Prasasti adalah sebuah ketetapan negara yang biasanya berisi penetapan sebuah sīma. Sīma adalah sebuah desa yang telah diubah statusnya menjadi wilayah bebas yang istimewa atau sebuah pĕrdikan. Di era Mataram, terdapat juga sebuah ketetapan negara yang berisi tentang penetapan sebuah pĕrdikan. Dalam era Mataram, ketetapan itu disebut piyagĕm.

Inti piagĕm perdikan umumnya ditekankan pada dua hal, yaitu kemerdekaan untuk memerintah di wilayah yang dinugerahkan (lihat piyagĕm Abu Mansur) dan kewajiban membayar pajak (lihat misalnya piyagĕm Pamĕnang). Namun demikian kadang-kadang ada kewajiban lain, misalnya memelihara makam seperti yang disebut dalam piyagĕm Pamĕnang, (Machi Suhadi, 1993: 289).

Beda Isi Prasasti dengan Piagĕm

Sekalipun prasasti dan piyagĕm merupakan sebuah ketetapan negara yang berisi tentang penetapan sebuah pĕrdikan, namun antara prasasti dengan piyagĕm secara umum memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.

  1. Aturan di dalam desa perdikan tidak banyak lagi sebagaimana yang berlaku dalam daerah sīma.
  2. Masalah pengurangan pajak usaha atau pembagian hasil pajak sudah tidak disebutkan lagi.
  3. Nama-nama para pegawai kerajaan atau para pejabat yang dahulu tidak boleh memasuki atu mencampuri urusan sīma, di dalam desa pĕrdikan juga sudah tidak disebut lagi.
  4. Masa laku daerah pĕrdikan pun tidak lagi disebutkan di semua piyagĕm yang dikeluarkan, (Machi Suhadi, 1993: 289-290).
  5. Jika dahulu daerah pĕrdikan diberikan kepada rakyatnya sendiri, namun semenjak Pangeran Puger, daerah pĕrdikan juga diberikan kepada pihak asing (Kumpeni) seperti yang tercantum dalam Piyagĕm Puger (TBG, XVII, 1868, p. 352).

Contoh Piyagĕm

  1. Piyagĕm Ki Mukarab (1629)

Piyagĕm Ki Mukarab (1629) adalah piyagĕm ini menyebut anugerah Sultan Agung kepada ki Mukarab pada tahun 1629 M karena jasanya dalam membela perjuangan Sultan Agung (lihat TBG.XIII 1869: 492). Dalam penyerangan tentara Mataram terhadap benteng VOC di Batavia pada tahun 1629 M, Ki Mukarab membela seorang perwira Mataram bernama Kyai Ngabehi Wira Mĕnggala sehingga tangan kirinya cacat terkena tembakan bedil (senapan). Ki Mukarab adalah seorang penduduk desa Cikĕruh, distrik Wanakĕrta, wilayah Limbangan, karesidenan Priangan. Kemudian Sultan Agung memberikan tanah pĕrdikan Cikĕruh untuk Ki Mukarab yang berlaku hingga ke anak keturunannya.

Teks dan terjemahan piagam ki Mukarab, sebagai berikut.

Peling piyagĕm manira Wargayasa kang lampahi timbalane Kyai Ngabehi Wira Manggala, Asta Naya, Asta Kusumah, kalayan kersa Kanjĕng Susunnan Mataram kagaḍuh dening Ki Mukarab, hing dukuh Cikĕruh, milane ginaḍuhan piyagĕm. Ki Mukarab mbelani Kyai Ngabehi Wira Manggala datĕng Jakĕrta, tatu tangane Ki Mukarab saking kiwa kĕna bĕḍil, angalingi Kyai Wira Manggala, matiya gawe dalĕm, hing mangke pĕrdikakakĕn Ki Mukarab, timballan tĕtĕngĕr mĕrdikane tĕka anak putune lan turunanne, katut irengane hing Cikĕruh ana anakang nyukĕrta, aja ana kang nyisiku, di aja ana kang ewuh ngewuh, sing sapa kang ewuh pangandika Kanjĕng Susunan Mataram sun tĕdakakĕn maring Allah, maring Rasulullah, maring Walih Sasanga, maring Susunan Gunung Jati, kang ginunggung hing pajaratan hing nagari Cĕrbon, mugya dadi galagah hing nĕgarane. Mustajab pangandikane Jĕng Susunan Mataram mugya sa ungal-ungale piyagĕm kang anĕkseni  Ki Kĕtib Anom, Ki Asta Pati, Ki Asta Wangsa, kala nulishing dinten Kemis tanggal ping sapuluh, sasi Muharam tahun Wau …. titi ….”

‘Peringatan, piagam (dari) saya Wargayasa yang menjalankan perintah Kyai Wira Manggala, Asta Naya, Asta Kusumah, serta kehendak Kanjĕng Susunnan Mataram, diberikan kepada Ki Mukarab di dukuh Cikĕruh. Sebabnya, Ki Mukarab membela Kyai Ngabehi Wira Manggala ke Jakarta, luka tangan Ki Mukarab sebelah kiri terkena bedil (karena) melindungi Kyai Wira Manggala, yang sedia mati menjalankan pekerjaan raja. Karena itu sekarang dibebaskanlah Ki Mukarab; perintah kebebasan (pĕrdikan) itu berlaku hingga anak cucunya serta keturunannya (di) wilayah Cikĕruh. Jika ada yang menggugat, jangan ada yang menghindari saya, jangan ada yang membuat kekacauan; barang siapa yang mengacau perintah Kanjeng Susunan Mataram, saya mohonkan kepada Allah, kepada Rasulullah, kepada Wali Sanga, kepada Sunan Gunung Jati yang bermukim di makam di negeri Cirĕbon, supaya negerinya menjadi gĕlagah (padang ilalang). Benar dan manjur ucapan Kanjĕng Susunan Mataram, moga-moga (menjadi demikianlah) semua isi piagam, Yang menyaksikan ialah Ki Kĕtib Anom, Ki Asta Pati, dan Ki Asta Wangsa. Saat menulisnya pada hari Kamis tanggal sepuluh bukan Muharam tahun Wawu  …..  selesai ……, (Machi Suhadi, 1993: 279-281)

  1. Piagam Sukakerta (1632 M)

Penget kang surat pihagem saking ngisun Sultan Mataram, kagaduh denning Si Wanda wadana Sukakarta kang saca marang ngisun, lahir ring surat pihagem Si Wanda sun pradikakaken sarta wewengkane Mandala, Cipinaha, Bojong Oron, hiku kang kawerat denning Si Wanda hiku hajana kang nganisiku disa karepe hangulon watas Banten ngalor hing Carebon pitung pajennengngan haja temmu marang ngisun // Hana dene tingkahhe Si Wanda milu nganglakonni gaweng lurug maring Hukur hiku sun sedahhi Prayanggan kalih welas sarta sun jennengngaken mantra hana denne patut si Wanda hiku kakangnge Wirawangsa kang jenneng Tamegung Wiradadaha // Nata Prayangngan wadana kalih welas // Titi hing surat pihagem kala nurat dinna Senen tanggal ping sanga sasi Muharam tahun Jim Khakir”.

“Peringatan, adapun surat piagam dari saya Sultan Mataram diberikan kepada Si Wanda wedana Sukakarta yang setia kepada saya. Isi surat piagam, Si Wanda saya bebaskan dengan wilayahnya: Mandala, Cipinaha (dan) Bojong Oron. Itulah yang dipikul oleh Si Wanda, itu supaya jangan ada yang mengganggu. Adapun luas desa itu, ke barat berbatas Banten, ke utara sampai Cirebon. (Hadiah ini) berlaku sampai tujuh turunan jadi tidak ketemu saya. Adapun perbuatan baik Si Wanda, (ia) ikut menjalankan tugas menyerang melawan Ukur. (karena) itu saya beri hadiah (daerah) Priangan 12 wilayah serta saya beri gelar mantra. Adalah memang pantas (karena) Si Wanda itu kakak dari Wirawangsa yang bergelar Tumenggung Wiradadaha // Raja Priangan (yang menguasai) 12 orang wedana // Selesai, surat piagam ditulis pada hari Senen tanggal 9 bulan Muharam tahun Jimakhir”), (Machi Suhadi, 1993: 281-282)

 

Acuan

  1. Machi Suhadi, Tanah Sima Dalam Masyarakat Majapahit, Disertasi, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 1993.

Sumber Gambar:

  1. https://baabun.com/kerajaan-mataram-islam/

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*