Daging babi dan tuak atau alkohol umumnya merupakan satu paket makanan yang telah dikonsumsi sejak jaman dahulu. Bahkan dapat dikatakan sejak jaman pra Mahabarata. Makanan dan minuman ini, ternyata juga diharamkan sebagaimana agama Islam melarangnya. Terutama dalam Adiparwa Jawa Kuna.
Sekalipun tidak terlalu tegas, Mahabharata India dicatat juga melarangnya, khususnya terhadap peminum alkohol. Berikut perbandingan larangan daging babi dan alkohol dalam Adiparwa India dan Jawa Kuna.
Babi dan Alkohol dalam Adiparwa India
Pada Mahabharata India sub bab Adiparwa, tidak ada larangan untuk memakan babi. Mahabharata India hanya mencatat adanya larangan meminum alkohol dengan tidak bijaksana. Kisah pelarangan ini terdapat dalam kisah Dewayani dan Kacha.
Dalam kisah itu diceritakan, setelah Resi Sukrasarya merasa ditipu oleh raksasa dengan persembahan minuman anggur, ia kemudian mengutuk. “Orang akan kehilangan keluhuran budi, jika minum anggur secara tidak bijaksana. Orang yang demikian akan dikutuk. Demikian pesanku dan pesan ini akan tertulis dalam kitab-kitab suci sebagai larangan yang tidak boleh dilanggar”.(1)
Dalam Mahabharata edisi P. Lal, sayangnya kisah ini tidak dicantumkan. Dalam Mahabharata Edisi Pratap Chandra Roy, C.I.E, larangan minum alkohol juga dibahas. Vaisampayana continued, “The learned Sukra, having been deceived while under wine, and remembering the total loss of consciousness that one of the terrible consequences of drink, and beholding too before him the handsome Kacha whom he had, in a state of unconsciousness, drunk with his wine, then thought of effecting a reform in the manners of Brahmanas. The high-souled Usanas rising up from the ground in anger, then spoke as follows : “The wretched Brahmana who from this day, unable to resist the temptation, will drink wine shall be regarded as having lost his virtue, shall be reckoned to have committed the sin of slaying a Brahmana, shall be hated both in this and the other worlds. I set this limit to the conduct and dignity of Brahmanas everywhere. Let the honest, let Brahmanas, let those with regard for their superiors, let the gods, let the three worlds, listen!’ Having said these words that high-souled one, that ascetic of ascetics, then summoning the Danavas who had been deprived by fate of the good sense, told them these words : ‘Ye foolish Danavas, know ye that Kacha hath obtained his wishes. He will henceforth dwell with me I Having obtained the valuable knowledge of reviving the dead, that Brahmana hath, indeed, become in prowess even as Brahmana himself !‘(2)
Dalam Mahabharata India tersebut jelas, alkohol hanya dilarang bila diminum secara tidak bijaksana. Dengan demikian alkohol dibolehkan bila dalam diminum dalam jumlah yang bijaksana. Atau dengan kata lain alkohol tidak dilarang, pelarangan hanya ada pada penggunaannya. Bijaksana atau tidak bijaksana.
Babi dan Alkohol dalam Adiparwa Jawa Kuna
Pada Adiparwa salah satu kitab pertama Mahabharata Jawa Kuna, alkohol serta daging babi dilarang keras untuk di minum dan di makan para brahmana baik secara bijaksana maupun tidak. Pelarangan ini dilakukan oleh Bhagawan Cukra ayah Dewayani. Mangke tambay ning brahmana tanpamangan daging ing celeng umah, tanpanginum surapana, (surapana ngaranya sajong, salwir ing sinanggah sajeng, twak waragang, badyag, twak ing tal, budur), ling ning sastra sangke bhagawan Sukra: Mohat pasyati durbuddhih. Kalinganing sabda: ikang wwang awero dening sajong durbuddhi, solah solahanya, ujar tan ujara, sangke mohanyan wareg sajong, magawe ahangkara ning buddhi, yan hana sira brahmana mpu nginum sajong, mkanimitta moha nira, nguniweh amangana daging ning celeng umah, ya abhaksa-bhaksa ngaranya, ya apeya-peya ngaranya, amangan camah anginum wastu camah, adharma ngarannya, tan dharma sang pandita ika. ‘Mulai sekarang brahmana tidak makan daging babi dan tidak minum minuman keras (yaitu: tuak, waragang, badyag; tuak pohon tal dan budur. Itulah yang disebut minuman keras). Ajaran bagawan Sukra itu: Mohat pasyati durbuddhih. Bunyinya : “orang yang mabuk karena minuman keras itu setengah gila, berbuat seakan-akan bukan perbuatannya sendiri, berkata yang tidak semestinya, karena bingung kenyang minuman keras menyebabkan nafsu buruk. Demikianlah keadaannya kalau seorang brahmana minum minuman keras yang menyebabkan mabuknya, lagi pula makan daging babi, abhyaksa-bhyaksa itu namanya larangan. Makan maupun minum, itu menyebabkan cacad. Hal yang demikian itu tidak baik (tidak menurut hukum), tidak selayaknya seorang pendeta demikian.(3)
Bagi yang melanggarnya, mendapat kutuk dari Bhagawan Cukra. “Jmah tasmat sapapa ning brahmatya tinemunya!”’Kelak engkau (orang yang melanggar) akan mendapat hukuman yang sama dengan orang membunuh brahmana!’ Kutukan ini sangat keras. Garuda yang dicatat lebih sakti dari dewa Wisnu sendiri karena tidak mengenal tua dan mati meskipun tidak minum Amrta sebagaimana yang dilakukan dewa Wisnu (4), ia tetap takut untuk membunuh brahmana. Saat makan bangsa Nisadha, ada brahmana yang tertelan olehnya. Ia lalu berkata: “Wijil kita sang brahmana sangke tutuk ni nghulun mangke, pong-pong kita tapwan sirana, tan dadi nghulun amati brahmana. Papeswa piratah sada. Yadyapin asing sapagawaya nira tuwi, apan sarwa papa tinemu nireng amati brahmana.” Keluarlah dari mulutku ini sekarang juga, engkau sang brahmana sebelum engkau binasa, supaya saya tidak jadi dosa karena membunuh brahmana. Papeswa piratah sada. Bagaimanapun juga pekerjaan yang dikerjakannya, akan sengsara juga hasilnya, karena membunuh brahmana.(5)
Sekalipun Bagawan Sukra pada mulanya makan dan minum yang menyebabkan mabuk yang terlarang, namun ia kemudian memberi penjelasan lain: amangan camah anginum wastu camah, adharma ngarannya ‘makan maupun minum, itu menyebabkan cacad, hal yang demikian itu tidak baik (tidak menurut hukum).’ Dengan demikian tidak ada ukuran banyak atau sedikit kadar yang dimakan atau diminum. Sedikit atau banyak menyebabkan cacad dan tidak menurut dharma. Keduanya sama-sama mendapat kutuk seperti melakukan sebuah dosa besar.
Hukum Berlaku Untuk Pendeta atau Masyarakat Biasa
Menurut Adiparwa di atas, haramnya makan babi dan alkohol sedikit atau banyak diberlakukan untuk golongan brahmana atau pendeta. Jadi hukum itu tidak berlaku untuk masyarakat selain brahmana. Namun karena sumber hukum pada masa itu adalah brahmana, maka warna lain kiranya juga diharuskan mengikutinya. Kisah bangsa Yadawa bangsa Raja Kresna yang suka mabuk, dicatat sengsara akibatnya sebagaimana kutukan dari Bhagawan Cukra.
Note:
- Rajagopalachari, Mahabharata. Sebuah Roman Epik Pencerah Jiwa Manusia, Jogjakarta, IRCiSod, 2008: 35.
- Pratap Chandra Roy, C.I.E, The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa, Translated into English prose from the original Sanskrit Text, Vol 1. Adiparva. Oriental Publishing Co, Calcutta, hal: 189.
- Adiparwa I, hal: 102-103.
- Adiparwa I, hal: 54. Sumahur sang Garuda: “Tan yogya kitanganugrahana kami bhatara Wisnu, apan sor prabhawanta dengku, ikang amrta ngaranya denta kahatana, kahanan jaramarana. Kunang aku: Ajrac cama rascal syam. Anadhi, tar keneng tuha-pati. Amrtena winapy ahem, an tan panginum amrta.
- Adiparwa I, hal: 54.
Daftar Pustaka
Gambar
- http://suarajakarta.co/news/internasional/minimarket-halal-di-paris-dipaksa-menjual-daging-babi-dan-minuman-beralkohol/
Buku
- Rajagopalachari, Mahabharata. Sebuah Roman Epik Pencerah Jiwa Manusia, Jogjakarta: IRCiSod, 2008.
- Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
- Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti,
- Irawan Djoko Nugroho, Hubungan Mancanegara Era Majapahit. Makalah ini disampaikan dalam Diskusi Panel Serial ke-7 yang diselenggarakan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti di Jakarta tanggal 5 April 2013.
- Pratap Chandra Roy, C.I.E, The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa, Translated into English prose from the original Sanskrit Text, Vol 1. Adiparva. Oriental Publishing Co, Calcutta
- Siman Widyatmanta Vol. I dan II. Cetakan ketiga. Yogyakarta: U.P. “Spring”, 1968.
1 comment
Memang benar bahwa hukum itu berlaku bagi brahmana saja. Golongan lainnya tidak wajib mengikuti.
Daripada menerka-nerka, lihatlah contoh nyata yang bisa diamati di Bali. Di sana kaum pendeta tidak minum arak dan makan daging babi. Orang yang bukan kaum pendeta masih bisa minum arak dan makan daging babi.