Di Museum Mpu Tantular terdapat koleksi 13 naskah lontar Tengger yang unik. Keunikan naskah lontar tersebut adalah memiliki nama yang sama. Semua lontar tersebut dicatat berasal dari satu pemilik yang bernama Mahmud dari Sukun, Sukapura, (Titik Indramayu, 2010:20). Namun dari sisi isi, teks Primbon Tengger khususnya No Inventaris 07.193 ditulis oleh seorang kiyayi dukun dari Ngadisari.
Dari beberapa naskah lontar Tengger yang ada, dicatat berisi tentang mantra. Misalnya naskah lontar No Inv 07.192 dan 07.194. Naskah tersebut berisi mantra: ana keḍung rumesa ri wěngi. Mantra ini dicatat memiliki banyak manfaat. Bila dibacakan pada air mandinya perawan tua maka ia akan cepat mendapat suami. Bila seseorang terbebani hutang, ia sebaiknya dibaca saat tengah malam sebanyak sebelas kali dengan benar. Bila seseorang menanam padi dan berpuasa sehari semalam kemudian mengelilingi pematang sawah sambil membacanya, maka tidak akan ada petaka. Bila berlangsung perang, mantra tersebut dibacakan pada nasi disuapan ketiga maka musuh menjadi sirep tidak ada yang berani, sehingga selamat dari peperangan.
Mantra Dan Doa
Menurut KBBI, mantra memiliki dua pengertian. Pertama, perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya). Kedua. Susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
Mantra dalam pengertian tersebut merupakan perkataan atau susunan kata tertentu. Ia biasanya dibacakan saat akan melakukan tindakan untuk membuka kekuatan besar. Misalnya saja informasi sebagai berikut. Indrajit tak kenal putus asa, ia memberi mantra pada panah Yama-nya (P. Lal 2, 2008:325).
Fungsi mantra tersebut seperti menjadi sebuah kode pembuka kekuatan yang terkandung di sesuatu yang dimantrai, atau membuka manfaat sesuai kandungan mantra tersebut dibuat atau dihadirkan. Dalam kisah Aswatama menghadapi Pandawa pada Parwa ke-10 Mahabharata, Aswatama mengucapkan mantra dan kemudian doa.
Aswatama mengucapkan mantra yang diberikan oleh ayahnya kepadanya. Di tangan kirinya ia memegang sebatang rumput; dimantrainya, maka berubahlah rumput itu menjadi sebuah senjata kahyangan yang mengerikan. Ia berdoa, “Semoga senjata ini menghancurkan Pandawa!” dan seketika itu juga api yang dapat membakar apa saja menyambar dari daun rumput itu, (P. Lal 1, 2008:308).
Senjata kahyangan dari sebatang rumput yang dimantrai oleh Aswatama tersebut, dicatat bernama Brahmastra. Dalam sejarahnya, senjata Brahmastra dicatat dimiliki oleh Rama, Aswatama, dan Arjuna.
Sebagaimana Aswatama, Laksamana juga melakukan hal sama. Hanya saja ia tidak dicatat memantrai panah dewanya. Namun demikian menjadi rahasia umum bila panah dewa saat digunakan dengan cara dimantrai. Laksamana hanya dicatat berdoa sebelum melepaskannya.
Laksamana cepat mengambil sebatang anak panah, Indra, memasangnya pada busurnya dan berdoa pada penguasa anak panah itu,
“Jika Rama, Putra Dasarata
benar-benar manusia terpilih
jika Rama adalah tokoh kebenaran
jika Rama memang setia dan
sama sekali tak tersaingi,
maka matikanlah putra Rawana!” (P. Lal 2, 2008:325).
Dari hal tersebut, mantra dapat dikatakan bukan doa. Doa menurut KBBI adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Dalam tradisi Ramayana dan Mahabharata, mantra dicatat diucapkan terlebih dahulu dan setelah itu baru diikuti doa.
Mantra Perlu Diperkuat Dengan Laku Pembacanya
Pada naskah lontar koleksi Museum Mpu Tantular, ada satu hal menarik khususnya dari informasi teks lontar No Inv 07.194 M. Di mana ia mencatat bahwa untuk memaksimalkan hasil, mantra juga harus diperkuat dengan laku dari pembacanya.
Ukara V
//Lamon sira na/ reke dhur parri puwasaa sadina sawěŋi iděr rana galěŋané wacaněn keduŋ iku mapan nurana bělai, (Titik Indramayu, 2010:32).
‘Jika kamu menanam padi puasalah sehari semalam (puasa sehari semalam adalah puasa yang dimulai jam 6 sore hingga jam 6 sore hari berikutnya, red) kelilingilah pematang sawah sambil membaca kidung tersebut, maka tidak akan ada petaka’.
Informasi teks tersebut jelas menyebut bila sebuah mantra perlu diperkuat dan dihidupkan kembali melalui laku puasa saat akan membacanya untuk mendapat hasil maksimal khususnya kala menanam padi. Namun tidak dicatat laku apa yang harus dijalani kala membacanya pada air mandinya perawan tua agar ia akan cepat mendapat suami atau kala dibaca sebelas kali dengan benar saat tengah malam kala seseorang terbebani hutang. Selain itu juga tidak ada informasi laku yang harus dijalani kala mantra tersebut dibacakan pada nasi disuapan ketiga saat berlangsung perang sehingga musuh menjadi sirep dan tidak ada yang berani, sehingga selamat dari peperangan.
Informasi mantra juga harus diperkuat dengan laku dari pembacanya, ternyata selaras dengan tradisi śakti dan yoga dalam teks-teks Jawa Kuna.
Śakti Dan Yoga
Dalam kisah Arjunawijaya, Daśamukha yang dicatat mendapat anugrah śakti selepas berhasil melakukan tapa, dicatat juga melakukan yoga untuk memperkuat atau mempertahankan anugrah śakti yang diterimanya.
Canto 13.2, (S. Supomo, 1971:211):
apan rasika dewa hīna putus ing mahāduryaśa;
tanganku sasikîki tar makapaḍanya sikwākěna.
Kalīngan ika, nora lena saka ri nghulun dyah siwin,
anindyaguṇa śakti wīra sěḍěng antuk antātapa.
‘karena dia adalah hina, tuhan yang paling hina,
yang tidak sama dengan salah satu lengan saya, meskipun saya hanya menggunakan siku.
Dengan kata lain, Anda seharusnya tidak melayani siapa pun, selain saya,
yang tak tertandingi dalam kecakapan, kekuatan dan keberanian, dan telah menerima hadiah untuk menyelesaikan latihan pertapaan’.
Canto 41.6, (S. Supomo, 1971:263):
Sěḍěng dhīrâmūjā sira, saha japā yoga dharaṇa,
ri sang hyang linggârca pratima maṇi tejomaya lumӧng;
muwah sakweh ning rākṣasabala paḍâmurṣita kabeh,
apan sākṣāt jīwânugama saparan sang Daśamukha.
‘Dia sangat asyik beribadah, menggumamkan mantra dan memusatkan pikirannya
pada arca lingga bertahtakan permata gemilang;
semua setan juga ikut memuja lingga ini,
karena sebenarnya itu seperti jiwa Daśamukha, dan menemaninya kemanapun dia pergi’.
Bila tidak diperkuat dan dipertahankan, śakti dicatat memiliki jalan untuk hilang bila penerimanya tidak menjaganya. Termasuk mengabaikan larangan-larangan yang yang ada. Dalam kisah kehancuran kaum Yadawa, Arjuna dicatat kehilangan śaktinya sehingga gagal menyelamatkan anak-anak dan perempuan Yadawa. Karena kehilangan śaktinya, Arjuna kemudian datang ke asrama Abyasa. Melihat Arjuna bernafas tersengal-sengal, Abyasa bertanya kepada Arjuna.
“Ada apa? Adakah seseorang yang memerciki tubuhmu dengan air beracun? Apakah kau membunuh seorang Brahmin? Apakah kau tidur dengan seorang perempuan yang sedang haid?Apakah kau kalah dalam pertempuran?” (P. Lal 1, 2008:404).
Ada 4 pertanyaan yang diajukan oleh Abyasa kepada Arjuna. Melihat kisah Mahabharata Parwa-16, pertanyaan pertama dan kedua sepertinya tidak memiliki relevansi. Sebab dalam perang melawan perampok, Arjuna kehilangan śaktinya tidak karena dua hal tersebut. Selain itu, karena kehilangan śaktinya, Arjuna menjadi kalah dalam pertempuran. Menjadi pertanyaan kemudian, apakah śakti Arjuna hilang karena tidur dengan seorang perempuan yang sedang haid? Tidak ada penjelasan tentang hal tersebut. Namun mengingat kaum laki-laki Yadawa musnah dan yang tinggal adalah para wanita dan anak-anak sementara perjalanan ke Hastina memakan waktu lama sebelum perampok datang, maka kehilangan śakti Arjuna karena hal tersebut menjadi sebuah kemungkinan.
Dalam tradisi śakti yang dimiliki Arjuna, Arjuna dicatat merupakan murid Drona. Sementara itu Drona, dicatat sebagai murid Parasurama. Parasurama sebagai guru awal dicatat tidak pernah kehilangan śakti meskipun memiliki usia lanjut yang lebih lanjut dari Arjuna saat kehilangan śaktinya. Ini menunjukkan jika kehilangan śakti Arjuna menjadi dimungkinkan karena suatu sebab. Di mana sebab tersebut adalah Arjuna tidak teguh dalam memperkuat dan mempertahankan śakti. Salah satu kemungkinannya adalah melanggar pantangan śakti yang dimilikinya.
Dari hal tersebut, untuk mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan, maka śakti dan juga mantra perlu diperkuat dengan laku dari mereka yang mendapatkannya.*
Sumber:
Ayu Sutarto Sekilas Tentang Masyarakat Tengger. Makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, tanggal 7 – 10 Agustus 2006
Dewi Septiyaningsih Primbon Tengger 07.193 M: Suntingan Teks Disertai Analisis Makna, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya, 2021.
Irawan Djoko Nugroho Majapahit Peradaban Maritim. Ketika Nusantara Menjadi Pengendali Perdagangan Dunia. Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Jakarta, 2011.
______________ Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit, Jakarta: 2022.
KGPAA Amengkunegara III Serat Centhini dialihhurufkan oleh Kamajaya, Yogyakarta: Yayasan Centhini, 1985.
Licahayati Mantra Kasada Tengger: Suntingan Teks Disertai Analisis Semiotika, Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya, 2013.
Muhammad Yamin Tatanegara Majapahit. Sapta Parwa. Vol. I-III. Jakarta: Yayasan Prapanca, 1962.
N.J. Smith Hefner Pembaron: An East Javanese Rite of Priestly Rebirth” dalam Journal of Southeast Asian Studies 23.2 (September 1992).
P. Lal 1 Mahabharata. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2008.
P. Lal 2 Ramayana. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2008.
Pigeaud, Th.G.Th Java in the 14th Century, A Study in Cultural History I-III. The Hague, 1960.
Rifda Nabila Primbon Tengger: Suntingan Teks dan Analisis Semioka, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya, 2019.
Sutarto “Tinjauan Historis dan Sosio-kultural Orang Tengger” dalam Majalah Argapura, Vol. 18 No. 1 dan 2 Th. 1998: 21-37.
T.M. Rita Istari Prasasti Pendek dari Candi Sanggar dan Kemungkinan Penghormatan Terhadap Dewa Brahma, Berkala Arkeologi Vol. 35 Edisi No. 1 Mei 2015: 59-72.
Titik Indramayu, Kedhung Rumeksa Ri Wengi: Suntingan Teks Disertai Telaah Metafora, Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, Surabaya, 2010.