Saat berbincang dengan warganegara asli Jerman di salah satu sudut meja makan di acara BWCF beberapa tahun lalu, saya kaget saat ia menyatakan demikian benci kepada Hitler. Sebuah ungkapan yang menurut saya sangat menarik, karena seperti tidak mencerminkan rasa kebangsaan dan kecintaan kepada leluhur.
Terlebih lagi, Hitler demikian dikagumi banyak pemuda, termasuk banyak pemuda dari Indonesia tentu saja. Baik karena kegeniusan militernya atau kemampuan membangun Jerman dengan cepat seusai kalah dalam PD 1.
Warga Jerman itu memberitakan jika tidak ada yang diwariskan oleh Hitler bagi Jerman. Selepas PD 2, Jerman paling menderita dibanding Jepang dan Italia. Kondisi Jerman bahkan lebih buruk dari kekalahan Jerman paska PD 1. Sekalipun tanpa di bom atom, seluruh kota Jerman dihancurkan, ibukota hancur. Musuh masuk. Semua pemimpin Jerman dilenyapkan. Dan musuh sebagai pemenang menerapkan politik devide et impera. Di mana Jerman dibagi dua. Kondisi psikologis yang sama seperti saat Mataram dibagi menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Saya terpaksa membenarkan pernyataan warganegara Jerman tersebut. Membaca sejarah, memang benar selepas PD 2, Jerman hancur total, baik secara infrastruktur maupun mental spiritual. Warga Jerman yang ada di luar negeri, bahkan diusir dari tempat kelahirannya. Dan warga Jerman di mana saja, mendapat pelecehan dan penghinaan luar biasa sebagai bagian dari balas dendam musuh.
Bangkit Tanpa Pemimpin
Namun ternyata Jerman bisa tetap bangkit dengan cepat. Bahkan devide et impera terhadap Jerman gagal total. Sebab pembagian Jerman menjadi dua yang dibuat oleh musuh, dapat direunifikasi. Hal mana belum bisa dilakukan oleh Surakarta dan Yogyakarta atau Korea hingga saat ini.
Lebih unik lagi, Jerman dapat bangkit tanpa perlu pemimpin. Karena semua pemimpin Jerman telah dilenyapkan. Saya melihat seperti kondisi Indonesia yang menafikan para pemimpin tradisional dari para raja di Nusantara, namun palah mampu mengalahkan Belanda dan bahkan mampu mendirikan negara yang menyatukan wilayah para raja di Nusantara.
Bangkit Berkat Kebijakan Visioner
Semua kebangkitan Jerman paska kehancuran total akibat PD 2 dapat dikatakan berkat slogan soft dari Ludwig Erhard (Menteri perekonomian pertama Jerman). Yaitu, “Kenyamanan Untuk Semua”. Tidak ada lagi slogan German Uber Alles atau German First untuk membangkitkan semangat kebangkitan Jerman.
Dengan slogan tersebut, Jerman dapat bangkit lebih cepat dari para negara penerima Marshall Plan manapun. Bahkan dapat lebih cepat makmur dari para penjajah atau para negara pemenang perang yang mengalahkan dan telah mendevide et impera Jerman.
Kenyamanan Untuk Semua adalah bentuk penolakan keras atas kebijakan kesenjangan. Jerman tidak membutuhkan pembangunan model konglomerasi yang tidak visioner. Juga tidak membutuhkan kebijakan koruptif atas bantuan Marshall Plan demi memperkaya para pemimpin yang tengah berkuasa.
Win-Win Solution
Warganegara Jerman tersebut kemudian mengatakan jika kini Jerman lebih baik dari sebelumnya. Jerman dapat berdampingan dengan negara lain dan tetap dapat terhormat dan makmur tanpa perlu merendahkan bangsa lain. Sebuah ungkapan bersahaja namun benar.
Kenyamanan Untuk Semua pada dasarnya juga merupakan slogan cerdas yang bervisi Win-Win Solution. Sebab nyaman untuk penjajah atau pemenang perang, karena Jerman menerima kekalahan. Nyaman juga untuk Jerman, karena Jerman dapat membangun lagi masyarakat yang fokus pada keadilan tanpa kesenjangan serta Jerman memiliki peluang pasar di seluruh negara para pemenang perang.
Karena itu, Kenyamanan Untuk Semua yang menjadi kunci kebangkitan Jerman setelah dijajah Sekutu yang utamanya menafikan kebijakan kesenjangan, pantas menjadi kaca benggala bagi semua. Dan kebangkitan suatu bangsa, tidak memerlukan waktu lama jika dilakukan dengan sungguh-sungguh.*