Bangunan yang didirikan pada era Majapahit tidak hanya berbahan emas, perak, batu bata, batu kali, dan kayu semata. Namun terdapat juga bangunan dari bahan lain, yaitu sphaṭika. Sphaṭika merupakan bahasa Sansekerta yang berarti: kristal, batu baiduri. Dalam bahasa Bahasa Jawa Kuna berarti kwarsa, kristal, juga permata, (Zoetmulder, 1995: 1118).
Menurut KBBI, kristal berarti hablur atau geo unsur pembentukan batuan yang atomnya tersusun dan terikat oleh kekuatan intermolekuler sehingga menjadi padat. Hablur adalah benda keras yang bening seperti kaca. Adapun baiduri adalah batu permata yang berwarna dan banyak macamnya seperti misalnya: baiduri bulan, baiduri pandan, dan baiduri sepah. Sementara itu kuarsa adalah penyusun utama dalam pasir, batuan, dan berbagai mineral, bersifat lebih tembus cahaya ultra-ungu daripada kaca biasa sehingga banyak digunakan dalam alat optik. Kuarsa juga berarti silika yaitu bagian terbesar dari pasir dan batu pasir (SiO2). Menurut KBBI pula, permata adalah batu berharga yang berwarna indah (seperti intan, berlian, dan nilam).
Pengertian intan adalah batu permata yang berkilauan berasal dari karbon murni dalam bentuk kristal (zat yang terkenal paling keras, dipakai untuk permata cincin, gelang, kalung, giwang, bros, dan sebagainya). Berlian adalah intan yang diasah baik-baik hingga indah kemilau cahayanya. Dan nilam adalah batu permata transparan yang berwarna biru atau safir yaitu batu permata berwarna biru tembus pandang.
Kata kristal berasal dari bahasa Yunani yaitu “krustallos”, terdiri atas “kruos” yang artinya beku dan “stellein” yang artinya dingin. Jadi kristal mengacu pada kedua kata tersebut berarti membeku karena proses pendinginan. Kristal juga sering disebut sebagai hablur / balur, mengacu pada sifat fisik yang menandainya, karena kristal bersifat hablur, (Sri Mulyaningsih, 2018:29).
Dalam The Dictionarry of Geology (Berry, 1983), kristal adalah bahan padat yang secara kimia homogen dengan bentuk geometri tetap, sebagai gambaran dari susunan atom yang teratur, dibatasi oleh bidang banyak (polyhedron), dengan jumlah dan kedudukan bidang-bidang kristalnya tertentu dan teratur, (Sri Mulyaningsih, 2018:29).
1. Catatan Bangunan Dari Kristal Di Majapahit
Di Majapahit, bangunan yang terbuat dari bahan kristal dicatat dalam Nāgarakṛtāgama 76. 2.
tan karyya sphaṭīkeyang i jaya manalwi haribhawana caṇḍi wungkal i pigit,
nyū dante katude srangan / kapuyuran jayamuka kulanandane kanigara,
ṛmbut lan wuluhěn muwah ri khinawöng mwang i sukhawijayāthawā ri kajaha,
campěn / mwang ratimānmathāçrama kula kaling i batu putih tekha paměwěh. [1]
Terjemahan:
‘Tidak harus tinggal di belakang sphaṭikeyang: Jaya Manalu, Haribhawana, Candi Wungkal, Pigit; Nyu Denta, Katuda, Srangan, Kapuyuran, Jaya Muka, Kulanandana, Kanigara; Rěmbut dan Wuluhen, juga Kinawong dan Sukawijaya dan Kajaha juga, Campen dan Rati-Manmathāshrama, Kulang-Kaling, Batu Putih, yang kini menjadi tambahan’. [2]
Sphaṭikeyang (sphaṭika i hyang), di dalam Nāgarakṛtāgama termasuk 1 dari 4 kelompok dharma lěpas pratiṣṭhā Shiwa. Dharma lěpas pratiṣṭhā Shiwa terdiri dari: kuti balay, parhyangan, prasada haji, dan sphaṭikeyang. [3] Dari keempat kelompok tersebut, sphaṭikeyang dicatat paling banyak.
Terkait Sphaṭikeyang, tidak ada informasi lebih lanjut mengenai deskripsi mengenainya. Dalam artian mengenai seperti apa penggunaan sphaṭika dalam Sphaṭikeyang. Pigeaud mencoba memberi ulasan mengenai sphaṭikeyang, yaitu sebagai berikut. The fourth group, the Shiwaitic sphatikeyangs, seems to comprise a kind of domains with sanctuaries which in the Majapahit age was considered as ordinary, not archaic or belonging to people who were in any respect outside the pale of common 14th century East Javanese Shiwaism. Besides the connection of the word sphaṭika with Shiwaitic ithyphallic conceptions the name bale spaṭika for the most important part (the place of the mortal remains) in the Balinese bade (the towerlike conveyance of the dead from their temporary earthly grave to the cremation place) is to be mentioned (see i.a. Wirz, Totenkult auf Bali, 1928, p. 40). [4]
Namun demikian ia juga memberi catatan lain mengenai sphaṭikeyang. Sphaṭika, crystal, in Old Javanese Paṣṭika, muṣṭika, is connected with Parameshwara-Shiwa in the Korawāshrama tale (edition Swellengrebel, p. 44) about Wishnu and Brahma’s quest for the foot and the head of the crystal pillar, the spike of Java (pakuning Yawadwīpa). [5] Catatan ini menunjukkan jika sphaṭika digunakan pada bangunan masa lalu, seperti pada kaki dan kepala tiang.
Informasi digunakannya sphaṭika sebagai kaki dan kepala tiang, tentu sangat menarik. Pertama, karena menunjukkan jika ia tidak digunakan sebagai bahan candi, namun lebih merujuk pada bangunan lain seperti rumah atau pavilion. Hal ini karena candi dibangun seperti kerucut di mana ia disusun dari batu atau batu bata yang saling terkait. Misalnya saja Candi Gangsir. Ruangan di dalam candi ini tanpa menggunakan tiang.
Gambar 1.
Gambar Candi Gunung Gangsir.

Sumber:
035-Main-Entrance-Gunung-Gangsir-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/34-Pasuruan/34-Pasuruan.htm
Gambar 2.
Gambar Ruang Dalam Candi Gunung Gangsir.

Sumber:
040-Inside-the-Turret-Gunung-Gangsir-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/34-Pasuruan/34-Pasuruan.htm
Kedua. Karena digunakan untuk kaki dan kepala tiang, maka ia dimungkinkan juga digunakan pada bagian lain seperti tiangnya sendiri atau pun lainnya.
Namun demikian, karena dalam Nāgarakṛtāgama Caṇḍi Wungkal dicatat sebagai Sphaṭikeyang, maka dimungkinkan sphaṭika digunakan sebagai bahan bangunan atau minimal sebagai salah satu bahan yang digunakan dalam aktivitas candi. Dalam temuan terbaru dari Candi Sukuh, dicatat ditemukan adanya lingga dari kristal. Uniknya Candi Sukuh tidak termasuk Sphaṭikeyang menurut Nāgarakṛtāgama. Akan tetapi dengan adanya temuan penggunaan kristal sebagai lingga tersebut, menunjukkan jika pada masa lalu kristal digunakan sarana upacara dalam sebuah peribadatan di candi. Sekalipun kristal itu ditemukan di luar bangunan candi, namun penemuan kristal tersebut menunjukkan bila kristal memang digunakan pada era Majapahit.
Gambar 3.
Lingga dari kristal yang ditemukan di Candi Sukuh.

Sumber:
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2016/05/14/crystal-shiva-linga-found-among-artifacts-at-candi-sukuh-central-java/
Pada saat ini, dari seluruh wilayah yang disebut sebagai bagian dari kelompok Sphaṭikeyang, dapat dikatakan tidak lagi teridentifikasi dan statusnya tidak diketahui. Berikut wilayah-wilayah yang termasuk kelompok Sphaṭikeyang beserta catatan identifikasi yang diberikan oleh Pigeaud.
Daftar Kelompok Sphaṭikeyang Di Majapahit
No Sphaṭikeyang Kondisi Keterangan
1 Jaya Manalu Tidak diketahui Poerbatjaraka mengatakan bahwa di masa lalu seorang Raja Bali memiliki nama ini, Pigeaud IV:230
2 Haribhawana Tidak diketahui
3 Caṇḍi Wungkal Tidak diketahui Dalam piagam tahun 1216 Shāka, tahun 1294 M. Jasun Wungkal disebutkan. Mungkin terletak di barat laut Kěḍung Pěluk, disebutkan dalam pupuh 35-1-3, Pigeaud IV:230.
4 Pigit Tidak diketahui
5 Nyū Děnta Tidak diketahui
6 Katuda Tidak diketahui
7 Srangan Tidak diketahui Merujuk pupuh 76-3-3 dan 78-4-1 (Sarangan disebutkan dalam O.J.O. no 37, piagam 851 Shāka, 929 M dari distrik Majakěrta. Menurut beberapa piagam lain, O.J.O. no 94 sq. terletak tidak jauh dari Jiyu, Pigeaud IV:230-231)
8 Kapuyuran Tidak diketahui
9 Jaya Muka Tidak diketahui
10 Kulanandana Tidak diketahui
11 Kanigara Tidak diketahui Merujuk Knebel, Rapp. Oudh. Kom. 1908, hal. 70: sebuah desa di kabupaten Blitar tempat ditemukannya arca Shiwa. Dalam puisi ensiklopedis abad ke-19 Cěṇṭini menyebutkan tempat Kanigara di Kecamatan Giring sebelah selatan Mataram, Pigeaud IV:231
12 Rěmbut Tidak diketahui
13 Wuluhěn Tidak diketahui
14 Kinawöng Tidak diketahui Diidentifikasikan dengan Kinawe, disebutkan dalam O.J.O. no 32, piagam 849 Shāka, 927 M dari Tañjung Kalang di daerah Běrběk, Pigeaud IV:231
15 Sukawijaya Tidak diketahui
16 Kajaha Tidak diketahui
17 Campěn Tidak diketahui
18 Rati-Manmathāshrama Tidak diketahui Identifikasi Poerbatjaraka dengan Lingga Marabangun, pupuh 17-5, diragukan, Pigeaud IV:231.
19 Kulang-Kaling Tidak diketahui Merujuk Notes, vol. II.
20 Batu Putih Tidak diketahui “Batu Putih”, diidentifikasi oleh Poerbatjaraka dengan Shilā Pěṭak (arti yang sama), wilayah Wishnuitic Raja Jayanagara, dan dengan pemakaman tua keluarga Bupati Muslim Surabaya, keturunan Anggawangsa (abad ke-16), terletak di tepi sungai Sungai Pagirian, cabang dari sungai besar Brantas, di bagian kota tua. Urutan denominasi: Shiwaitic, Wishnuitic, Muslim, akan luar biasa tetapi bukan tidak mungkin sama sekali, Pigeaud IV:231
2. Bangunan Sphaṭika Selain Sphaṭikeyang
Selain digunakan sebagai bahan bangunan dari salah satu kelompok dharma lěpas pratiṣṭhā Shiwa, kristal juga disebut digunakan sebagai bahan bangunan lain. Hanya saja hal tersebut dicatat dalam karya sastra kakawin. Misalnya saja adalah Sutasoma, Arjunawiwāha, dan Arjunawijaya. Kedua karya pertama tersebut memuat informasi bangunan dari kristal dengan informasi yang cukup melimpah.
Zoetmulder dalam kajian ‘Alam Yang Terpantul Dalam Sastra Kakawin’ memberi panduan kepada siapa saja yang ingin mengambil latar kakawin sebagai bagian dari budaya masa lalu. Ia mencatat sebagai berikut. Sekalipun demikian, tak seorang pun membaca sastra kakawin dapat menghindari kesan, bahwa “setting” cerita-cerita itu jelas merupakan “setting” Jawa. Dengan menyamarkan tokoh-tokoh dan nama-nama tempat, penyair menyajikan sebuah gambar mengenai tanah air serta masyarakatnya sendiri. Laki-laki dan perempuan-perempuan yang memakai nama-nama India pada pokoknya merupakan orang-orang Jawa yang berpikir seperti orang Jawa dan yang hidup dalam suatu lingkungan Jawa, (Zoetmulder, 1983:239). Namun demikian, tidak berarti segala sesuatu di dalam setiap kakawin begitu saja harus dipandang sebagai pencerminan kehidupan dan adat istiadat Jawa. Janganlah kita lupa, bahwa menulis fiksi, dapat mengambil kebebasannya sendiri dan tidak merasa terikat oleh kenyataan lingkungan Jawa pada jamannya, karena ia tidak berjanji untuk melukiskan keadaan itu, (Zoetmulder, 1983:239).
Karena itu Zoetmulder kemudian menilai bila setiap usaha untuk merekontruksi kembali keadaan masyarakat Jawa Kuno berdasarkan hasil sastra jaman itu, hendaklah dilakukan sambil menilai dengan hati-hati dan kritis berbagai unsur dalam cerita-cerita itu. Penilaian harus memperhatikan asal-usul cerita serta persoalan, apakah pengarang bermaksud mengikuti contohnya dari India setepat mungkin atau tidak, (Zoetmulder, 1983:240).
Rambu-rambu yang diberikan Zoetmulder tersebut, tentu tidak berlebihan. Unsur kehati-hatian tetap perlu diketengahkan. Dan jika melihat kembali Sutasoma, kakawin ini ternyata merupakan kakawin yang dapat dikatakan genuine Jawa Kuno. Sekalipun dijumpai di dalamnya terdapat kisah jātaka sebagaimana yang ditemukan dalam sastra Buddhis (Zoetmulder, 1983:434), namun secara umum kakawin Sutasoma dapat dikatakan tidak setepat mungkin mengikuti contoh India. Hal ini karena syair ini memiliki kebaruan dari sastra India dalam hal masuknya ide-ide religius mengenai bentuk Buddhisme Mahayana seperti berlaku di keraton Majapahit beserta hubungannya dengan Siwaisme (Zoetmulder, 1983:435).
Dengan pengarang Sutasoma tidak bermaksud mengikuti contohnya dari India setepat mungkin, maka dapat dikatakan kemungkinan adanya unsur-unsur pencerminan kehidupan dan adat istiadat Jawa dalam latar yang dikisahkan, menjadi sangat besar. Termasuk diantaranya adalah bangunan kristal sebagaimana yang dikisahkan dalam Sutasoma.
Demikian pula Arjunawiwāha. Zoetmulder juga menilai bila dua pertiga dari seluruh syair ini, praktis merupakan suatu ciptaan baru, (Zoetmulder, 1983:308). Keterangan ini menunjukkan sangat dimungkinkan adanya unsur-unsur pencerminan kehidupan dan adat istiadat Jawa dalam latar yang dikisahkannya.
Khusus untuk karya mpu Tantular yaitu Arjunawijaya, ada catatan menarik terkait realitas dan fiksi dari latar yang dihadirkannya. Utamanya, antara informasi Nāgarakṛtāgama dengan Arjunawijaya. Antara dua karya penulis yang hidup sejaman, sebab keduanya sama-sama ditulis pada era era Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk). Supomo mencatat jika Nāgarakṛtāgama dan Arjunawijaya ditulis hampir sepuluh tahun terpisah dan, kemungkinan besar, di satu dan tempat yang sama, tidak mengherankan bahwa gambar-gambar kehidupan kontemporer yang muncul dari kedua karya tersebut sangat mirip, dan dalam kasus di mana kami menemukan informasi yang berbeda dalam kedua karya ini, ini saling melengkapi daripada bertentangan, (S. Supomo, 1971:88). Pendapat ini jelas dapat meluruskan pendapat Zoetmulder yang menyebut syair Tantular jauh dari mencerminkan kehidupan di keraton Majapahit’. [6]
Sekalipun demikian, saat mengisahkan mengenai sphaṭikagṛha, Supomo memberi penjelasan berbeda. Sphaṭikagṛha dicatat dalam Arjunawijaya 3.5.1-2, dengan uraian sebagai berikut. Mangkin lěyěp anupama tingkah ing pura, lěwěs halěp ika ri dalěm, de ning sphaṭikagṛha suteja bhāswara; hana n kadi rahina sadā. ‘Yang lebih indah dan tak tertandingi adalah penataan istana; interiornya paling mengesankan, karena rumah kristal yang berkilauan; beberapa dari mereka, yang [secerah] seolah-olah terus-menerus siang hari’. [7]
Pada penjelasan selanjutnya, Supomo mencatat jika istilah rumah kristal (sphaṭikagṛha) pada pupuh 3.5.1-2 tersebut, merupakan puitis berlebihan untuk rumah-rumah indah (gṛhâdhika) dari keluarga kerajaan yang disebutkan dalam Nāg.11.1-2, (S. Supomo, 1971:100). Namun penjelasan Supomo tersebut seperti ada sesuatu yang ia lewatkan. Pertama. Prapañca dalam melukiskan bangunan di dalam istana memang menggunakan bahasa puitis bukan realis. Misalnya saja gṛhânopama (Nāg.9.4.3) dan gṛhâdhika (Nāg.11.2.3). Istilah gṛhânopama merupakan ungkapan puitis dan realitasnya ternyata sesuai dengan informasi Odorico da Pordenone, yaitu bangunan dari emas dan perak. [8] Karena itu dapat dikatakan jika gṛhâdhika juga merupakan ungkapan puitis dan realitasnya sesuai dengan informasi Arjunawijaya, yaitu bangunan dari kristal. Kedua. Karena Arjunawijaya dicatat dibuat selang waktu lama (sekitar 10 tahun) selepas Nāgarakṛtāgama dibuat, maka dimungkinkan juga adanya renovasi dari rumah-rumah indah (gṛhâdhika) menjadi rumah kristal (sphaṭikagṛha).
3. Humah Sphaṭika Dalam Sutasoma
Humah sphaṭika dalam Sutasoma mendapat pemaparan paling banyak. Pada Sutasoma sebagai sebuah kakawin yang ditulis oleh pengarang yang sama dengan Arjunawijaya, bangunan dari kristal disebut dengan sphaṭikaweśma (Sut. 68.1.4). Sphaṭikaweśma ini juga disebut dengan humah sphaṭika (Sut. 68.4.4), sphaṭikagṛha (Sut. 72.2.1, Sut. 79.2.3, Sut. 79.6.3) dan gṛhârâtna (Sut. 80.5.2). Informasi terakhir ini menunjukkan jika yang dimaksud sphaṭika (kristal) sama dengan râtna (permata). Menurut Sutasoma, sphaṭikaweśma dikisahkan terletak di luar istana. Ia berada di sebuah pulau di tengah danau. Jalan menuju ke pulau tersebut berupa jembatan besi yang dihiasi permata dan emas. Sphaṭikaweśma atau gṛhârâtna merupakan tempat bulan madu Pangeran Sutasoma dengan istrinya. Di lihat dari tempatnya yang bukan di istana, sphaṭikaweśma ini dapat dikatakan seperti sebuah pesanggrahan raja pada masa lalu.
Kata weśma dicatat merupakan bahasa Sansekerta yang berarti rumah atau kediaman, (Zoetmulder: 1995:1442). Humah atau umah merupakan bahasa Jawa Kuno yang berarti rumah atau tempat tinggal, (Zoetmulder 1995:1328). Sementara itu gṛha merupakan bahasa Sansekerta yang berarti rumah, tempat tinggal, kediaman, (Zoetmulder 1995:309). Namun baik sphaṭikagṛha maupun sphaṭikaweśma, Zoetmulder menterjemahkannya dengan pavilyun kristal, (Zoetmulder 1995:1118). Menurut KBBI, pavilyun atau ditulis dengan paviliun adalah rumah (bangunan) tambahan di samping rumah induk. Dengan pengertian KBBI tersebut, maka makna paviliun kristal terasa menjadi kurang pas. Hal ini karena pengertian paviliun kristal dari sphaṭikagṛha maupun sphaṭikaweśma yang dimaksud, seharusnya merujuk rumah utama. Karena itu berdasar standar KBBI, sphaṭikagṛha maupun sphaṭikaweśma, penulis lebih memilih menerjemahkannya dengan rumah kristal.
Dalam penerjemahan kata weśma, humah, atau gṛha pada kata sphaṭikaweśma, humah sphaṭika, dan sphaṭikagṛha, ternyata sangat variatif dilakukan oleh para peneliti Jawa Kuna. Seperti misalnya sphaṭikaweśma dan sphaṭikagṛha sebagai the crystal hall, (S III, 1969:126 dan 152) dan the hall of crystal, (Soewito Santoso III, 1968:153). Sementara itu Dwi Woro R. Mastuti menterjemahkan sphaṭikaweśma dan sphaṭikagṛha dengan balai emas, (Dwi Woro R. Mastuti, dkk, 2009:221 dan 263). I. Kuntara Wiyamartana menerjemahkan sphaṭikagṛha dengan sanggar mestika (I. Kuntara Wiryamartana, 1990:152).
Dari banyak informasi mengenai humah sphaṭika yang dicatat dalam Sutasoma 67-79, ada diskripsi-deskripsi menarik mengenai humah sphaṭika tersebut. Deskripsi tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama. Humah sphaṭika merupakan bangunan megah pada masa itu. Ia terletak di tengah bangunan-bangunan lain atau bangunan yang terbuat dari emas. Misalnya saja diskripsi sebagai berikut.
Sutasoma 67.2:
Ring pȗrwwâdiwiçeṣaweçma-kanaka nya kadi wahu sake hyang Içwara,
ngkaneng dakṣiṇa Dhâtraweçma kahiḍěp marakata dumilah nirantara,
ndan ring paçcima yeka rakwa ya Mahâmarabhawana panarkka ning mulat,
n yâçeng uttara tulya weçma Madhusȗddhana pasaji nireng wanȋng raṇa. [9]
Sutasoma 67.3.1:
Ring mâdya sphaṭikendra çuddha winangun gṛha linarangan ing surâlaya,
Terjemahan Sutasoma 67.2:
Rumah emas, di sebelah timur seperti Îswara, sangat bagus sekali.
Bahwa di sebelah selatan seperti tempat tinggal Dhâtra, terus menyala dan berkilau.
Dan di sebelah barat adalah tempat tinggal Mahâmara, sehingga orang yang melihatnya akan berpikir,
dan rumah di sisi utara seperti tempat tinggal Madhusudhana, disediakan olehnya untuk para pahlawan dalam pertempuran. [10]
Sutasoma 67.3.1:
Di tengahnya terdapat sebuah rumah besar dari kristal murni yang mungkin tidak dapat ditiru bahkan di tempat tinggal para dewa. [11]
Kedua. Humah sphaṭika sangat besar.
Sutasoma 67.3.1:
Ring mâdya sphaṭikendra çuddha winangun gṛha linarangan ing surâlaya.
Terjemahan Sutasoma 67.3.1:
Di tengahnya terdapat sebuah rumah besar dari kristal murni yang mungkin tidak dapat ditiru bahkan di tempat tinggal para dewa. [12]
Ketiga. Humah sphaṭika memiliki atěp dan wuwung.
Sutasoma 67.3.3:
wwaidhȗryyâtěp anekawaṛṇna ni wuwung nya mabuka nawarâtna sangghya ta.
Terjemahan Sutasoma 67.3.3:
Atapnya terbuat dari segala jenis batu opal dan bubungan (dari atap) bertatahkan sembilan jenis permata. [13]
Keempat. Sphaṭikagṛha dipasang tirai dan diberi parfum aroma kesturi.
Sut. 79.2.3-4:
mwang tekang sphaṭika gṛhâdi kiněnan jiněm arěja sugandha kasturi minging,
muntab söng i kělab nikang palisir ârjja kumuliling awaṛṇna teja dumilah.
Terjemahan:
dan di rumah kristal dipasang kamar pengantin yang harum dengan aroma kesturi (musk). Berkilauan sinar tirai indah yang berkibar di sekitar [ruangan rumah] seperti api yang menyala-nyala. [14]
Kelima. Sphaṭikagṛha didekorasi dan dihiasi dengan segala hiasan lain.
Sut. 79.6.3:
nahan hetu nirâglis anghyasi tikang sphaṭikagṛha pinik sabhuṣaṇa halěp.
Terjemahan:
Inilah sebabnya mengapa dia memerintahkan rumah kristal untuk didekorasi sekaligus dan dihiasi dengan segala macam ornamen halus. [15]
Selain sebagai bahan humah, sphaṭika juga digunakan sebagai bahan rangkang. Misalnya adalah sebagai berikut.
Sut. 58.7.3:
ring rangkang sphaṭikârjja teki kahana rasiki sinaput ing lare hati,
Terjemahan:
Sang putri berada di paviliun kristal yang indah diliputi kesedihan dan kesusahan. [16]
4. Sphaṭikagṛha di Arjunawiwāha
Selain terdapat di era Majapahit, bangunan yang menggunakan bahan dari sphaṭika dicatat juga di era Kahuripan. Misalnya saja sebagaimana yang dicatat dalam Arjunawiwāha. Dalam Arjunawiwāha tersebut, bangunan yang menggunakan sphaṭika adalah rangkang dan gṛha.
Pertama. Rangkang.
Arjunawiwāha 17.3.1-3:
Wwantěn ramyaracana śūnya kāwakanya
(ng)kanêng kalpataru paran sang arya Pārta
ri(ng) rangka(ng) sphaṭika dulur (ni)ra-n
anganti. [17]
Terjemahan:
Ada bangunan indah, sunyi, tersendiri.
Ke sana, pada pohon kalpataru, Sang Arya Parta menuju,
Di rangkang sphaṭika ‘paviliun kristal’ pendampingnya (Supraba) menanti. [18]
Kedua. Gṛha ‘rumah’.
Arjunawiwāha 17.4.4:
abhra ta(ng) spha<ṭ>ikagṛhâsinang riněngga.
Terjemahan:
‘Cemerlanglah sphaṭikagṛha ‘rumah kristal’, bersinar-sinar, dihiasi. [19]
Arjunawiwāha 17.5.1:
endah ta(ng) sphaṭikagṛhâsalin prabhānya.
Terjemahan:
‘Menjadi sangat elok sphaṭikagṛha ‘rumah kristal’ itu, berganti cahayanya. [20]
Menurut informasi Arjunawiwāha tersebut, sebelum memasuki sphaṭikagṛha terdapat rangka(ng) sphaṭika. Sphaṭikagṛha dicatat terletak di dalam istana. Tepatnya pada tempat di mana istri-istri raja berada. Kemungkinan besar ia berada di semacam Tamansari.
Apabila informasi Arjunawiwāha tersebut kemudian diperbandingkan dengan Sutasoma, maka akan terdapat perbedaan antara keduanya. Pada Arjunawiwāha, rangkang sphaṭika merupakan bagian dari bangunan sphaṭikagṛha. Sebelum masuk sphaṭikagṛha akan melalui rangkang sphaṭika terlebih dahulu. Sementara itu pada Sutasoma rangkang tidak dikisahkan menjadi bagian dari bangunan sphaṭikagṛha. Hal ini karena rangkang terdapat di istana dan sphaṭikagṛha terdapat di luar istana tepatnya di sebuah pulau di danau yang letaknya jauh dari istana.
Dengan adanya sphaṭikagṛha baik dalam catatan Sutasoma maupun Arjunawiwāha dan juga penjelasan sebelumnya dari Arjunawijaya, maka sphaṭikagṛha pada masa lalu dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama. Bangunan sphaṭikagṛha pada masa lalu didirikan di lingkup istana (Arjunawiwāha di Tamansari Raja, Arjunawijaya dan juga Nāgarakṛtāgama [gṛhâdhika] di perumahan keluarga kerajaan), maupun di luar istana (Sutasoma di Pesanggrahan Raja). Kedua. Para pendiri sphaṭikagṛha pada masa lalu, dilakukan oleh raja atau kerabat dekat raja. Ketiga. Rangkang sphaṭika dapat sebagai bangunan khusus sebelum masuk sphaṭikagṛha, namun juga dapat tidak termasuk bangunan khusus sebelum masuk sphaṭikagṛha.
5. Jejak Penggambaran Sphaṭikagṛha Di Dalam Relief Prambanan
Informasi sphaṭikagṛha dalam kakawin di atas, pada dasarnya merupakan sebuah informasi dari sisi filologis. Bagaimana kemudian dengan informasi penggambaran sphaṭikagṛha dari sisi arkeologis?
Mencari informasi relief bangunan yang menggunakan bahan sphaṭika tentu tidak mudah. Terlebih bangunan tersebut sebagaimana yang dicatat dalam catatan Prapañca, pada saat ini dapat dikatakan telah hilang dan tidak ditemukan. Sekalipun demikian akan tetap diupayakan untuk mencari gambaran mengenai bangunan pada masa lalu, yang disebut sangat istimewa dibanding bangunan lain sebanding bangunan yang dibuat dari emas, khususnya pada gambar relief. Pencarian dilakukan untuk memberi gambaran seperti apa keindahan bangunan kristal tersebut.
Pencarian akan difokuskan pada informasi Prapañca, di mana pada era Majapahit bangunan dari bahan sphaṭika dicatat digunakan dalam dharma lěpas pratiṣṭhā Shiwa. Sehingga lebih tepatnya pada relief-relief candi-candi Shiwa. Dari banyak relief yang diteliti, ternyata terdapat penggambaran yang mendekati sebagaimana yang dimaksud. Penggambaran tersebut terdapat di relief Candi Prambanan.
Relief di Candi Prambanan yang dimaksud adalah di relief yang mengisahkan kisah Rama. Ada dua relief yang dapat diduga sebagai bangunan yang menggunakan bahan sphaṭika. Bangunan tersebut adalah relief dalam gambar dengan kode D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb dan D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb. [21] Gambar relief tersebut merupakan gambar relief yang mengisahkan Rama dan Sinta kembali berada di negara Ayodya selepas mengalahkan Alengka.
Gambar 4.
Gambar bangunan di relief candi Prambanan.

Sumber:
D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/26-Ramas-Story/26-Ramas-Story.htm
Deskripsi gambar:
Pertama. Bangunan dalam relief tersebut tampak terlihat seperti rumah. Hal ini karena ia terlihat memiliki atap dan wuwungan serta memiliki dinding yang menutup keseluruhan bangunan. Kedua. Kuda-kuda dan reng tampak jauh lebih terlihat. Ketiga. Motif genting juga lebih dapat dikenali dan terlihat cara pemasangannya bukan seperti pemasangan genteng tanah liat, namun seperti genteng dari kaca jika dilihat untuk cara pemasangannya saat ini. Keempat. Wuwungan atau bubungan atap tampak sangat tebal dan kokoh. Kelima. Rangka bangunan juga tampak kokoh dan lebih menggambarkan tidak dibuat dari kayu. Rangka bangunan sekilas rusak dan tidak tampak terpahat seperti sebuah susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar sebagaimana dinding. Keenam. Gambar bangunan seperti menunjukkan terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama (bawah) dan lantai kedua (atas), namun hanya pada satu sisi kanan bangunan. Hal ini karena terdapat dua batas garis tegas pada satu sisi kanan bangun, di mana pada salah satu garis tersebut dilukiskan sangat tebal. Setengahnya lagi atau sisi kiri hanya memiliki 1 lantai saja, karena tidak adanya satu garis yang dilukiskan sangat tebal. Ketujuh. Bangunan rumah pada ‘lantai 2’ atau di atas garis tebal, juga terlihat memiliki jendela yang menjorok ke depan yang keluar dari batas dinding atau biasa disebut untuk istilah saat ini sebagai jendela bay.
Gambar 5.
Gambar bangunan di relief candi Prambanan.

Sumber:
D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/26-Ramas-Story/26-Ramas-Story.htm
Deskripsi gambar:
Pertama. Bangunan dalam relief tersebut tampak terlihat seperti rumah. Menurut KBBI rumah salah satunya berarti bangunan pada umumnya (seperti gedung). Informasi seperti gedung ini karena tampak memiliki atap dan wuwungan, sekalipun tidak terlihat jelas. Selain itu juga memiliki dinding yang menutup keseluruhan bangunan. Kedua. Kuda-kuda dan reng masih terlihat tampak sekalipun tidak sempurna. Ketiga. Motif genting yang ada telah rusak dan tidak dikenali lagi. Keempat. Rangka bangunan tampak kokoh dan lebih menggambarkan tidak dibuat dari kayu. Kelima. Rangka bangunan tampak terpahat seperti sebuah susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar mirip dinding. Keenam. Terdapat satu panel kotak yang tersusun dari kotak-kotak kecil seperti sebuah belah ketupat di salah satu kotak di tengah di bagian atas. Ketujuh. Gambar bangunan pada relief ini juga seperti menunjukkan bahwa bangunan memiliki 2 lantai. Hal ini ditandai dengan adanya dua garis yang salah satunya tampak tebal, antara bangunan bawah dan bangunan atasnya.
Dapat dikatakan dengan kedua relief tersebut dilukiskan memiliki dinding yang tersusun dari kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar, maka membuatnya menjadi sebuah bangunan yang tidak biasa. Hal ini karena beberapa bangunan lain, dilukiskan tanpa terlihat seperti itu. Misalnya saja gambar sebagai berikut.
Gambar 6.
Gambar bangunan di relief candi Prambanan.

Sumber:
B-18c-Sugriva-regains-his-Kingdom-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/26-Ramas-Story/26-Ramas-Story.htm
Deskripsi gambar:
Pertama. Bangunan dalam relief tersebut tampak terlihat seperti rumah. Hal ini karena ia terlihat memiliki atap dan wuwungan serta memiliki dinding yang menutup keseluruhan bangunan. Kedua. Ada tiang yang terlihat sangat panjang yang tampak tidak terlihat sebagai umpak (alas tiang) di bawah bangunan yang ada. Ketiga. Besar kemungkinannya bangunan rumah itu merupakan bangunan bertingkat. Lantai pertama yang hanya terlihat salah satu tiang panjangnya, dan lantai kedua terlihat lebih utuh. Keempat. Tidak ada gambar dinding dari bangunan tersebut, selain garis bingkai di lantai kedua yang mengelilingi pinggir dinding. Garis bingkai tersebut seperti hendak menunjukkan bahwa dinding bangunan tertutup. Kelima. Tampak ada jendela yang menjorok ke depan yang keluar dari batas dinding atau jendela bay pada lantai kedua. Gambar relief ini, secara umum mengisahkan suasana di kerajaan Raja Sugriwa.
Dengan melihat kembali ketiga gambar relief tersebut, mungkinkah susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar yang terlihat pada gambar keempat dan kelima menjadi pertanda sebagai sphaṭikagṛha sementara gambar keenam yang cenderung polos sebagai pertanda gṛha biasa?
6. Perbandingan Relief Prambanan dengan Kakawin Ramayana
Pada dasarnya kisah Rama yang dipahatkan di candi Prambanan juga terdapat dalam kakawin Ramayana. Karena itu untuk melihat penjelasan pemaparan relief yang ada, ia tentu dapat dirunut dalam kakawin Ramayana karena kakawin ini berisi kisah Rama secara lebih lengkap. Sekalipun kisah Rama dalam candi Prambanan tidak utuh karena terbatasnya ruang pada relief yang digunakan, namun dapat dikatakan bila penggambaran kisah dalam relief memiliki point-point utama yang sama dengan kisah yang dicatat dalam kakawin Ramayana.
Saat dirujukkan kepada Kakawin Ramayana sebagai sebuah kakawin era Jawa Kuno, ternyata terlihat perelief candi Prambanan mengikuti gambaran dari kakawin Ramayana dari dekat. Dalam kakawin Ramayana dicatat sebagai berikut.
Pupuh XXVI bait 28 (hal: 721) :
Mangka naréndra tumamā ri dalěm kaḍatwan,
mwang sang tamuy prabhu Wibhīṣaṇa wānaréndra,
ring ratnamaṇḍapa palangka malit tilām nya,
ngkā r-unggu sang tamuy aturwa kinon wisāta.
Terjemahan:
Kemudian raja mengundurkan diri ke ruang dalam, diikuti oleh para tamu, Wibhīṣaṇa dan raja kera. Para tamu diminta untuk tinggal dan tidur di maṇḍapa permata dengan tempat tidur yang luar biasa. [22]
Informasi ratnamaṇḍapa sebagai tempat tinggal dan tidur untuk para tamu merupakan informasi menarik. Terlebih setelah itu dilanjutkan informasi Rama memasuki umah mās di bait selanjutnya yaitu bait 29.
Pupuh XXVI bait 29 (hal: 721):
Sang Rāma rāmya madulur tumamèng umah mās,
sampat samodaya lawan dayitè su-Sītā,
r-unggah ta ring grěha tilām umaḍang sugandha,
pañjut ḍuḍuk jamaṇikojwala biddhanāga.
Terjemahan:
Kemudian dengan penuh kegembiraan Rama memasuki rumah emas. Semuanya sudah siap dan sempurna, belum lagi sang ratu, Sita yang cantik. Mereka pergi ke kamar tidur dengan tempat tidur yang telah disiapkan dan diberi wewangian, lampu berdiri, gorden, dan pengait berhias permata. [23]
Informasi ratnamaṇḍapa dan umah mās dalam kakawin Ramayana ini ternyata menjadi dasar perelief menggambarkan aktivitas utama Rama dan Sita saat kembali ke Ayodya. Aktivitas menerima tamu dan mempersilahkan para tamu tinggal di ratnamaṇḍapa serta aktivitas menikmati kemenangan di mana Rama dan Sita masuk ke umah mās.
Karena itu dapat dikatakan bila informasi gambar bangunan dalam relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb tidak lain merupakan penggambaran dari ratnamaṇḍapa ‘pendapa permata’ atau ‘pendapa kristal’.
Gambar 7.
Gambar utuh relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb candi Prambanan, yang penggambaran bangunannya ternyata sesuai dengan deskripsi bangunan pada kisah kakawin Ramayana Pupuh XXVI bait 28.

Sumber:
D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/26-Ramas-Story/26-Ramas-Story.htm
Sementara itu informasi gambar bangunan dalam relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb, ternyata juga merujuk pada umah mās ‘rumah emas’ yang disebut dalam kakawin Ramayana.
Gambar 8.
Gambar utuh relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb candi Prambanan, yang penggambaran bangunannya ternyata sesuai dengan deskripsi bangunan pada kisah kakawin Ramayana Pupuh XXVI bait 29.

Sumber:
D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/26-Ramas-Story/26-Ramas-Story.htm
Dari hal tersebut, maka sedikit banyak dapat dipastikan jika makna penggambaran susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar pada bangunan dalam gambar relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb, adalah bentuk penggambaran bahan bangunan yang berbahan kristal. Dan makna penggambaran susunan kotak-kotak kecil seperti sebuah bujur sangkar pada bangunan dalam gambar relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb, adalah bentuk penggambaran bahan bangunan yang berbahan emas.
Kedua relief tersebut ternyata juga memberi informasi menarik mengenai seni bangunan pada masa lalu, yaitu: bentuk bangunan yang disebut maṇḍapa dan bentuk bangunan yang disebut dengan umah. Keduanya ternyata memiliki desain yang berbeda. Kalau dalam Sutasoma, Arjunawiwāha, dan Arjunawijaya disebut dengan gṛha atau humah maka desain rumah yang dimaksud adalah mengacu pada gambar relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb. Dan bila kemudian disebut dengan istilah sphaṭikagṛha, maka bentuk tersebut strukturnya menggunakan bahan sphaṭika atau ratna sebagaimana desain gambar relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb.
7. Identifikasi Bentuk Sphaṭika
Dengan dapat diindentifikasi bangunan dalam relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb sebagai ratnamaṇḍapa dan pada relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb disebut sebagai umah mās, maka seperti apa sebenarnya bentuk bahan bangunan yang disebut sebagai ratna tersebut. Sebagai sebuah catatan sebelumnya menurut Sutasoma, informasi ratna memiliki makna yang sama dengan sphaṭika. Misalnya informasi bangunan yang sama namun disebut dengan istilah yang berbeda seperti: humah sphaṭika (Sut. 68.4.4), sphaṭikagṛha (Sut. 72.2.1, Sut. 79.2.3, Sut. 79.6.3) dan gṛhârâtna (Sut. 80.5.2). Dari hal tersebut, ratnamaṇḍapa dalam kakawin Ramayana kiranya juga dapat disebut dengan sphaṭikamaṇḍapa.
Secara umum gambar pada dinding dengan kotak-kotak kecil seperti bujur sangkar yang ada pada gambar relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb, ternyata mengingatkan pada bahan bangunan pada saat ini yang disebut dengan glass block. Menurut Celia Sandjaja (Solopos.com, 17 May 2021 16:28:48 WIB), glass block atau disebut juga dengan blok kaca merupakan material yang terbuat dari kaca tebal, tapi tampilannya tidak tembus pandang sehingga berbeda ketimbang kaca biasa. Terdiri dari berbagai macam variasi ukuran, warna, bentuk, ataupun tekstur. Glass block dikembangkan dari prinsip pencahayaan prisma yang ada sejak tahun 1900-an dan saat itu dipakai di lingkungan pabrik untuk menambah pencahayaan.
Gambar 9.
Contoh bangunan modern saat ini yang menggunakan glass block.

Sumber:
https://www.archify.com/id/archifynow/kembali-digemari-ini-dia-8-keunggulan-dari-glass-block
Ada kemiripan bentuk dari pelukisan kotak-kotak kecil pada relief bangunan D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb Prambanan dengan bentuk glass block yang telah terpasang. Di mana mereka sama-sama tersusun utuh dalam bentuk kotak. Karena itu mungkinkah teknologi pengolahan sphaṭika Jawa Kuno pada masa lalu yaitu sekitar tahun 850 sebagaimana tahun pendirian Candi Prambanan, mampu menghadirkan sebuah bahan bangunan yang bentuk dan fungsinya setara dengan glass block yang baru ada sekitar tahun 1900-an?
Untuk menjawabnya, dapat dipastikan tentu memerlukan sebuah penelitian panjang mengenai hal itu. Namun demikian kristal sesungguhnya juga dapat saja dibentuk di pabrik atau dengan metode yang lain oleh kegiatan manusia (secara antropogenik), namun kristal-kristal tersebut bukan merupakan mineral. Sebagai contoh adalah batu/mineral aspal, seperti rughby, intan, safir, jasper, batugiok dan lain-lain yang dibuat di pabrik, (Sri Mulyaningsih, 2018: 30).
Dengan ditemukannya lingga kristal di candi Sukuh, menunjukkan bila industri Jawa Kuno pada masa lalu tentu juga mampu menghadirkan kristal yang diinginkan. Termasuk kristal ala kotak-kotak kecil seperti bujur sangkar sebagaimana yang dilukiskan di relief rumah di candi Prambanan. Hal ini karena tradisi Jawa Kuno memiliki kosa kata seperti sphaṭikalingga ‘lingga kristal’ (BK 2.2), sphaṭikaratha ‘kereta kristal’ (AW23.5), sphaṭikarārca ‘arca kristal’ (SD 12.1), dan sphaṭikumbha (sphaṭikakumbha) ‘periuk kristal’ (RPWj 12.4). Kosa kata tersebut menunjukkan adanya kemampuan teknologi masa lalu untuk menghadirkannya, terbukti dengan ditemukannya sphaṭikalingga di candi Sukuh.
Ada kemiripan bentuk dan cara penyusunan antara sphaṭika dengan glass block, menunjukkan jika penggunaan sphaṭika Jawa Kuno sebagai dinding rumah atau bangunan, memiliki dasar yang kuat. Fungsi dan penggunaannya pada masa lalu yaitu sekitar tahun 850, kemungkinan besar sebagaimana penggunaan glass block yang baru hadir sekitar tahun 1900-an. Sebuah lompatan besar ilmu pengetahuan ala Jawa Kuno tentunya, namun sayangnya terabaikan dan tidak dikenal lagi oleh pemiliknya hingga saat ini.
Pada umah mās, mengingat bentuk dan cara penyusunannya sama dengan sphaṭika, maka sangat dimungkinkan bila emas yang digunakan juga dibentuk dan dipasang sebagaimana memasang sphaṭika.
8. Perbandingan Dengan Bangunan Di Relief Borobudur
Pada dasarnya, gambar dinding yang terdiri dari susunan kotak-kotak kecil sebagaimana yang terdapat di relief Prambanan yang dapat diidentifikasi sebagai sphaṭika dan mās, terdapat juga pada relief Borobudur. Hanya saja bentuknya seperti belah ketupat seperti salah satu bentuk gambar relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb relief candi Prambanan, pada lantai 2. Misalnya saja gambar sebagai berikut.
Gambar 10.
Gambar bangunan di relief candi Borobudur.

Sumber:
033-A-King-beseiges-a-City-Thumb
https://www.photodharma.net/Indonesia/06-Avadana-Stories/06-Avadana-Stories.htm
Deskripsi gambar:
Pertama. Bangunan yang memiliki dinding dari susunan kotak-kotak kecil berbentuk belah ketupat, tampak seperti meru yang tersusun dalam 2 tingkat. Kedua. Pada tingkat kedua, bubungan atap sedikit banyak menyerupai atap khas rumah Minangkabau. Ketiga. Bangunan ini terletak sebelum bangunan utama yang terbuat dari batu kali atau batu bata. Kemungkinan besar bangunan ini bersifat sebagai tempat sementara untuk menunggu menuju bangunan utama. Mungkinkah bangunan ini merupakan rangkang sphaṭika sebagaimana yang digambarkan dalam Sutasoma?
Gambar 11.
Gambar bangunan serupa candi di relief candi Borobudur.

Sumber:
082-The-Rain-of-Diamonds-Original
https://www.photodharma.net/Indonesia/06-Avadana-Stories/06-Avadana-Stories.htm
Deskripsi gambar:
Pertama. Bangunan yang memiliki dinding dari susunan kotak-kotak kecil berbentuk belah ketupat, tampak seperti candi-candi Shiwa di Jawa yang umumnya cenderung lebih ramping. Karena itu, ia memang dimungkinkan menjadi gambaran untuk sebuah candi. Hanya saja kelihatannya candi ini bukan candi besar dan tinggi ditandai dengan ‘meru’ yang hanya bertingkat tiga. Kedua. Di kedua sisi bangunan, terdapat lonceng cukup besar atau genta yang kemungkinan besar bagian untuk prosesi upacara keagamaan. Sebuah gambaran yang tidak ditemukan pada peninggalan candi-candi Shiwa pada saat ini. Ketiga. Dan bila melihat gambar secara keseluruhan di mana candi itu berdampingan dengan lukisan bangsawan yang tengah dihadap di sebuah witana, candi tersebut dimungkinkan milik keluarga bangsawan sebagai bentuk ketaatan mereka. Atau mungkinkah pula, gambar candi itu merujuk pada bentuk yang dapat disebut sebagai sphaṭikeyang?
Gambar 12.
Gambar sebuah bangunan di relief candi Borobudur.

Sumber:
Lalitavistara-Original-00110
https://www.photodharma.net/Indonesia/05-Lalitavistara/05-Lalitavistara.htm
Deskripsi gambar:
Pertama. Bangunan dalam relief Borobudur ini sangat unik, karena ia memiliki kubah. Menurut KBBI, kubah adalah atap yang melengkung merupakan setengah bulatan (kupel). Kedua. Bangunan ini tampak hanya memiliki satu lantai dengan ditandai adanya kubah tersebut. Kubah seperti ingin menunjukkan bangunan demikian tinggi, jika dilihat strukturnya dari dalam atau luar bangunan. Ketiga. Bangunan di atas garis batas bangunan utama yang sejajar dengan bagian bawah kubah teras tidak menunjukkan sebagai lantai kedua, namun hanya kelanjutan bangunan di bawahnya. Keempat. Dinding bangunan sebagian terdiri dari susunan kotak-kotak kecil berbentuk belah ketupat. Kelima. Bangunan ini tampak seperti bangunan yang dihuni sebagaimana penggambaran ‘rumah’ di relief Borobudur lainnya, sekalipun dengan bahan dan penggambaran yang lebih mewah dan megah. Ciri khas bangunan tempat tinggal pada relief Borobudur adalah adanya teras di depan bangunan utama.
Contoh bangunan lain yang memiliki ciri khas tempat tinggal di relief Borobudur namun tidak terdiri dari susunan kotak-kotak kecil berbentuk belah ketupat, misalnya terdapat dalam gambar bangunan pada relief Borobudur: Lalitavistara-Original-00053 dan Lalitavistara-Original-00151. Kedua gambar tersebut adalah sebagai berikut.
Gambar 13.
Gambar bangunan rumah di relief candi Borobudur.

Sumber:
Lalitavistara-Original-00053
https://www.photodharma.net/Indonesia/05-Lalitavistara/05-Lalitavistara.htm
Deskripsi gambar:
Bangunan ini diidentifikasi sebagai rumah masyarakat biasa. Ciri khasnya adanya teras di depan bangunan utama. Identifikasi sebagai rumah orang biasa dicatat setelah dilakukan perbandingan informasi dengan Sejarah Dinasti Song dan Yingya Shenglan. [24]
Gambar 14.
Gambar bangunan rumah pendeta di relief Borobudur.

Sumber:
Lalitavistara-Original-00151
https://www.photodharma.net/Indonesia/05-Lalitavistara/05-Lalitavistara.htm
Deskripsi gambar:
Bangunan ini kemungkinan besar merujuk pada bangunan rumah pendeta. Hal ini karena di bawah teras tampak duduk pendeta, sekalipun janggutnya tampak sebagian kecil saja karena telah rusak. Secara umum, tokoh yang yang duduk tersebut dapat diidentifikasi sebagai pendeta berdasar cirinya, yaitu adanya kumis, rambut, dan janggut sampai ke dada. Hal ini sesuai dengan penjelasan sebagai berikut. Kahadang Sang Dwija/ uwusira umuja/ suteja agunga alengis/ aguguntingan/ sipat akung alilit// Acreng asekar kinalpika sapasang/ ateb ikang rarawis/ ahireng angimbal/ janggut inganing dana/. ‘Ketika itu Sang Pendeta selesai memuja, bersinar indah agung halus, bercukur, sifat laki-laki menarik hati. Gagah memakai sepasang kalung bunga, kumisnya lebat, rambutnya hitam, janggut sampai ke dada’, (I Made Suastika, 1997:225).
Jika dibandingkan gambar 12, 13, dan 14, maka tampak gambar 12 yaitu gambar bangunan pada relief Borobudur: Lalitavistara-Original-00110, terlihat lebih megah dan mewah dengan adanya penggambaran dinding seperti sphaṭika atau mās sementara itu yang lainnya digambarkan polos. Dimungkinkan bangunan pada gambar yang tidak polos tersebut, merupakan salah satu bangunan istana. Hal ini karena menurut Prapañca dalam Nāg. 9.4.3-4, struktur bangunan besar dan tinggi merupakan salah satu ciri bangunan istana, lebih tepat merujuk pada deskripsi bangunan ini.
Tidak semua bangunan megah dalam relief Borobudur memiliki penggambaran dinding yang terdiri dari susunan kotak-kotak kecil sebagaimana juga penggambaran di relief candi Prambanan. Bangunan dari batu kali atau bata pada masa lalu di relief Borobudur dilukiskan tanpa terlihat susunannya. Misalnya saja gambar bangunan yang sangat artistik sebagai berikut.
Gambar 15.
Gambar ‘Gedung Perjamuan Makan’ dengan desain artistik atap bangunan di relief candi Borobudur. [25]

Sumber:
015-A-Banquet-Original
https://www.photodharma.net/Indonesia/03-Jataka-Level-1-Bottom/03-Jataka-Level-1-Bottom.htm
Deskripsi gambar:
Pertama. Bangunan ini menyiratkan sebuah bangunan satu lantai namun sangat tinggi. Hal ini karena tiang bangunan sekalipun memiliki garis batas antar tiang, lebih menunjukkan kelanjutan gambar tiang sebelumnya. Kedua. Tidak ada penggambaran ‘ruangan di lantai kedua’ pada penggambaran selepas garis batas antar tiang yang ada. Ketiga. Berdasar catatan Prapañca dalam Nāg. 9.4.3-4, yaitu struktur bangunan besar dan tinggi adalah salah satu ciri bangunan istana, maka dimungkinkan bangunan ini juga merupakan salah satu bangunan istana.
Dari hal tersebut maka dapat dikatakan bila penggambaran bangunan pada relief Borobudur yang berbasis kotak mirip belah ketupat, seperti memiliki tujuan tertentu dibalik penggambaran yang dilakukan. Ada makna yang ingin disampaikan oleh para ahli bangunan pada masa itu kepada mereka yang melihat karyanya.
Terkait penggambaran kotak-kotak kecil seperti belah ketupat pada dinding bangunan sebagaimana yang dilukiskan di relief candi Borobudur, sangat dimungkinkan bila ia lebih merupakan penggambaran dari sphaṭika daripada mās. Hal ini karena penggambaran bangunan tersebut lebih mirip ratnamaṇḍapa daripada humah mās. Salah satu ciri utamanya adalah tiangnya tidak digambar terdiri dari susunan kotak kecil sebagaimana humah mās. Karena itu sangat dimungkinkan jika makna bangunan pada relief yang digambar kotak-kotak kecil seperti belah ketupat pada relief candi Borobudur tidak lain adalah sphaṭika sebagaimana penggambaran ratna dalam ratnamaṇḍapa di relief candi Prambanan.
Dari hal tersebut, maka dengan sedikit lebih aman pula jika gambar bangunan yang bermotif kotak-kotak kecil seperti belah ketupat di gambar relief 033-A-King-beseiges-a-City-Thumb candi Borobudur, dapat diidentifikasi sebagai rangkang sphaṭika. Sementara itu gambar bangunan yang bermotif kotak-kotak kecil seperti belah ketupat di gambar relief 082-The-Rain-of-Diamonds-Original candi Borobudur, dapat diidentifikasi sebagai sphaṭikeyang.
Kesimpulan
Bangunan di Majapahit yang menggunakan bahan sphaṭika secara umum ada dua. Sphaṭikeyang dan sphaṭikagṛha. Bentuk sphaṭikeyang pada saat ini telah hilang karena sphaṭikeyang yang disebut Nāgarakṛtāgama tidak terlihat lagi bentuk peninggalannya. Namun demikian gambarannya kurang lebih dapat diidentifikasi seperti gambar bangunan yang bermotif kotak-kotak kecil seperti belah ketupat di gambar relief 082-The-Rain-of-Diamonds-Original candi Borobudur.
Sementara itu humah sphaṭika sekalipun tidak dicatat secara tersurat di Nāgarakṛtāgama, namun secara tersirat juga terdapat di Majapahit. Humah sphaṭika ini secara puitis disebut Prapañca sebagai gṛhâdhika yaitu sebuah penyebutan perumahan bagi keluarga kerajaan. Identifikasi humah sphaṭika sebagai gṛhâdhika didasarkan pada adanya kesamaan informasi gambar-gambar kehidupan kontemporer antara Nāgarakṛtāgama dan Arjunawijaya sebagaimana pendapat S. Supomo.
Gṛhâdhika yang tidak lain merupakan humah sphaṭika ternyata dapat diidentifikasi sebagai gambar bangunan sesuai relief D-16-City-Folk-gather-round-Rama-and-Sita-Thumb candi Prambanan, namun dengan struktur detail desain sebagaimana gambar relief D-15-Rama-and-Sita-return-to-Ayodhya-Thumb pada candi Prambanan.*
Catatan
1 Teks Nāgarakṛtāgama didasarkan pada teks Nāgarakṛtāgama Edisi Pigeaud, namun penulisan hurufnya disesuaikan dengan penulisan di Kamus Jawa Kuna Zoetmulder.
2 Pigeaud menterjemahkan dengan: Not must stay behind the sphaṭikeyangs (Divinity’s crystals): Jaya Manalu, Haribhawana, Candi Wungkal, Pigit; Nyu Denta, Katuda, Srangan, Kapuyuran, Jaya Muka, Kulanandana, Kanigara; Rěmbut and Wuluhěn, also Kinawöng and Sukawijaya and Kajaha too, Campěn and Rati-Mānmathashrama, Kulang-Kaling, Batu Putih, that now is an addition.
3 Pigeaud menterjemahkan kuti balay dengan rumah pendeta dengan pavilion), parhyangan sebagai tempat keramat, prasada haji sebagai menara candi kerajaan, dan sphaṭikeyang sebagai Kristal Ketuhanan.
4 Kelompok keempat, sphatikeyang Shiwaitic, tampaknya terdiri dari semacam domain ‘wilayah’ dengan tempat-tempat suci yang pada zaman Majapahit adalah dianggap biasa, tidak kuno atau milik orang-orang yang dalam hal apa pun di luar batas umum Jawa Timur abad ke-14 Shiwaisme. Selain hubungan kata sphaṭika dengan Shiwaitic konsepsi ithyphallic nama bale spaṭika untuk yang paling penting bagian (tempat sisa-sisa manusia) di bade Bali (menara seperti alat angkut orang mati dari kuburan duniawi sementara mereka ke tempat kremasi) harus disebutkan (lihat i.a. Wirz, Totenkult auf Bali, 1928, hal. 40).
5 Sphaṭika, kristal, dalam bahasa Jawa Kuno Paṣṭika, muṣṭika, dihubungkan dengan Parameshwara-Shiwa dalam kisah Korawāshrama (edisi Swellengrebel, hal. 44) tentang pencarian Wishnu dan Brahma untuk kaki dan kepala pilar kristal, paku Jawa (pakuning Yawadwīpa)
6 Penjelasan Supomo ini seperti dapat meluruskan pendapat Zoetmulder di mana ia mengatakan:’kita akan merasa kecewa andaikata kita mengharapkan agar dalam syair Tantular ini kita temukan suatu pencerminan mengenai kehidupan di keraton Majapahit’, (Zoetmulder, 1983:435).
7 Even more beautiful and beyond compare was the arrangement of the palace; the interior was most imposing, because of the radiantly sparkling crystal-pavilions; some of them, which were [as bright] as if it was continually daytime, S. Supomo 1971:368.
8 Lihat https://www.nusantarareview.com/lokasi-istana-majapahit-berlapis-emas.html.
9 Terkait teks Sutasoma, ada dua teks saat ini yang dengan mudah dapat diakses. Yaitu teks Sutasoma karya Soewito Santoso (1968) dan Dwi Woro R. Mastuti dan Hastho Bramantyo (2009). Pada penelitian ini seluruh teks yang dihadirkan bersumber pada karya Soewito Santoso (1968).
10 Soewito Santoso menterjemahkan sebagai berikut.
The golden hall, to the east was like that of Îçwara, very excellent indeed.
That to the south side was like the abode of Dhâtra, continually flaming and gleaming.
And to the west side was the abode of Mahâmara, so the onlooker would think,
and the hall to the north side was like the abode of Madhusudhana, reserved by him for the heroes in battle.
11 Soewito Santoso menterjemahkan: In the centre was a great building of pure crystal which might not be imitated even in the abode of the gods.
12 Soewito Santoso: In the centre was a great building of pure crystal which might not be imitated even in the abode of the gods.
13 Soewito Santoso: The roof was mad of all kinds of opals and the ridgepoles were studded all over with nine sorts of jewels. Dalam kamu Zoetmulder, hatěp merupakan merupakan bahasa Jawa Kuno yang berarti atap atau penutup, (Zoetmulder: 1995:343) dan wuwung merupakan merupakan bahasa Jawa Kuno yang berarti bubungan (dari atap), (Zoetmulder: 1995:1477). Bubungan merupakan penutup sisi antara pertemuan dua bidang atap pada puncak atap. Bubungan juga sering juga disebut sebagai nok yang umumnya menentukan arah bangunan. Bubungan biasanya memiliki posisi memanjang dan seusai dengan panjang rangka atap yang akan dibangun, (http://www.home.co.id/read/5269/hal-hal-ini-yang-menyebabkan-bubungan-atap-rumah-retak). Bubungan, ialah sisi atap yang teratas dan selalu dalam kedudukan mendatar. Sering kali bubungan atap juga menentukan arah (Konstruksi Atap Pengertian, fungsi dan komponen konstruksi atap, http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND.TEKNIK_SIPIL/196012241991011-NANDAN_SUPRIATNA/KB_D-3/ATAP_1.pdf).
14 Soewito Santoso menterjemahkannya dengan: and in the crystal hall was set a splendid bridal chamber fragrant with the smell of musk. Gleaming were the rays of the fluttering beautiful draperies a round [the hall] like flaming fire.
15 Soewito Santoso menterjemahkannya dengan: This was why he had ordered the hall of crystal to be decorated at once and adorned with all kinds of fine ornaments.
16 Soewito Santoso menterjemahkannya dengan: The princess was in a beautiful glass pavilion overwheImed with grief and distress ‘Sang putri berada di paviliun kaca yang indah diliputi kesedihan dan kesusahan’. Rangkang sphaṭikârjja diartikan sebagai beautiful glass pavilion.
17 Teks Arjunawiwāha yang digunakan mengacu pada teks Arjunawiwāha karya I. Kuntara Wiryamartana (1990).
18 I. Kuntara Wiryamartana menerjemahkan rangkang sphaṭika dengan sanggar mestika. Lihat I. Kuntara Wiryamartana, 1990:152.
19 I. Kuntara Wiyamartana menerjemahkan sphaṭikagṛha dengan sanggar mestika. Lihat I. Kuntara Wiryamartana, 1990:152.
20 I. Kuntara Wiyamartana menerjemahkan sphaṭikagṛha dengan sanggar mestika. Lihat I. Kuntara Wiryamartana, 1990:152.
21 Lihat photodharma.net, The Prambanan Plain.
22 Then the king withdrew to the inner quarters, followed by the guests, Wibhisana and the king of the monkeys. The guests were requested to stay and sleep in the jewelled pavilion with fabulous beds.
23 Thereupon full of delight Rama entered the golden pavilion. Everything was ready and perfect, not to mention the queen, the beautiful Sita. They went to the bedroom with the prepared and perfumed bed, standing lamp, curtains and jewelled hooks.
24 Lihat https://www.nusantarareview.com/omahipun-simbah.html.
25 Foto ini diambil dari salah satu sisi kanan foto yang ada. Photodharma.net memberi keterangan secara keseluruhan akan foto ini, sebagai A Banquet. In the centre of this panel is what appears to be a large dish with rice, fish and other dishes on it. One group of six people are sat on the left, with one other member standing. Another group of four people is on right. On the far right we see. ‘Di tengah panel ini adalah apa yang tampak seperti piring besar dengan nasi, ikan, dan hidangan lainnya di atasnya. Satu kelompok yang terdiri dari enam orang duduk di sebelah kiri, dengan satu anggota lainnya berdiri. Kelompok lain yang terdiri dari empat orang ada di sebelah kanan. Di paling kanan kita melihat’.
Pustaka
Irawan Djoko Nugroho Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
__ Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Perdagangan Dunia. Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta, 2011.
__ Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit, Jakarta: 2022.
Kern, H “De Nagarakrtagama. Oudjavaansche Lofdicht op Koning Hayam Wuruk van Majapahit”. VG VII: 249-320; VG VIII: 1-132, 1917.
__ Verspreide Geschriften. ‘s-Gravenhage, 1917-1922.
Krom, N.J. Oud-Javaansche Lofdicht Nagarakrtagama van Prapanca (1365 A.D). Meet Aantekeningen van N.J. Krom. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1919.
Kuntara Wiryamartono, I Arjunawiwaha Transformasi Teks Jawa Kuno Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990.
Made Suastika, I Calon Arang dalam Tradisi Bali, Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1997.
Muhammad Yamin Tatanegara Majapahit. Sapta Parwa. Vol. I-III. Jakarta: Yayasan Prapanca, 1962.
Pigeaud, Th.G.Th Java in the 14th Century, A Study in Cultural History I-III. The Hague, 1960.
___ Java in the 14th Century, A Study in Cultural History IV. The Hague, 1962.
___ Java in the 14th Century, A Study in Cultural History V. The Hague, 1963.
Robson, S.O Desawarnana (Nāgarakŗtāgama), KITLV, Leiden, 1995.
S. Supomo Arjunawijaya a kakawin of mpu Tantular, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University, Canberra 1971.
Soewito Santoso Boddhakawya – Sutasoma a Study in Javanese Wajrayana Text – Translation – Commentary, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University, 1968.
___ Indonesian Rāmāyaṇa (Ramayana Kakawin), New Delhi: Mrs. Sharada Rani, Hauzkhas Enclave, 1980.
Sri Mulyaningsih Kristalografi & Mineralogi Edisi 1, Yogyakarta: Akprind Press, 2018.
Teeuw, A & S.O Robson Kunjarakarna Dharmakathana: Liberation Throught the Law of the Buddha. An Old Javanese Poem by Mpu Dusun. The Hague: Martinus Nijhoff.
Teeuw, A & E.M Uhlenbeck “Over de Interpretatie van de Nagarakrtagama”. BKI 114: 210-234, 1958.
Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985.
___ Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto – Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Sumber website
https://www.archify.com/id/archifynow/kembali-digemari-ini-dia-8-keunggulan-dari-glass-block
https://himalayaabadi.com/id/sejarah-kaca-pada-arsitektur/
https://kbbi.kemdikbud.go.id/
https://www.photodharma.net/Indonesia
https://www.solopos.com/mengenal-glass-block-material-penerang-ruangan-dan-penjaga-privasi-1125744
https://www.merdeka.com/gaya/jenis-batu-kristal-paling-populer-kln.html
https://www.facebook.com/Nurkesawa/photos/pcb.348335119120828/348335089120831/?type=3&theater
https://www.cryptoanthropologist.com/2016/05/crystal-shiva-linga-candi-sukuh-central-java.html
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2016/05/14/crystal-shiva-linga-found-among-artifacts-at-candi-sukuh-central-java/
https://www.youtube.com/watch?v=teyJSEJp7kA (Pose des pavés de verre au Familistère de Guise).
Disosialisasikan kembali dari media CoreNews.id.