Umumnya, ragam hiasan kepala dalam relief candi adalah tiara atau juga mahkota. Namun untuk beberapa candi yang di berada di Jawa Timur, topi sering digunakan. Topi disebut dengan istilah tekes dalam Jawa Kuno.

Topi adalah sebentuk tutup kepala kontemporer yang muncul sebagai mode baru. Semula topi digunakan untuk penggambaran rakyat jelata dan pelayan raja atau dewa, seperti yang terlihat dalam candi Jago. Namun topi kemudian semakin banyak digunakan sebagai tutup kepala dalam penggambaran kaum mulia, baik prajurit berstatus mulia atau, dalam jumlah yang jauh lebih besar, pemuda bangsawan dan pangeran. Status topi terus meningkat hingga mencapai puncaknya dalam arca dalam candi Selokelir, yang mempresentasikan tokoh setengah-manusia setengah-dewa, (Lydia Kieven, 2014: 384).

Bentuk Topi

Menurut Lydia Kieven pula, jenis topi yang digambarkan dalam relief di terdiri dari 6 bentuk. Pertama, topi berbentuk bulan separuh. Kedua, topi besar. Ketiga, topi bertepi. Keempat, topi kecil. Kelima, topi besar bertepi. Keenam, topi jenis tertentu dengan pita dibawah tepi, (Lydia Kieven, 2014: 145-158).

Topi-topi itu digambarkan di dalam Candi Jawi, Candi Jago, Candi Panataran, Candi Jabung, Candi Surowono, Candi Gajah Mungkur, Candi Wayang, Candi Tigowangi, Candi Rimbi, Candi Menak Jinggo, Candi Mirigambar, Candi Gambar Wetan, Candi Selokelir, Candi Kendalisodo, Candi Sukuh, Candi Yudha, Candi Planggatan dan Candi Selotumpuk. Selain di gambarkan di relief candi, penggunaan topi juga dapat dilihat pada arca yang ada di museum dalam negeri atau luar negeri. Seperti misalnya Museum Nasional Jakarta, Museum Majapahit Trowulan, Museum Mpu Tantular Surabaya, dan Rijksmuseum Amsterdam.

Aplikasi Penggunaan Topi

Sangat menarik, sekalipun fungsi penggunaan topi belum dijelaskan secara tegas oleh Lydia Kieven apakah sebagai reprensentasi mode jamannya Majapahit kala itu atau tidak. Demikian pula bahan dan warna seperti apa yang digunakan dalam membuat topi tersebut. Namun demikian, Lydia Kieven dicatat mengetengahkan informasi terkait dikenakannya topi di dalam Nagarakrtagama, (Nag. 91.4.c-91.5b). Topi itu dicatat dikenakan oleh Raja Hayam Wuruk disaat ia diminta menari, (Lydia Kieven, 2014: 70).

Adanya penggunaan topi dalam era Majapahit tersebut, tentu sangat menarik jika dapat ditampilkan dalam film-film terkait Majapahit. Sebab selama ini terlihat ada kesenjangan antara film dengan latarnya. Latar Majapahit dalam film-film terkait Majapahit sangat kurang. Adanya kajian informasi topi, kiranya dapat menjadi masukan yang membantu merekontruksi sejarah kebudayaan Indonesia khususnya Majapahit.

Atau pun informasi terkait topi dapat juga menjadi tambahan mode baru yang berguna bagi perkembangan mode busana saat ini. Topi atau tekes, kiranya dapat menjadi trend baru jika mampu dielaborasi dengan busana modern saat ini. Dengan pilihan warna dan bahan yang menunjang, tekes akan dapat menjadi sebuah ladang bisnis baru bagi UMKM nasional. Aktualisasi tekes dimungkinkan dapat menjadi bagian dari kajian sejarah, yang mampu menggerakkan sektor riil negara.

 

Sumber

  1. Lydia Kieven, Menelusuri Figur Bertopi Dalam Relief Candi Zaman Majapahit, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia: 2014.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*