Semua bertepi. Semua berakhir. Semua berujung. Kecuali di novel Bumi Tak Bertepi. Novel kritik yang sangat menggugah. Diketik dengan semangat perubahan dan pencerahan.

Ada banyak tesis menarik dan salah satunya saat penulis bicara kemiskinan mutakhir. “Kemiskinan adalah waktu ibadat kita. Janganlah kita terluka karenanya. Kekurangan, kesempitan, kesulitan dan ketidakadaan hanyalah tempat-tempat ibadat agar kita khusuk dalam berdoa. Tidak ada yang terengut darinya karena ia hanya lebih memberi ruang kepada kita untuk melompat lebih jauh dari semula”, (h. 29).

Dalam novel ini, hipotesa keren itu dibacakan kepada tokoh Agung Tirta. Sangat menarik, sekalipun dibacakan oleh Hariyadi namun disampaikan oleh Andi Runtu yang berada dalam kondisi antara hidup mati di lautan. Begitu kerennya novel ini, kami di Nusantara Centre mendialogkan isinya. Tentu dalam sebuah kajian ilmiah agar makin berwarna.

Novel ini secara subtantif masuk kategori sastra perlawanan atas sastra perlawanan. Tentu ini merupakan genre sastra baru, yang menentang hegemoni Sastra Perlawanan yang diusung seluruh sastrawan Indonesia dari era Balai Pustaka hingga era Milenial saat ini.

Sastra Perlawanan merupakan genre sastra yang melawan nilai keindonesiaan dan nilai kebangsaan yang seharusnya dijunjung tinggi semua anak bangsa. Dan, genre ini telah melahirkan banyak maestro sastra terbaik Indonesia. Terbaik dalam melahirkan mental inlander bangsa Indonesia. Mental yang dengan jelas dicatat Mochtar Lubis sebagai mental munafik, segan dan enggan bertanggung jawab, bersikap feodal, percaya takhayul, artistik dan lemah wataknya.

Tidak berlebihan jika dalam dunia nyata, kemudian berkembang mental gagal tapi tetap minta dianggap sebagai pemenang. Novel ini memang yang pertama mengisi khasanah sastra perlawanan atas Sastra Perlawanan. Sekalipun pertama: ia adalah satu langkah kecil bagi anak bangsa, namun sebuah lompatan besar untuk Indonesia Raya.

Dus, novel ini jadi salah satu novel fiktif-futuristik di Indonesia yang berbeda dengan novel-novel lainnya. Sebab, novel ini menceritakan Indonesia tidak lagi menjadi objek namun menjadi subyek. Indonesia dikisahkan mampu menyatukan seluruh dunia selepas terjadinya perang dunia yang diawali oleh tindakan Sekutu menyerang Indonesia.

Selepas perang yang dimenangkan Indonesia, dunia menemukan kedamaiannya, karena sistem ekonomi kapitalis, liberalis dan komunisme dihapus, diganti sistem ekonomi Pancasila yang menerapkan sistem ekonomi kekeluargaan penuh atau ekonomi tanpa sistem nilai.

Keren dan imajinatif, bukan? Ya karena berisi kritik sastra baru dan perlawanan dalam tradisi postkolonial maka kita bisa menyebut novel ini meretas tradisi sastra perlawanan atas sastra perlawanan yang ada hingga saat ini yang belum ada sebelumnya.

Unik, khusus dan khas itu misalnya soal kutukan Soekarno pada Soeharto. Saat untuk terakhir kali Soekarno bertemu Soeharto, Soekarno tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Ia mengutuk Soeharto bahwa dia tidak akan lebih baik darinya. Dan itu terbukti benar.

Soeharto tidak hanya menjadi pembuka lahirnya political decay, state capture dan economy control kepada pihak asing, namun juga telah berhianat kepada bangsa ini.

Kutukan ini tentu saja sangat tragis, karena akhir Soeharto juga tragis, setragis jatuhnya Soekarno. Ini pragraf khusus yang tak ada di buku dan novel manapun.

Dengan kekhususan tersebut, novel ini menjadi unik dan wajib digelorakan. Terlebih, novel ini juga membahas peristiwa ekonomi terbaru di dunia, sehingga perspektifnya menjadi lebih hidup. Inilah novel berjudul “Bumi Tak Bertepi” karya Irawan Djoko Nugroho yang super keren. Dicetak oleh penerbit PT. Merdeka Karya Bersama, setebal 478 halaman dan seberat 500 gram.

Sayang covernya kurang menarik walau ide dan gagasan novel ini bersumber dari kisah Ramayana yang tak jemu-jemu merealisasikan kebenaran, kapanpun dan di manapun.(*)

Penulis Resensi: Dr. M. Yudhie Haryono

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*