Berbeda dengan Malaka (Malaysia) yang memiliki slogan “tak kan Melayu hilang di bumi”, kerajaan-kerajaan di Nusantara lain sayangnya tidak memiliki slogan yang sama. Menjadi wajar jika kerajaan-kerajaan di Nusantara kemudian lenyap atau hilang di bumi. Sangat berbeda dengan Melayu Malaka, yang kini tetap eksis sebagai kerajaan berdaulat.
Sangat menarik, hilangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara lahir ketika para founding father atau anak bangsa Nusantara sendiri mendirikan negara yang kemudian disebut NKRI. Penghilangan ini demikian massif mengalahkan penghilangan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang dilakukan Belanda dengan keberhasilannya menghapus beberapa negara di Nusantara dengan paksa. Seperti misalnya, penghapusan Kerajaan Palembang, Kerajaan Banten, Kerajaan Cirebon, dan Kasultanan Madura. Penghapusan kerajaan-kerajaan di Nusantara oleh para para founding father, dimulai dari sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Republik VS Kerajaan
Ketika BPUPK melakukan sidang, polemik kerajaan dan republik dicatat mengemuka. Pendukung kerajaan dan republik tidak ada yang mau mengalah. Pendukung kerajaan tentu saja mendukung di dalamnya, sistem budaya Nusantara agar tidak hilang. Sementara itu, pendukung republik mendukung di dalamnya sistem modern yang menafikan budaya Nusantara.
Karena tidak ada yang mengalah, oleh Ketua BPUPK Radjiman Wedyodiningrat diputuskan untuk menggunakan stem (voting tertutup) dan bukan stem terbuka. Sistem yang mengadopsi siapa saja boleh menyampaikan pendapatnya tanpa perlu malu atau dipermalukan nantinya bagi yang kalah. Diputuskan, siapa memilih apa dengan menulis di secarik kertas.
Dengan sistem tertutup, semua kemungkinan dapat terjadi. Karenanya, kondisi tersebut menjadi sangat krusial. Salah satu anggota BPUPK bernama Moezakir, bahkan mengusulkan pengambilan keputusan didahului dengan mengheningkan cipta. Ki Bagoes kemudian diminta membacakan doa Fatihah. Dalam pemilihan itu, diperoleh hasil sebagai berikut. Terdapat 64 stem: Pendukung Republik 55 stem, Pendukung Kerajaan 6 stem. Sementara itu, lain-lain 2 dan 1 blangko kosong. Berdasar hasil keputusan tersebut, maka diputuskan republik resmi menjadi nama negara.
Penghancuran Nusantara
Kemenangan pendukung republik tersebut, kemudian menjadi lonceng kematian kerajaan-kerajaan di Nusantara. Tidak perlu dengan kekuatan senjata ala Belanda menghapus Kasultanan Palembang atau Banten, cukup dengan satu naskah bernama UUD.
Berdasar pasal 27: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, maka kerajaan Nusantara tidak mendapat tempat di bumi baru bernama NKRI. Demikian pula mengenai bahasa, pendidikan genuine Nusantara, adat, sistem kesehatan, dan sebagainya. Semua menjadi sebuah persatean dan bukan lagi persatuan yang diharapkan.
Beruntung Jogjakarta menjadi satu-satunya wakil kerajaan di Nusantara yang selamat. Namun itu pun, hanya sebatas pengakuan wilayah kerajaannya semata. Sebab semua sistem tata kelola yang ada, harus mengikuti pola republik.
Penghancuran kerajaan-kerajaan Nusantara yang masih hidup kala tahun 1945 sengaja atau tidak disengaja seperti direstui oleh negara. Hal ini karena negara tidak hadir dan tidak merehabilitasi akibat kerusuhan yang terjadi. Setidaknya ada 4 metode penghancuran kerajaan-kerajaan Nusantara.
Metode pertama, kerusuhan sosial. Misalnya saja dapat dilihat dari kasus penghancuran Kasultanan Langkat. Metode kedua penghancuran oleh tentara seperti contohnya penghancuran Kasultanan Bulungan. Metode ketiga perampasan aset dan wilayah seperti kasus penghancuran Keraton Surakarta. Terakhir, metode pembiaran dengan ditutup semua aksesnya, seperti akses politik dan ekonomi yang ada misalnya. Metode ini diterapkan ada sebagian besar kerajaan Nusantara yang ada.
Semangat republiken yang demikian kuat, menjadi alasan dilegalkannya semua metode yang ada. Hal tersebut membuat kerajaan Nusantara pada masa kemerdekaan, menjadi istilah yang tabu di telinga kaum republiken.
Hilangnya Budaya Nusantara
Hilangnya kerajaan dan sistem nilai yang ada, berdampak pada hilangnya budaya Nusantara. Semua budaya Nusantara yang ada hanya dipandang sebagai bagian dari pelangkap dari sebuah budaya baru yang bernama budaya Indonesia. Sebagai pelengkap ia tidak pernah menjadi budaya Indonesia. Saat bicara budaya Jawa, Melayu, Minang, Makasar dan sebagainya sebagai contohnya, ia langsung masuk ke ranah etnis. Berbeda dengan bahasa Indonesia yang menumpukan pada satu bahasa etnis Nusantara yaitu bahasa Melayu, budaya tidak ditumpukan pada salah satu budaya etnis di Nusantara.
Menjadi wajar jika budaya Nusantara itu hilang, saat memasuki ranah budaya atau kebudayaan Indonesia. Dengan catatan tentu saja, jika budaya itu merupakan cipta, rasa dan karsa suatu masyarakat, sementara kebudayaan merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa masyarakat tersebut. Melalui parameter paling sederhana yaitu mengetahui unsur-unsur kebudayaan ala Koentjaraningrat tahun 1974 yang meliputi: (1) Sistem dan organisasi kemasyarakatan; (2) Sistem religi dan upacara keagamaan; (3) Sistem mata pencaharian; (4) Sistem (ilmu) pengetahuan; (5) Sistem teknologi dan peralatan; (6) Bahasa; dan (7) Kesenian, maka hanya satu yang bertahan. Yaitu, sistem religi dan upacara keagamaan kerajaan Nusantara, seperti: Islam dan Hindu Bali.
Selain sistem religi dan upacara keagamaan kerajaan Nusantara, dapat dikatakan semua unsur kebudayaan Indonesia bukan lagi unsur kerajaan Nusantara. Bahkan dapat dikatakan berbasis budaya Barat. Bahasa Indonesia secara umum pun tidak sepenuhnya diambil dari Nusantara karena sistem tulisan yang ada adalah tulisan latin dari Barat. Demikian pula kesenian Indonesia. Ia juga berbasis Barat, karena baik alat musiknya atau seni dramanya berbasis Barat seperti musik, teater, maupun film. Dari hal tersebut, maka dapat dikatakan jika budaya Indonesia itu sebenarnya merupakan budaya Barat.
Kesadaran Kerajaan Nusantara
Begitu semangat republiken mulai berkurang, keberanian kerajaan Nusantara mulai kembali tumbuh. Karenanya banyak para Sultan dan Raja di kerajaan-kerajaan Indonesia kemudian hadir untuk ikut membahas kemajuan budaya. Mereka juga membahas program pemerintah terkait budaya. Sekalipun kemajuan budaya yang dibahas, sebenarnya bukan budaya yang diimpikan kaum republiken dulu. Namun, hanya sebatas menghadirkan budaya yang tersisa di kerajaan, sebagai pendukung pariwisata nasional. Semacam mencari remah roti yang digunakan untuk kehidupan keluarga kerajaan yang masih ada dan masyarakat sekitar.
Para Sultan dan Raja di kerajaan-kerajaan Nusantara memahami bahwa tidak ada ruang bagi mereka. Jika saja Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dulu memberikan opsi C, selain kerajaan atau republik, maka penghancuran budaya Nusantara tidak akan terjadi. Opsi seperti diakuinya dua sistem dalam republik seperti wilayah yang langsung di bawah administrasi pemerintah pusat dan yang tidak langsung di bawah administrasi pemerintah pusat dalam hal ini kerajaan. Ataupun, kerajaan mendapat hak otonomi sebagai Provinsi. Namun karena nasi telah menjadi bubur, kerajaan-kerajaan yang tersisa di Nusantara kini perlu menentukan format terbarunya.
Salah satunya misalnya, dapat menjadikan bekas kerajaan yang ada sebagai kota budaya pendukung republik. Di mana di dalamnya selain terdapat bangunan istana yang terawat dan terjaga, juga dihadirkan museum, perpustakaan, ruang pertunjukan, ruang pengajaran, ruang pendidikan herbal masa lalu, dan lain sebagainya yang memberi warna lain dari yang telah ada saat ini. Semua itu agar masyarakat pendukung kebudayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, tidak akan tercerabut dari masa lalunya.
Meletakkan Peran Pemerintah Baru
Penghancuran kerajaan-kerajaan di Nusantara beserta kebudayaannya oleh para founding father Indonesia, merupakan sebuah tragedi terbesar Nusantara. Kerajaan-kerajaan di Nusantara memang gagal dalam menghadapi perang melawan kolonialisme Belanda. Namun demikian keberadaan mereka yang lepas dari penghapusan secara paksa oleh Belanda, merupakan sebuah kearifan yang perlu diapresiasi. Dengan membangun sebuah negara di atas penghancuran mereka, tentu saja sangat tidak sepenuhnya tepat.
Namun demikian memberi hak prerogatif khususnya hukum kepada mereka di bawah hukum republik seperti kasuistik kepada Yogyakarta, juga bertentangan dengan asas kesamaan yang selama ini dijunjung. Karena itu pemerintah perlu memberi opsi lain kepada mereka yang memang sebagai pemilik kerajaan-kerajaan di Nusantara, khususnya yang selamat dari penghapusan secara paksa oleh Belanda. Opsi ini misalnya dapat dengan memberikan hak prerogatif budaya kepada mereka. Hak di mana mereka diberi sarana dan prasarana untuk tetap hidup di bawah budaya Barat yang menjadi basis NKRI.
Pemerintah baru selepas para founding father Indonesia juga perlu terbuka jika budaya Indonesia bukan budaya Nusantara. Budaya Indonesia adalah budaya Barat, baik: Sistem dan organisasi kemasyarakatan (negara, republik), Sistem mata pencaharian (berbasis teknologi Barat), Sistem (ilmu) pengetahuan (Pendidikan Barat), Sistem teknologi dan peralatan (berbasis pengetahuan Barat), Bahasa (menggunakan huruf Latin dari Barat), dan Kesenian (Musik dan drama berbasis musik dan drama Barat).
Selain itu juga perlu memberi pengakuan adanya upaya penghancuran kerajaan-kerajaan di Nusantara berikut budayanya pada saat pendirian republik masa lalu, kemudian melaksanakan rekonsiliasi dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang selamat dari penghapusan secara paksa oleh Belanda. Rekonsiliasi ini untuk mewujudkan sebuah negara yang tidak tercerabut dari akar budayanya.*
Bacaan Pendukung:
- https://nasional.kompas.com/read/2017/05/15/16411491/kembali.ke.republik?page=all.
- https://historikultur.blogspot.com/2015/02/pengertian-budaya-dan-kebudayaan.html?m=1
2 comments
Gak papa berbudaya Barat. Korea lebih maju dg budaya barat daripada tradisional. Semakin homogen suatu bangsa, semakin mudah bersatu. Langkah cerdas presiden sukarno
Bagi orang yg mengidap “stupid human syndrome”/disingkat ” Dungu”/bodoh.adalah melihat sesuatu dari prespektif bentuk yg berbeda dari sebelumnya adalah sebuah kemajuan. Amerika bukanlah bangsa yg tua, spt Nusantara, jawa. Sehingga mereka menciptakan sejarahnya, pakaiannya, tulisannya. Sedangkan manusia spt ini melihat budaya adalah suatu bentuk/nilai/parameter dari kemajuan jaman. Bodoh sekali bukan?, jika nilai yg luhur, nilai nilai kehidupan manusia sejak lahir, dia merubahnya hanya karena “jaman sudah berubah”, bagi manusia bangsa yg terjajah, hal yg paling pasti adalah tidak bisa membedakan antara ” Teknologi “, dan ” Budaya/hukum dan kebiasaan yg luhur”. Semakin plural suku bangsa di dunia tidak akan bisa bersatu jika tidak ada yg mayoritas, contohnya china: suku Han, Indonesia: jawa, juga Jepang, Inggris, dan India.