(Sebuah Tanggapan Atas Buku Herman Sinung Janutama)

Buku baru “Fakta Mengejutkan Majapahit Kerajaan Islam” karya Herman Sinung Janutama yang diterbitkan PT. Noura Books PT Mizan Publika tahun 2014 ini, sebenarnya memang dirancang untuk mengejutkan publik. Dengan narasi yang menyakinkan, Herman berkesimpulan jika Majapahit adalah Islam. Salah satu bukti fisik yang diangkatnya adalah adanya masjid agung di Palaweyan yang kini dimungkinkan berada di situs Umpak Jabung atau situs umpak dekat candi Kedhaton. Masjid ini diperkirakan sebagai tempat penobatan Raden Sayyid Wijaya, (Herman Sinung Janutama, 2014: 83).

Sayangnya ketika buku tersebut dibaca dengan lebih terstruktur, terdapat fakta yang mengejutkan dibalik narasi yang sedianya dibuat mengejutkan tersebut. Buku “Fakta Mengejutkan Majapahit Kerajaan Islam” sebagai sebuah kajian sejarah ternyata ditulis tanpa menggunakan standar ilmu sejarah. Herman Sinung Janutama yang pernah belajar di Fisika Murni di FMIPA UGM dan Fakultas Akidah Filsafat UIN ini, menggunakan bekal ilmunya untuk membedah sebuah kajian sejarah. Penggunaan bekal ilmu Fisika Murni dan Akidah Filsafat itu, untungnya tidak digunakan untuk membedah jantung koroner yang merupakan hak prerogratif disiplin ilmu kedokteran. Karena jika hal tersebut dilaksanakan, maka urusannya akan menjadi berbeda.

Kajian sejarah yang ditulis tanpa menggunakan standar ilmu sejarah tersebut adalah sebagai berikut.

1. Memaksakan terjemahan menurut kehendaknya.

Dalam salah satu penjelasannya mengenai catatan Faxian ketika tiba di Jawa, Herman Sinung Janutama menterjemahkan catatan Faxian sebagai berikut.

Kami tiba diseluruh negeri bernama Yapoti (Jawa atau Sumatera). Di negeri itu agama Abraham sangat berkembang sedangkan Buddha tidak seberapa pengaruhnya,” (Herman Sinung Janutama, 2014: 5).

Bila melihat catatan Faxian menurut W.P. Groeneveldt, terjemahan catatan Faxian adalah sebagai berikut.

Selanjutnya mereka melanjutkan pelayarannya 90 hari dan mencapai sebuah negara yang disebut Ya-va-di. Di negara itu banyak terdapat para heretic (penyembah berhala) dan Brahman (penganut Hindu), tetapi sedikit sekali penganut Buddha,” (W.P. Groeneveldt, 2009: 10-11).

Disini Herman Sinung Janutama memaksa terjemahan yang sudah ada agar mengikuti alur pikir pendapatnya. Pemaksaan terjemahan ini, tentu tidak mengikuti kaidah filologi ataupun ilmu sejarah karena akan dapat digunakan menurut alur pikir pendapat lain yang bisa saja berseberangan. Pemaksaan terjemahan adalah sebuah kekeliruan yang sangat besar. Sebagaimana jika Alquran dipaksa diterjemahkan dengan terjemahan sesuai keinginan seseorang. Atau UU dipaksa diterjemahkan sesuai kehendak pribadi.

2. Menggunakan data Jawa Baru untuk melihat Sejarah Jawa Kuna

Dalam kajian sejarah, sejarah harus dilihat dengan kacamata jamannya. Sedangkan dalam kajian filologi, teks baru tidak dapat merevisi teks lama. Namun teks lama dapat merevisi teks baru, karena dimungkinkan dalam teks baru timbul penambahan-penambahan dari para penyalin. Disini Herman Sinung Janutama dicatat menggunakan data Jangka Jayabaya dan Naskah Wangsakerta. Jangka Jayabaya adalah teks Jawa baru yang berisi ramalan dan tidak memiliki landasan pada teks lama. Sedangkan Naskah Wangsakerta dicatat dibuat pada masa Jawa Baru dan merupakan naskah sejarah yang dicatat sebagai manipulasi penulisan sejarah oleh para ahli sejarah.

3. Tidak menggunakan data sejarah resmi

Herman Sinung Janutama dicatat tidak menggunakan data sejarah resmi. Misalnya data prasasti. Herman Sinung Janutama pun lebih mendasarkan pendapatnya pada Jangka Jayabaya dan Naskah Wangsakerta atau Serat Sabda Palon Nayagenggong tanpa alasan yang dapat diterima. Pendapat mengejutkan yang ingin diangkatnya, terjadi karena ia tidak menggunakan tool sejarah dengan benar. Seperti operasi pembedahan jantung koroner namun yang digunakan adalah gunting rumput.

4. Tidak menggunakan periodesasi sejarah yang benar

Dalam salah satu paparannya, Herman Sinung Janutama menulis jika ekspedisi Gajah Mada ke Nusantara tujuannya memperkukuh Pakta Pertahanan Nuswantara (sarwajalla) dari serbuan kaum kolonial Eropa, (Herman Sinung Janutama, 2014: 69-70). Paparan ini menunjukkan jika Herman tidak menggunakan periodesasi dengan benar. Pada saat Gajah Mada melakukan ekspedisinya, Eropa masih dalam jaman kegelapan. Serbuan kolonial Eropa baru dimulai pada abad ke-16 dan mencapai puncaknya pada abad ke-17 dan 18.

5. Tidak membaca data sejarah dengan cermat

Dalam membaca data sejarah, Herman Sinung Janutama dicatat sangat tidak cermat. Misalnya adalah ketika ia menulis, Kesultanan Singhasari dicatat oleh Hikayat Raja-Raja Pasai mengadakan ekspedisi Pamalayu, (Herman Sinung Janutama, 2014: 64). Jika melihat secara cermat akan Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Raja-Raja Pasai tidak pernah mencatat adanya kisah Kesultanan Singhasari terlebih adanya ekspedisi Pamalayu. Ekspedisi Pamalayu dicatat dalam Kidung dan Prasasti, bukan Hikayat Raja-Raja Pasai. Bila melihat lebih lanjut akan Hikayat Raja-Raja Pasai, gelar raja Majapahit adalah Ratu Majapahit. Sedangkan gelar raja Pasai adalah Sultan. Dari gelar itu menunjukkan jika penulis Hikayat Raja-Raja Pasai tahu jika raja Majapahit pada masa itu belum menganut agama Islam.

Masih banyak lagi kajian sejarah yang diangkat Herman yang ditulis tanpa menggunakan standar ilmu sejarah. Semua ini terjadi, jika ekspresi gaya mahasiswa tehnik atau MIPA yang merasa lebih unggul dari mahasiswa budaya dipertahankan hingga lulus kuliah. Disini dapat dikatakan jika Herman masih hidup pada alam mahasiswanya. Herman kiranya tidak memahami jika setiap ilmu ada bobot nilai sendiri-sendiri. Termasuk sejarah.

Hal ini tentu sangat disayangkan. Jika Herman, sebagai ahli MIPA kemudian lebih tertarik meletakkan studi MIPA-nya yang dipanggulnya karena berat demi sejarah, apakah perlu para ahli budaya yang memanggul studi MIPA demi kejayaan bangsa ini?*

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*