupun yang diidentifikasi sebagai Samantabhadra explains the Buddha’s Samādhi, tampaknya semua lantai sepertinya menghadap ‘sang pendeta’. Penggambaran ini berbeda dengan penggambaran masjid di Indonesia saat ini yang memiliki lantai 2 dan 3.

Pada lantai 2 dan 3 masjid, terdapat bangunan tambahan bagi para ‘jamaah’ yang langsung terhubung dengan dinding yang sejajar dengan ‘mihrab’ di ujung bangunan. Berikut salah satu contoh gambar salah satu masjid, dengan lantai 2 yang terdapat bangunan tambahan bagi para ‘jamaah’ yang langsung terhubung dengan dinding yang sejajar dengan ‘mihrab’ di ujung bangunan.

Gambar masjid:
Tampak masjid dengan lantai 2 yang memiliki bangunan tambahan bagi para ‘jamaah’ yang langsung terhubung dengan dinding yang sejajar dengan ‘mihrab’ di ujung bangunan.

Kesamaan Dengan Informasi Nāgarakṛtāgama

Bila melihat kembali penggambaran bangunan memiliki lantai 2 dan 3 dalam relief Borobudur yang diidentifikasi sebagai The Bodhisattva of the South dan Samantabhadra explains the Buddha’s Samādhi, maka tampak gambar relief tersebut seperti memperkuat informasi Nāgarakṛtāgama. Di mana dalam Nāg. 8.4.2-3, disebutkan adanya bangunan bertingkat 2 dan 3. Bangunan bertingkat 2 merupakan bangunan nggwan sang wipra ‘tempat sang brahmana (penganut agama Śiwa)’ dan bangunan bertingkat 3 merupakan bangunan nggwan sang Sogata ‘tempat sang penganut agama Buddha’.

Kala melihat kembali relief Borobudur yang diidentifikasi sebagai The Bodhisattva of the South dan Samantabhadra explains the Buddha’s Samādhi, mungkinkah nggwan sang wipra dan nggwan sang Sogata, sesungguhnya juga bukan merupakan rumah pribadi namun sebuah tempat ibadah? Hal ini karena penggambarannya dalam relief Borobudur merupakan ‘semacam’ tempat ibadah, di mana ada ruang ‘pendeta’ dan ruang ‘jamaah’ di dalamnya?

Mengingat istilah yang digunakan Prapañca adalah nggwan sang wipra dan nggwan sang Sogata, yaitu sebagai tempat sang brahmana ‘penganut agama Śiwa’ dan tempat sang penganut agama Buddha, maka dapat dikatakan jika mereka memang merupakan sebuah tempat ibadah. Menariknya, tempat ibadah tersebut secara umum seperti bentuk yang kini dikenal dengan masjid yang bertingkat, namun dengan detail yang berbeda.*

Beberapa Pustaka

Irawan Djoko Nugroho           Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.

______________                    Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Perdagangan Dunia. Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta, 2011.

______________                    Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit, Jakarta: 2022.

Kern, H                                   “De Nagarakrtagama. Oudjavaansche Lofdicht op Koning Hayam Wuruk van Majapahit”. VG VII: 249-320; VG VIII: 1-132, 1917.

______________                    Verspreide Geschriften. ‘s-Gravenhage, 1917-1922.

Krom, N.J.                              Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D). Meet Aantekeningen van N.J. Krom. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1919.

Kuntara Wiryamartono, I        Arjunawiwaha Transformasi Teks Jawa Kuno Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990.

Made Suastika, I                     Calon Arang dalam Tradisi Bali, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1997.

Muhammad Yamin                 Tatanegara Majapahit. Sapta Parwa. Vol. I-III. Jakarta: Yayasan Prapanca, 1962.

Pigeaud, Th.G.Th                   Java in the 14th Century, A Study in Cultural History I-III. The Hague, 1960.

_______________                  Java in the 14th Century, A Study in Cultural History IV. The Hague, 1962.

_______________                  Java in the 14th Century, A Study in Cultural History V. The Hague, 1963.

Robson, S.O                            Desawarnana (Nāgarakŗtāgama), KITLV, Leiden, 1995.

S. Supomo                               Arjunawijaya a kakawin of mpu Tantular, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University, Canberra 1971.

Soewito Santoso                     Boddhakawya – Sutasoma a Study in Javanese Wajrayana Text – Translation – Commentary, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University, 1968.

_______________                  Indonesian Rāmāyaṇa (Ramayana Kakawin), New Delhi: Mrs. Sharada Rani, Hauzkhas Enclave, 1980.

Sri Mulyaningsih                    Kristalografi & Mineralogi Edisi 1, Yogyakarta: Akprind Press, 2018.

Teeuw, A & S.O Robson        Kunjarakarna Dharmakathana: Liberation Throught the Law of the Buddha. An Old Javanese Poem by Mpu Dusun. The Hague: Martinus Nijhoff.

Teeuw, A & E.M Uhlenbeck  “Over de Interpretatie van de Nagarakrtagama”. BKI 114: 210-234, 1958.

Zoetmulder, P.J.                      Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985.

_______________                  Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto – Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.

 
Sumber website
 
https://kbbi.kemdikbud.go.id/
https://www.photodharma.net/Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*