Ketika nāgara Majapahit abad ke-14 mengalami masalah, seorang pemuda desa bernama Damarwulan dicatat mampu menjadi problem solver negara. Tidak hanya mampu memadamkan pemberontakan Minakjingga, tapi juga mampu memimpin Majapahit meneruskan tradisi sebelumnya.

Keberhasilan Damarwulan ini menunjukkan bila desa pada masa Majapahit memiliki eksistensi yang mampu melahirkan kepimpinan nasional yang dibutuhkan. Desa dan nāgara pada masa itu, bahkan dapat dikatakan tidak memiliki kesenjangan baik informasi dan pendidikan yang terbaru. Hal ini karena pendidikan Damarwulan yang berasal dari desa dapat segera diaplikasikan di nāgara Majapahit (Ibukota Kerajaan Jawa).

Sayangnya pada saat ini eksistensi desa sebagaimana era Majapahit tidak pernah dijumpai. Desa pada saat ini menjadi sumber kemiskinan, pendidikan yang rendah, dan keterbelakangan. Karena itu, desa kini tidak lagi mampu melahirkan kemandirian dan orang-orang terdidik yang secara instan sebagaimana dibutuhkan negara. Jurang kesenjangan informasi dan pendidikan serta ekonomi antara desa dan kota pada saat ini, dapat dikatakan demikian dalam.

Awal Kesenjangan

Kesenjangan antara desa dan kota dimulai era Mataram. Konsep pemerintahan terpusat yang dianutnya, dengan mengganti sistem Kadipaten dengan Kabupaten membuat kesenjangan informasi dan pendidikan mulai muncul. Kadipaten adalah wilayah negara yang otonom yang dalam melangsungkan pemerintahannya memaksimalkan warga lokal. Kabupaten adalah wilayah yang tidak otonom dimana semua kebijakannya lebih ditentukan oleh pusat.

Pada saat ini, sistem Kadipaten di Jawa yang masih tersisa adalah Kadipaten Mangkunegaran  dan Kadipaten Pakualaman. Kedua Kadipaten tersebut dicatat tidak memiliki kesenjangan yang relatif jauh dengan Kasultanan dan Kasunanan.

Kesenjangan antara desa dan kota semakin meningkat ketika Belanda mendapat peran dari Mataram. Tidak hanya kesenjangan yang ada, namun desa-desa secara bertahap menjadi tidak memiliki nilai tawar lebih dan cenderung mulai miskin. Van den Bosch mencatat bila sebelum penerapan Cultur Stelsel, standar penghidupan petani Jawa telah mulai turun. Sekalipun demikian standar penghidupan petani Jawa dibanding kaum papa Belanda, masih jauh lebih baik, (Bernard HM. Vlekke, 2008: 324).

Kondisi itu ternyata semakin parah setelah era Cultur Stelsel, kemandirian petani hilang dan karena semua ditentukan oleh Belanda. Petani dipaksa menanam pohon yang tidak diinginkannya. Sedangkan harga jual ditentukan oleh Belanda. Standar penghidupan petani Jawa menjadi kalah dibanding kaum papa Belanda, karena kaum papa Belanda kemudian mendapat jaminan dari pemerintah Belanda.

Independensi Desa Sebuah Hal Yang Wajib

Setelah Indonesia merdeka, sayangnya kemandirian petani masih belum berjalan. Salah satunya dengan hadirnya UU Sistem Budidaya Tanaman. UU ini membuat kemandirian petani dari tidak ada menjadi semakin tidak ada. UU itu mengharuskan petani menggunakan benih buatan pabrik. Privatisasi benih juga diperbesar bahkan semakin merajalela.

Menurut UU itu, bila petani diketahui melakukan pembudidayaan tanaman tanpa izin maka ia tidak mendapat bantuan atau subsidi dari pemerintah. Bahkan, jika lokasi tempat petani yang melakukan pemuliaan tanaman itu terdapat perusahaan yang memproduksi benih, maka petani itu bahkan berpotensi besar dapat dikriminalisasi.

Sekalipun putusan MK kemudian menganulir sejumlah pasal dalam UU itu, dimana petani keluarga atau berskala kecil diperboleh melakukan pemuliaan bibit atau benih serta mengedarkannya, namun ini belum cukup. Upaya MK ini hanya setetes embun, dari banyak hal permasalahan independensi desa yang perlu dibenahi. Karena ketidakindependensian desa adalah struktural, maka untuk menumbuhkan keindependensian itu juga harus struktural dan menyeluruh.

Tanpa hal tersebut, maka jurang kesenjangan informasi, pendidikan serta ekonomi antara desa dan kota pada saat ini tidak akan pernah terjembatani. Tetes-tetes embun yang diupayakan untuk diberikan hanya seperti menggarami lautan.*

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*