(Sebuah Tanggapan Atas Pendapat Sudibyo)

Menurut Anderson, kekuasaan adalah daya bersifat ketuhanan yang menghidupkan seluruh alam semesta (Anderson, 1986: 51). Dari hal tersebut, maka kekuasaan cenderung menjadi tidak terbagi dan absolut.

Menurut Sudibyo, dalam historiografi tradisional Indonesia, fenomena kekuasaan seperti itu telah lama menjadi kanon penulisan sejarah suatu dinasti. Hal ini dapat dilihat dalam Nagarakrtagama, Pararaton, Babad Tanah Jawi, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, dsb. Nagarakrtagama (Robson, 1995) dicatat melukiskan keagungan imperium Majapahit beserta daerah-daerah vasalnya dan sanjungan terhadap Sri Rajasanagara beserta leluhurnya, (Sudibyo: 2009: 128).

Pengagungan kekuasaan tersebut kemudian disertai dengan legitimasi geneologis yang biasanya menyatakan bahwa sang penguasa adalah sosok yang paling tepat sebagai pemegang kekuasaan karena ia trahing kusuma, rembesing madu, wijiling naratapa, tedhaking andana warih (keturunan bangsawan tinggi dan pertapa). Sehubungan dengan itu, ia tidak dapat dipertanyakan dan ucapannya mempunyai kekuatan mengikat, menekan secara moral dan etis karena sabda pandhita pangandikaning ratu sepisan tan kena wola wali (sabda pendeta, ucapan raja, hanya satu kali), sehingga barang siapa mencoba menentangnya akan dihancurkan dan ditiadakan dengan kekerasan, (Sudibyo: 2009: 128). 

Menjadi sebuah pertanyaan, benarkah demikian?  

Menyeragamkan Informasi Historiografi Tradisional

Pendapat Sudibyo tersebut kiranya tidak mendasarkan pada teks Nagarakrtagama secara langsung. Dalam Nagarakrtagama, dan juga Pararaton sebagai acuan yang ia ambil, raja memiliki hak yang terbatas.

Pada Nagarakrtagama, dicatat bagaimana seorang Raja Rajasanagara harus melakukan rapat tertutup dengan Pahöm Narendra sebelum memutuskan pengganti Gadjah Mada. Bagaimana kewajiban menyumbang perayaan Sraddha yang ditentukan pemerintah, besarnya dapat ditentukan oleh masing-masing kepala negara bagian.

Pada Pararaton, dicatat bagaimana pilihan wanita yang ditentukan Raja Rajasanagara dapat dibatalkan. Bagaimana perintah penyerbuan ke kuwu Raja Sunda dapat dilakukan oleh Bibi Raja dan bukan oleh raja sendiri. Kesemua itu menunjukkan bila kekuasaan cenderung menjadi tidak terbagi dan absolut tidak pernah terjadi di sejarah masa lalu.

Sudibyo kiranya menyamakan kekuasaan masa lalu pra Mataram dengan kekuasaan yang dilaksanakan Mataram. Di era Mataramlah konsep raja absolut ditemui. Dimulai era Panembahan Senapati konsep ini dilegalkan. Konsep dimana pemimpin adalah hukum. Konsep ini membawa Senopati sebagai penguasa yang wenang amisesa ing sanagari. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep sebelumnya baik saat sistem sistem nāgara dan kesultanan diterapkan. Kala itu raja tidak berhak memutuskan masalah tanpa melibatkan Dewan Wali atau Pahöm Narendra.

Perjalanan Sistem Pemerintahan Di Indonesia

Melihat kembali sejarah masa lalu khususnya di Jawa, tampak bila sistem pemerintahan yang diterapkan hingga saat ini mengacu pada 3 sistem.

Sistem Aristokrasi (Sistem ini berakhir era Kerajaan Pajang).

Menurut Plato, sistem aristokrasi adalah sistem pemerintahan yang dipegang sekelompok orang yang dapat mencerminkan rasa keadilan. Sedangkan menurut Aristoteles, aristokrasi adalah pemerintahan yang dipegang oleh sejumlah/beberapa orang terbaik (misalnya kaum cerdik pandai atau bangsawan), yang kekuasaannya ditujukan untuk kepentingan umum. Bentuk aristokrasi dapat merosot menjadi oligarkhi dan bentuk oligarkhi dapat melahirkan Plutokrani atau Plutokrasi, (Lihat, http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/bentuk-bentuk-pemerintahan-negara-dan.html#sthash.Cl59GABe.dpuf).

Ciri penerapan pemerintahan ini di era dan pra Kerajaan Pajang adalah adanya Pahöm Narendra, atau pemerintahan dipegang tidak hanya oleh seseorang semata.

Sistem Monarki (Sistem ini dimulai era Mataram masa Panembahan Senapati hingga era NKRI).

Menurut Aristoteles, monarkhi adalah pemerintahan yang dipegang oleh seorang (raja/kaisar) yang ditujukan untuk kepentingan umum. Bentuk monarkhi dapat merosot menjadi tyrani. Sedangkan menurut Plato, sistem monarki tidak disebut, namun yang ada adalah sistem tyrani. Sistem tyrani menurut Plato adalah pemerintahan yang dipimpin oleh seoarang yang jauh dari rasa keadilan. Menurut Aristoteles, tyrani adalah pemerintahan yang dipegang oleh seorang (raja/kaisar) yang kekuasaannya ditujukan untuk kepentingan sendiri. (Lihat, http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/bentuk-bentuk-pemerintahan-negara-dan.html#sthash.Cl59GABe.dpuf).

Ciri penerapan pemerintahan ini di era Mataram adalah dihilangkannya Pahöm Narendra atau dewan Wali dalam memutuskan sebuah perkara kenegaraan. Kekuasaan menjadi tersentral dan menyebabkan pemerintah wenang amisesa ing sanagari. Dalam pelaksanaannya, monarki yang diterapkan Mataram lebih cenderung bersifat Tyrani. Hal ini karena kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah ditujukan untuk kepentingan sendiri. Misalnya ditunjukkan dengan mengisolasi Mataram dari dunia luar dengan menerapkan sistem land base dari sebelumnya maritime base.

Berbeda dengan Jawa, sistem pemerintahan di Nusantara, secara umum tidak mengenal sistem Aristokrasi. Namun sistem pemerintahan monarki. Sistem pemerintahan monarki juga dilaksanakan di negara-negara lain di dunia.

Sistem Demokrasi (Sistem ini dimulai era Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Menurut Plato, demokrasi adalah pemerintahan yang dipegang oleh rakyat, sedangkan menurut Aristoteles, demokrasi adalah pemerintahan yang kekuasaan tertinggi negara dipegang oleh rakyat. (Lihat: http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/bentuk-bentuk-pemerintahan-negara-dan.html#sthash.Cl59GABe.dpuf).

Ciri umum penerapan sistem pemerintahan ini di era NKRI adalah adanya pemilihan umum dimana suara rakyat menentukan orang yang duduk dalam pemerintahan.

Menurut Aristoteles, dari ketiga sistem tersebut pemerintahan yang terbaik adalah sistem pemerintahan Aristokrasi. Sistem pemerintahan monarki hanya dicatat sebagai sistem pemerintahan yang baik. Sedangkan menurut pandangan Aristoteles lagi, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan pemerintahan yang jelek.

Aristoteles menganggap demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang merosot, karena berdasarkan pengalamannya sendiri, penguasa dinegara-negara kota yang demokratis dari zamannya adalah merupakan suatu pemerintahan yang terlalu korup, karena yang berkuasa adalah orang-orang miskin serakah dan kurang beradab. Mereka pertama-tama berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, sama sekali tidak memperhatikan kesejahteraan umum, (Soelistyati Ismail Gani, 1984: 35).

Sangat menarik ternyata, kita saat ini menerapkan sistem pemerintahan yang terburuk. Sedangkan leluhur kita masa lalu mengambil sistem yang terbaik.

Sumber:

  1. Anderson, Benedict R.O.G., “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan dalam Kebudayaan Jawa”. Dalam Miriam Budiardjo (ed.). Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan, 1986.
  2. Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010
  3. Soelistyawati Ismail Gani, Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
  4. Sudibyo, Dalam Bayang-Bayang Kolonialisme Filologi dan Studi Sastra, Yogyakarta, Unit Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2009.
  5. http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/bentuk-bentuk-pemerintahan-negara-dan.html#sthash.Cl59GABe.dpuf

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*