Judul Novel     :  Bumi Tak Bertepi
Pengarang       :  Irawan Djoko Nugroho
Ukuran          :  130mm x 205mm
Jumlah          :  478 halaman
Tahun terbit    :  2018

Penerbit        :
PT Merdeka Karya Bersama
STC Senayan Lt. 4 No. 31-34. Jl. Asia Afrika Pintu IX,
Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat. 10270
Telepon (021) 579 31 879
HP/WhatsApp: 0813 8814 5819
E-mail: irawandjk@gmail.com

Daftar Isi :

  1. BAB Pertama. Penjara Alor Bai
  2. BAB Kedua. Proposal
  3. BAB Ketiga. Pelarian
  4. BAB Keempat. Terdampar
  5. BAB Kelima. Diam
  6. BAB Keenam. Mendengar
  7. BAB Ketujuh. Pasir Berbisik
  8. BAB Kedelapan. Mimpi

PENGANTAR

Novel Bumi Tak Bertepi karya Irawan Djoko Nugroho adalah salah satu novel fiktif-futuristik di Indonesia. Namun berbeda dengan novel-novel lainnya, novel ini menceritakan Indonesia tidak lagi menjadi objek namun menjadi subyek. Indonesia dikisahkan mampu menyatukan seluruh dunia selepas terjadinya perang dunia yang diawali oleh tindakan Sekutu menyerang Indonesia. Selepas perang yang dimenangkan Indonesia, dunia menemukan kedamaiannya, karena sistem ekonomi kapitalis, liberalis, dan komunisme dihapus, diganti sistem ekonomi Pancasila yang menerapkan sistem ekonomi kekeluargaan penuh atau ekonomi tanpa sistem nilai.

SINOPSIS

Dimulai dari kisah Hariyadi Suryadi Mantan Pengusaha sekaligus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Indonesia, yang berada di penjara Alor Bai. Penjara khusus tahanan politik yang terletak di pulau Pagai Selatan. Penjara yang diilhami hukuman sosial kepada Pangeran Jayaraga selepas gagal merebut tahta kakaknya Panembahan Seda Krapyak. Penjara itu, kini di tempati Hariyadi bersama seluruh jajaran pemerintah dan anggota dewan pada eranya. Pemenjaraan itu dilakukan sebagai balasan atas  pemenjaraan lawan politik sebelumnya, yang berhasil mengambil alih kekuasaan dengan kudeta.

Penjara yang kini disebut dengan istilah Gedung Putih ini, menjadi tempat para pemikir dan simpatisan Liberalisme dan Kapitalisme serta para pemikir dan simpatisan Komunisme. Dua pemikiran yang merupakan kaki-kaki kekuasaan era Sukarno. Kedua kaki tersebut, telah diamputasi oleh pemerintah baru yang berkuasa, karena dinilai tidak memiliki jiwa nasionalisme dan dianggap sebagai candu bagi masyarakat.

Di penjara tersebut, Hariyadi membentuk kelompok Rajawali Emas. Kelompok yang diorganisir untuk dapat melarikan diri dari penjara. Agar pelarian tersebut tidak sia-sia, mereka kemudian membuat proposal pemikiran tentang apa yang harus dilaksanakan jika mereka berhasil berkuasa lagi. Proposal itu oleh kecerdikan Adhinoto Nagoro Mantan Presiden Republik Indonesia Kabinet Indonesia Bersama, dibuat menjadi resume pemikiran seluruh narapidana yang ada di dalam penjara, melalui tantangannya, apa yang akan dilaksanakan mereka jika diberi kesempatan kedua seperti Napoleon Bonaparte ataupun Mahatir Mohamad.

Tantangan itu dijawab dengan antusias seluruh narapidana. Lahirlah kemudian Proposal Indonesia Ke Depan. Berbekal proposal tersebut Hariyadi bersama kelompoknya kemudian menyiapkan rencana pelarian. Setelah hari H yang ditunggu, Hariyadi dengan para pelarian lain segera melarikan diri. Penjara yang memang seperti tidak bisa menghalangi kemauan kuat orang yang ingin lepas darinya, dengan mudah dapat dilalui.

Namun rintangan alam berupa laut, tidak mudah ditaklukkan. Harapan pertolongan para nelayan, tidak terjadi. Di saat kritis tersebut, Hariyadi dan kelompoknya ditolong oleh malaikat penolong, seorang bocah berusia 7 tahun dengan peralatan yang sangat modern.

Hariyadi menyangka jika ia tidak lagi di dunia ini, karena teknologi yang dimiliki anak tersebut, yang mengaku dirinya bernama Aditya Baru. Saat Aditya menjelaskan dirinya berada di Indonesia dan Indonesia telah menyatukan dunia dalam satu kendali, Hariyadi dan pelarian lain tertawa terpingkal mentertawakan kisah tidak masuk akal tersebut. Karena itu untuk menunjukkan kebenaran ceritanya, Aditya Baru kemudian mengajak mereka semua pergi ke Jepang, Amerika Serikat, Yala, dan Gana, sebagai daerah-daerah yang telah disatukan Indonesia. Hariyadi dan para pelarian lain semakin terkejut saat kepergian mereka adalah gratis. Hal itu terjadi karena pemerintah baru telah memberlakukan sistem kekeluargaan,  sebagai perwujudan sistem ekonomi Pancasila yang baru. Sistem ekonomi yang diadopsi oleh pemerintah baru tersebut, merupakan sistem ekonomi tanpa sistem nilai, seperti sistem keluarga kita. Sistem ekonomi yang melaksanakan asas kekeluargaan secara nyata.

TOKOH-TOKOH

Tokoh-tokoh cerita adalah Hariyadi Suryadi, Adhinoto Nagoro, Sanyoto Pranowo, Bungaran Tarigan, Andi Runtu dan Aditya Baru. Kelima tokoh pertama adalah para mantan  pejabat Republik Indonesia. Sementara itu Aditya Baru adalah tokoh yang menyelamatkan mereka di laut lepas, dan memperkenalkan mereka dengan Indonesia yang baru.

KEKURANGAN DAN KELEBIHAN

Sangat menarik, penulis mampu membuat jalinan cerita yang ada tidak lurus, tapi penuh suspend. Membuat  pembaca akan terkesima dari jalinan cerita yang dibuat. Jujur saja perpindahan jalinan cerita satu dengan jalinan cerita lainnya sangat ‘mengagetkan’. Sehingga kadang seperti cerita di atas cerita.

Untuk menguraikan kisah perang dunia, dari sebab disatukannya dunia oleh Indonesia, penulis melalui tokoh cerita dengan gaya novelisnya mampu membingkainya dalam dua buah puisi. Australia Akan Tenggelam (hal: 213-214) dan Peluruku (hal: 214-215). Dua puisi ini mampu merangkum dahsyat perang yang terjadi, dengan sebuah adonan pas.

Untuk memperhalus kutukan dan  emosi yang tercipta dari puisi itu, penulis membuat kisah pembacaan puisi itu dengan nada santai, seperti seorang anak membacakan sebuah hafalan di depan kelas untuk dinilai gurunya, dengan takut-takut salah pada bacaannya (hal: 214). Sangat menarik.

Puisi Australia Akan Tenggelam sendiri sebagiannya berbunyi sebagai berikut.

Australia akan tenggelam.

Langit di atas Canberra,

Perth, Darwin, Brisbane,

Sydney, Melbourne,

Welington, Port Moresby, dan Dilli,

Akan kembali berwarna Nusantara

Tak akan ada lagi kebencian, permusuhan, dan keangkuhan

Berjalan di bumi damai

Di bagian akhir, penulis membuat kisah menjadi lurus dan cenderung datar. Ini dimaklumi karena penulis sedang menjabarkan kisah berat, sistem ekonomi baru yang berbeda dengan sistem ekonomi saat ini. Penulis memposisikan diri sebagai Karl Marx atau Adam Smith dengan mengusung teori baru tentang sistem ekonomi kekeluargaan.

Penulis bahkan secara tersirat menantang untuk menambahi ide yang dijabarkan melalui tokoh cerita Aditya Baru. Mungkin ada masukan lain untuk memperbaiki tugas laporan resensi saya?, (hal: 339).

Untuk menutup cerita, yang menghindari diri dari semangat chauvinisme, penulis dengan brilian mengakhirinya dengan jalinan suspend lagi. Bahwa kisah itu hanya mimpi, namun mimpi yang baru dimulai dan siap diwujudkan. Sangat-sangat menarik.

Dari semua itu, dapat dikatakan jika penulis Bumi Tak Bertepi telah mampu memaparkan sebuah teori ekonomi baru dalam jalinan cerita yang lengkap. Saya melihatnya bahwa itu sebenarnya yang menjadi tujuan utama penulis. Lainnya hanya sebagai pelengkap, agar cerita begitu cair dan mengalir.

Saya sangat surprise dengan cerita yang ada. Sebab penulis mampu memadupadankan kisah sejarah, politik, kejiwaan, dan ekonomi dalam satu tarikan cerita. Karena itu jika ingin membaca intisari Ekonomi Pancasila, sejarah bangsa, kondisi perpolitikan yang terjadi di Indonesia, dan perjuangan menegakkan prinsip, dalam satu cerita, cobalah baca novel ini. Novel yang tidak hanya menghibur tapi full inspiratif. Selain sarat kata mutiara jiwa, juga banyak bentuk teknologi masa depan dilukiskan di dalamnya. Dapat dikatakan jika novel ini juga menjadi novel futuristik tak ada duanya di Indonesia.

 

STUDI KOMPARATIF

Novel Bumi Tak Bertepi memiliki soul yang berbeda dengan novel-novel yang dibuat oleh para pengarang Indonesia lainnya. Perbedaan itu dapat dikatakan seperti perbedaan antara dua kutub. Kutub Utara dan Kutub Selatan. Misalnya saja jika diperbandingkan dengan  novel dari jaman Balai Pustaka hingga Milenial. Seperti Siti Nurbaya [1922] (Marah Rusli), Atheis [1949] (Achdiat Karta Mihardja), Robohnya Surau Kami [1956] (A.A. Navis), Tetralogi Buru: Bumi Manusia [1980], Anak Semua Bangsa [1980], Jejak Langkah [1985], dan Rumah Kaca [1988] (Pramoedya Ananta Toer), serta Entrok [2010] (Okky Madasari), sebagai contohnya.

Dengan soul yang berbeda, novel ini seperti perlawanan terhadap novel tersebut, dan novel lain yang pernah ada di Indonesia. Ia dapat dikatakan juga sebagai sebuah revisi kisah novel fiktif-futuristik Api di Nusantara [2011] karya Idhamsyah Eka Putra, yang menjadikan Indonesia kalah dari serbuan Sekutu serta menyebabkan negara Indonesia menjadi tercerai berai. Novel ini juga seperti jawaban atas novel Ghost Fleet karya P.W. Singer dan August Cole, yang konon diwajibkan dibaca oleh para tentara Amerika Serikat. Novel yang meramalkan lenyapnya Indonesia tahun 2030. Dalam novel ini, Amerika Serikat dikisahkan lenyap menjadi Amerika Serikat Baru.

SASTRA PERLAWANAN ATAS SASTRA PERLAWANAN

Sastra Indonesia adalah sastra perlawanan. Perlawanan terhadap mainstream yang ada. Baik terhadap budaya leluhur, agama masyarakat, dan sebagainya. Lihat saja, bagaimana novel Siti Nurbaya menyerang tokoh adat yang melawan Belanda dengan stigma buruk dalam menggambarkan salah satu tokoh utamanya, yaitu Datuk Maringgih.

Belum lagi novel Atheis dan Robohnya Surau Kami yang menyerang umat Islam. Umat Islam dianggap sebagai anti kemajuan, dan tidak berwawasan luas. Seperti itulah kira-kira karakteristik penokohan yang dibuat oleh pengarang. Sehingga muncul kemudian adagium Islam Radikal atau Islam yang memiliki ciri tersebut.

Sayangnya perlawanan tersebut, ternyata bukan merupakan perlawanan terhadap budaya Barat apalagi perlawanan menegakkan eksistensi bangsa. Melongok kembali sejarah sastra lama, dapat dikatakan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menang atas polemik kebudayaan yang ada. Banyak pengarang yang memilih berada di kubu STA dengan menjadikan tokohnya kalah saat berhadapan dengan semua yang berbau Barat. Bahkan sang maestro novel seperti Pramoedya Ananta Toer juga melakukan hal yang sama, jika dilihat atas karya tetraloginya. Ia masih menjadikan Barat sebagai pemenang dalam pelukisan ceritanya, disadari atau tidak dan suka atau tidak suka.

Banyaknya pengarang tersebut menjadikan pemikiran mereka menjadi demikian mainstream di jagat pernovelan Indonesia. Tidak ingin mengatakan novel mereka menjadikan kita minder terhadap Barat, tapi novel mereka menstigma kita kalah di ranah pemikiran. Sebagai akibatnya, kini muncul pandangan jika novel-novel Indonesia tidak menjadikan pembacanya menjadi Indonesia.

Karena itu memang perlu ada sastra baru. Sastra perlawanan atas sastra perlawanan. Dan satu-satunya sastra perlawanan atas sastra perlawanan yang ada hingga saat ini, adalah novel Bumi Tak Bertepi.

Dengan kekhususan tersebut, menjadikan novel ini demikian unik. Dan tentu saja enak dibaca dan perlu, jika meminjam istilah Goenawan Mohamad. Terlebih ia juga adalah novel yang membahas ilmu ekonomi terbaru di dunia, sehingga perspektifnya menjadi lebih hidup. Selamat membaca novel Bumi Tak Bertepi dan temukan ‘keenakdibacaan narasinya dan perlu pemikirannya‘, di dalamnya.*

Penulis: Nicotiana Lila Arianti, S.S., M.Pd.

Narsum TV Edukasi Pada Program Pendidikan Dasar Pustekkom

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*