Dalam tradisi pewayangan, Kresna memiliki banyak senjata dan ajian. Senjata yang dimaksud adalah senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, Terompet/Sangkala Pancajahnya, dan Kaca paesan. Sementara ajian yang dimaksud adalah Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.

Senjata Cakra dan Sangkala Pancajahnya merupakan senjata yang memiliki kesamaan dengan cerita aslinya yaitu Mahabharata. Senjata tersebut dicatat digunakan Kresna dalam perang Bharatayudha. Sementara itu senjata dan ajian lainnya, tidak memiliki relevansi langsung dengan kisah Mahabharata.

Sekalipun demikian, sekalipun tidak memiliki relevansi langsung, terdapat jejak yang menunjukkan Kresna memiliki senjata atau ajian tersebut dalam Mahabharata. Kembang Wijayakusuma misalnya. Senjata sakti yang dapat menghidupkan seseorang yang mati sebelum waktunya ini, sekalipun tidak terdapat dalam Mahabharata, namun jejaknya tetap dapat dilihat di Mahabharata.

Pada kisah pewayangan, Kembang Wijayakusuma dikisahkan dimiliki Kresna selepas ia berguru kepada Bagawan Padmanaba. Hal ini misalnya bisa dilihat dalam lakon “Mudhune Sumping Wijaya Kusuma”. Dalam lakon tersebut, dikisahkan begitu Narayana telah sempurna berguru kepada Bagawan Padmanaba di gunung Giripura, Bagawan Padmanaba menganugerahkan kembang Wijayakusuma dan senjata Cakrabaskara. Kemudian sang bagawan dikisahkan merasuk menyatu dengan Narayana.

Sementara itu dalam kisah Mahabharata, pertemuan Kresna dengan para Pandawa dicatat dimulai dalam kisah Pernikahan Pandawa dengan Drupadi. Dalam kisah hubungan selanjutnya, tidak dikisahkan Kresna memiliki senjata berupa Kembang Wijayakusuma.

Kresna Menghidupkan Kembali Parikesit dalam Kandungan  

Sekalipun tidak memiliki Kembang Wijayakusuma, kisah Kresna menghidupkan seseorang yang mati sebelum waktunya, dikisahkan dalam Parwa ke-14 Sesaji Kuda. Pada parwa tersebut, Utari dikisahkan melahirkan, dan sebagai akibat kutukan Aswathama, bayi laki-laki yang bernama Parikesit itu lahir mati, (P. Lal, 2008:376). Kunti kemudian berkata kepada Kresna.

Selamatkan kami, Kresna, karena hanya Tuanku yang dapat melakukannya,” tangis Kunti. “Adikmu melahirkan bayi yang tidak bergerak. Hidupkan dia kembali. Ingatlah Tuan sudah berjanji untuk melakukannya ketika Aswathama mengubah daun rumput menjadi sebatang senjata Brahma yang mematikan,” (P. Lal, 2008:376).

Kresna dicatat menyanggupi permintaan bibinya, yaitu Kunti ibu para Pandawa. Selepas ia memperintahkan dipersiapkan segala sesuatunya, ia kemudian menghidupkan Parikesit. Dalam menghidupkan Parikesit, ia dicatat tidak menggunakan Kembang Wijayakusuma, tapi dengan doa.

Ia berkata, “Demi semua pahala yang kuterima secara terhormat, kumohon hidup kembali kepada anak ini! Karena saya mencintai Darma, karena saya mencintai para Brahmin, saya mohon hidup kembali kepada anak Abhimanyu! Sebagai pembunuh Kamsa dan Kesi, saya mohon hidup kembali kepada anak laki-laki ini!” (P. Lal, 2008:376).

Pernyataan “kumohon, saya mohon”, adalahpermintaan Kresna kepada sesuatu yang lebih kuasa dari Kresna. Hanya saja tidak terdapat penjelasan siapa yang dimohon oleh Kresna. Namun demikian, Abyasa sebagai penulis Mahabharata mencatat dewa utama yang menjadi pujaan sang kawi dalam hal adalah Brahma, (P. Lal, 2008:7). Yang pasti, doa yang dipanjatkan Kresna dicatat berhasil. Parikesit mulai bergerak dan kemudian hidup lagi.

Kembang Wijayakusuma Sebagai Tawasul?

Jika melihat kembali doa yang dipanjatkan Kresna di atas, tampak doa tersebut dapat disebut sebagai tawasul. Tawasul adalah sebuah tradisi doa pada masa lalu, di mana menjadikan amalan sebagai perantara dikabulkannya doa. Kisah doa disertai tawasul dicatat dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, di mana Rasulullah pernah berkisah tentang tiga orang pria pada masa pra-Islam yang terjebak dalam sebuah gua. Tiga pria tersebut berhasil keluar dari gua setelah melakukan doa disertai dengan tawasul berupa amalan baik dari perbuatan mereka sebelumnya.

Pada doa Kresna, Kresna menyebut pahala dan amalannya sebelum mengucapkan doa permohonan. Doa ini diucapkan 3 kali dengan tiga amalan yang berbeda, dan doa tersebut dicatat berhasil. Kisah doa Kresna yang mampu menghidupkan bayi Parikesit yang meninggal akibat senjata Brahma ini, kiranya kemudian dipersonifikasikan tradisi pewayangan dalam bentuk Kembang Wijayakusuma.Kisah Kembang Wijayakusuma ini kemudian pada tradisi pewayangan, dicatat dikisahkan dalam banyak lakon pewayangan.

Dari hal tersebut, maka dapat dikatakan jika Kembang Wijayakusuma pada tradisi pewayangan dalam relevansinya dengan kisah Mahabharata terdapat dalam kisah Parwa ke-14 bagian kisah Sesaji Kuda.  Kembang Wijayakusuma dalam tradisi pewayangan tidak lain adalah personifikasi dari doa disertai tawasul yang dilakukan Kresna.

Mengutuk Dengan Tawasul

Pada Mahabharata, tawasul tidak hanya dilakukan oleh Kresna. Ia dicatat juga dicatat dilakukan oleh Gandari. Kala mendengar jeritan dan lolongan menantu-menantunya yang ketakutan, ia masih bisa menguasai dirinya sekalipun hatinya dipenuhi kesedihan yang sangat dalam. Namun begitu melihat Duryodana putranya tewas berlumuran darah, ia tidak bisa menahan dirinya. Ia segera memeluknya dan kemudian pingsan. Saat ia siuman, ia kemudian mengutuk Kresna, (P. Lal, 2008:327-328).      

“Saya mengutuk Tuan, Kresna!

Dengan pahala yang saya punyai sebagai istri yang berbakti,

Saya mengutukmu, Kresna!

Pemakai cakra dan gada,

Saya mengutuk Tuan!

Tiga puluh tahun dari sekarang,

Tuan akan membantai kaum kerabat Tuan seperti putra-putraku membantai kaum kerabatnya,

Seperti yang dilakukan Pandawa. Sesudah membantai mereka,

Tuan akan mengembara karena malu dan meninggal secara memuakkan …

Dan putri-putri keturunan Tuan akan menangis

Seperti putri-putri Barata yang menangis sekarang ini,” (P. Lal, 2008:328-329).

Tawasul Gandari adalah dengan penyebutan: Dengan pahala yang saya punyai sebagai istri yang berbakti. Dalam kisah Mahabharata, Gandari dicatat memang sangat berbakti kepada suaminya. Saat diberitahu bahwa suaminya buta, demi rasa hormatnya kepada suaminya ia memilih merasakan sebagaimana yang suaminya alami.  

Tatkala Gandari mendengar bahwa Dastarastra buta, ia mengambil kain panjang yang dilipat-lipatnya dan demi rasa hormat dan cintanya terhadap suami, membalut matanya dengan kain itu. Balutan kain itu tak pernah dibukanya selama hidupnya, (P. Lal, 2008:26).

Tawasul yang dihadirkan dalam kutuk oleh Gandari tersebut dicatat berhasil. Para Yadawa saling bantai dan Kresna dicatat meninggal terkena panah saat berada di hutan, yang dilepaskan oleh seorang pemburu bernama Jara, (P. Lal, 2008:401).  

Adanya kesamaan unik dari doa atau pun kutuk yang disertai dengan tawasul dalam kisah Mahabharata (India) saat dihubungkan dengan hadist tentang kisah tawasul tiga orang pria pada masa pra-Islam, menunjukkan jika doa dengan tawasul pada masa lalu merupakan tradisi yang menjadi rahasia umum dan dilaksanakan masyarakat dunia.   

Sumber:

P. Lal, Mahabharata. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 2008.

Sumber website:

https://www.harapanrakyat.com/2023/05/manfaat-bunga-wijaya-kusuma/
https://islam.nu.or.id/hikmah/cerita-rasulullah-tentang-tiga-pria-terjebak-dalam-gua-9DjUA

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*