Menurut Sutasoma, di dalam Setra atau pekuburan terdapat 3 bangunan yang ada di dalamnya. Rangkang di keempat sudutnya, Witâna di tengah pekuburan dan sebuah bangunan lagi yang disebut Yaśa.
Kakawin Sutasoma IX: 7.1-3. 1)
Nyanggrodhâsělur ing lěmah kěpuh agöng karamayan amilět těkeng ruhur,
sak rangkang nyan amarppatâpaḍu witâna ri těngah ikanârjja kokiran,
byâtītan ri surup hyang ârkka nṛpaputra sira ḍatěng arâryyan ing yaśa,
Terjemahan:
‘The shoots of a banyan tree reached down to the ground, and a tall kepuh-tree beautifully entwined with it up to its top. The pavillions at the four corners of the charnel ground and the reception-hall in the centre, all beautifully carved, were damaged. After sunset the prince came there to rest in the building’ 2) – (Pucuk pohon banyan mencapai ke tanah, dan pohon kepuh yang tinggi terjalin dengan indah hingga ke puncaknya. Paviliun (Rangkang) di empat sudut tanah pemakaman dan aula resepsi (Witâna) di tengah, semuanya diukir dengan indah, rusak. Setelah matahari terbenam sang pangeran datang ke sana untuk beristirahat di dalam gedung (Yaśa).
- Rangkang
Gambar 1. Relief Candi Tegowangi. Gambar Rangkang dalam relief kisah Bathara Guru menemui Sadewa. Sumber: (https://mblusuk.com/versi-amp/947-Relief-Kisah-Sudamala-di-Candi-Tegowangi.html).
Rangkang berarti bangunan kecil, pavilyun, “bale”.3) Dalam teks Sutasoma IX: 7, tidak disebut jika Rangkang yang terdapat di keempat sisi pekuburan dihubungkan dengan tembok pembatas. Namun dalam relief candi Tegowangi di atas, dilukiskan belakang Rangkang tampak teratur rapi seperti sebuah tembok. Sepertinya hendak menunjukkan antar Rangkang terhubung dengan tembok. Fungsi Rangkang sendiri seperti sebuah gerbang masuk pekuburan. Karena itu dimungkinkan Rangkang dalam setiap sudut makam, terdiri dari dua buah. Sisi kiri dan kanan.
Tembok yang berada di samping Rangkang yang menyatu Rangkang tampak rendah. Setelah itu tembok tampak meninggi dan hampir setinggi puncak Rangkang.
- Witâna
Witâna berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tenda rumah, kajang, tirai atau langit-langit dari terpal, penutup. Ia juga berarti ruang terbuka atau halaman yang ditutupi kain.4) Dalam relief candi Tegowangi, Witâna dilukiskan dengan sebuah bangunan tanpa dinding, semacam pendapa ataupun gazebo.
Gambar 2. Relief Candi Tegowangi. Gambar Witana dalam relief kisah Kunti berdoa di pekuburan (Setra). Sumber: (https://mblusuk.com/versi-amp/947-Relief-Kisah-Sudamala-di-Candi-Tegowangi.html).
- Yaśa
Yaśa berarti kehormatan, kemuliaan, keagungan, kemashuran, nama harum, jasa; perbuatan yang menyebabkan ssc. mendapat kehormatan atau mashur, perbuatan (tindakan) yang berjasa atau berpahala. Selain itu juga berarti bangunan, khususnya bale, pavilyun (karena adalah tindakan berjasa membangunnya? Cf dharma. Mungkin dipengaruhi oleh nyāsa).5)
Di dalam kakawin Sutasoma, Yaśa yang merupakan salah satu bangunan di pekuburan, memiliki catatan sebagai berikut.
- Adanya Ruangan-Ruangan Dalam Yaśa
Pada Kakawin Sutasoma, Yaśa dicatat setidaknya ada 3 ruangan. Ruangan sebagai tempat untuk istirahat, berdoa, dan tidur.
Pertama. Yaśa terdapat tempat untuk istirahat. Kakawin Sutasoma IX.7.3: byâtītan ri surup hyang ârkka nṛpaputra sira ḍatěng arâryyan ing yaśa.6) After sunset the prince came there to rest in the building.7)Setelah matahari terbenam sang pangeran datang ke sana untuk beristirahat di dalam gedung (Yaśa).
Kedua. Yaśa terdapat tempat untuk berdoa. Kakawin Sutasoma IX.7.4: ngkân mañjing sira ring pangarccaṇan angarccaṇa ri sang atirȗpa Bherawȋ.8) ‘There he entered the offering-house to pay homage to the terrible looking goddess Bherawȋ’.9) Di sana ia memasuki rumah persembahan untuk memberi penghormatan kepada dewi Bherawȋ yang tampak mengerikan.
Dalam Kakawin Sutasoma, di dalam Yaśa sebagai tempat berdoa terdapat mayat. Sutasoma saat samadi dan berdoa dilukiskan duduk di atas mayat. Bahwa di Yaśa tempat Sutasoma bersamadi dan berdoa terdapat mayat juga dicatat secara tidak langsung dalam Kakawin Sutasoma, XII.2, yaitu saat Dewi Bherawȋ menyebut Sutasoma duduk di atas mayat saat berdoa.10)
Tuwin ri sěḍěnganta dhȋra mahaseng smaçânâlaya,
niragraha malinggiheng kunapa lot madewâçraya,
samangkana kitân pamȗrṣitaknang mahânugraha,
awâs ri těka ning prayojana sasâdhya sang sâdhaka.
‘Furthermore while you were bravely entering this charnel ground a ttached to nothing, sitting on corpses and continuously praying to the gods, at that time you merited a great reward, It is clear that such a sag will gain his objective and all his intention will be fulfilled’.11) Lebih jauh lagi saat Anda dengan berani memasuki tanah kuburan ini yang tidak terikat apa-apa, duduk di atas mayat dan terus berdoa kepada para dewa, pada saat itu Anda pantas mendapatkan pahala yang besar. Jelas bahwa kemerosotan seperti itu akan mencapai tujuannya dan semua niatnya akan terpenuhi’.
Ketiga. Yaśa terdapat tempat untuk tidur. Kakawin Sutasoma, XII.4.3-4: narendrasuta somya mampěh ikanang manah nirmala, rikâmalih i yoga supta wěkasan rawuh tang dinâ.12) ‘The prince, who was caIm and in control of the clarity of his mind, then ceased his concentration and slept. At length it was dawn …’.13) Sang pangeran, yang tenang dan dapat mengendalikan kejernihan pikirannya, kemudian menghentikan konsentrasinya (meditasinya) dan pergi tidur. Akhirnya fajar menyingsing …
- Bentuk Yaśa
Dalam Relief Candi Tegowangi, Yaśa di Kṣetra atau Setra digambarkan dengan beberapa variasi. Misalnya saja adalah sebagai berikut.
Gambar 3. Relief Candi Tegowangi. Gambar Yaśa dalam relief kisah Sadewa diikat di sebuah pohon oleh Ra Nini. Sumber: (https://mblusuk.com/versi-amp/947-Relief-Kisah-Sudamala-di-Candi-Tegowangi.html).
Gambar 4. Relief Candi Tegowangi. Gambar Yaśa dalam relief kisah Bathara Guru menemui Sadewa. Sumber: (https://mblusuk.com/versi-amp/947-Relief-Kisah-Sudamala-di-Candi-Tegowangi.html).
Gambar 5. Relief Candi Tegowangi. Gambar Yaśa dalam relief kisah Kunti berdoa di pekuburan (Setra). Sumber:(https://mblusuk.com/versi-amp/947-Relief-Kisah-Sudamala-di-Candi-Tegowangi.html).
Sekalipun memiliki detail arsitektur yang berbeda dalam kisah yang saling berkaitan, yang kemungkinan besar hanya untuk menunjukkan adanya variasi arsitektur Yaśa di Kṣetra atau Setra pada masa lalu, namun secara umum ketiga bangunan tersebut memiliki persamaan. Persamaan tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama. Desain Yaśa di pekuburan tidak memiliki jendela. Kedua. Pintu Yaśa terlihat lebih masuk dari dinding terluar bangunan. Ketiga. Yaśa tampak menggunakan dinding yang sangat kokoh dan tidak terlihat sebagai papan kayu namun dinding bata.
- Fungsi Lain Yaśa
Jika dalam Sutasoma sebagai teks Budha, Yaśasebagai bangunan di mana salah satu fungsinya sebagai tempat untuk bertapa dan berdoa, dalam teks Hindu keberadaan dan fungsi Yaśa tidak dicatat secara eksplisit. Hanya saja terdapat keterangan implisit terkaitnya. Yaitu sebagai berikut.
Tantu Panggelaran:
Marūpa ta sira wiku, bhujangga çewapaksa ta sira, sira bhaṭāra mahāmpu Palyat ngaranira. Dumunung ta sira ring sma Kalyasem, sma ginawe patapan, wetan kidul sakeng Paguhan. Kunang denirā mangun tepa bherawapakṣa lkasnira, amangan Hawa [ning wwang], inayěmnira tang çawa, tatkala tngah wngi sira npanaḍah.14) ‘Berwujudlah dia sebagai wiku, dia sebagai pujangga (brahmana) aliran Ҁiwa, namanya Bathara Manampu Palyat. Tinggalah dia di pekuburan Kaliasem, pekuburan dibuat sebagai tempat bertapa, arah tenggara dari Paguhan. Adapun dalam melakukan tapa dia berbuat sebagai aliran Bhairawa, memakan mayat manusia, mayatnya disimpan di tempat sejuk, pada saat tengah malam dia memakannya.
Kuburan sebagai tempat bertapa mengingatkan akan teks Sutasoma di mana menurut Kakawin Sutasoma, Pangeran Sutasoma bersemedi dan berdoa di pekuburan. Tepatnya di bangunan yang disebut Yaśa di pekuburan. Ini menunjukkan jika salah satu aliran Bhairawa kemungkinan besar juga memanfaatkan hal sama sebagaimana yang dilakukan Sutasoma sekalipun tidak menyebut secara eksplisit.
Selain itu dalam kakawin Sutasoma disebutkan bahwa dalam Yaśa di mana salah satu tempat untuk berdoa terdapat mayat, dalam Tantu Panggelaran aliran Bhairawa dicatat menyimpan mayat ditempat sejuk untuk dimakan. Tempat sejuk tersebut tentu tidak lain juga adalah Yaśa di pekuburan. Menjadi wajar jika bangunan Yaśa di pekuburan kemudian dilukiskan tidak memiliki jendela. Selain itu dinding dibuat kokoh tanpa celah seperti hendak menjadikan tempat tersebut adalah ruang tertutup atau ‘ruangan yang dibuat sejuk’ dari lingkungan yang kemungkinan panas saat siang hari karena iklim tropis.
Semua itu semakin menunjukkan jika Yaśa adalah bangunan tertutup yang besar dan tinggi. Besar karena sesuai informasi kakawin Sutasoma, Yaśa memiliki setidaknya beberapa tempat di dalamnya, dan tinggi karena menghadirkan suasana sejuk dan tidak panas sebagaimana informasi Tantu Panggelaran.*
Note:
- Soewito Santoso II, 1968:17.
- Soewito Santoso III, 1968:22.
- Zoetmulder, 1995:921.
- Zoetmulder, 1995:1454.
- Zoetmulder, 1995:1489.
- Soewito Santoso II, 1968:17.
- Soewito Santoso III, 1968:22.
- Soewito Santoso II, 1968:17.
- Soewito Santoso III, 1968:22.
- Soewito Santoso II, 1968:20.
- Soewito Santoso III, 1968:24.
- Soewito Santoso II, 1968:20.
- Soewito Santoso III, 1968:25.
- Dwi Ratna Nurhajarini dan Suyami, 1999:49.
Pustaka
Agus Aris Munandar, Pakuwon Pada Masa Majapahit: Kearifan Bangunan Hunian yang Beradaptasi dengan Lingkungan.
Dwi Ratna Nurhajarini dan Suyami, Kajian Mitos dan Nilai Budaya Dalam Tantu Panggelaran, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999.
Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, 2011.
Irawan Djoko Nugroho, Kronogram Dalam Hikayat Hang Tuah. Analisa Struktur dan Kekerabatan Melaka-Majapahit, Jakarta: , 2022.
Jovany Aliflyantera, Arahan Pengembangan “Kampung Majapahit” Sebagai Desa Wisata Pada Kawasan Cagar Budaya Kecamatan Trpwulan, Kabupten Mojokerto. Tugas Akhir Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2016.
Jovany Aliflyantera Adistana dan Haryo Sulistyarso, Arahan Pengembangan “Kampung Majapahit” sebagai Desa Wisata pada Kawasan Cagar Budaya Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jurnal Teknik ITS Vol. 5, No. 2, (2016).
Ras, J.J., Hikayat Bandjar, a Study in Malay Historiography. BI. 1. The Hague: Martinus Nijhoff, 1968.
Siswanto, ‘Potret-Potret Kearifan Lingkungan Masa Lalu dalam Relief dan Sastra Tertulis’ dalam Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota, Yogyakarta: Penerbit Kepel Press: 2014.
Sugiyono Ruslan, Rekonstruksi Rumah Majapahit di Desa Bejijong Sebagai Sarana Edukasi Pendidikan IPS, Gulawentah: Jurnal Studi Sosial, 2019.
Soewito Santoso, Boddhakawya – Sutasoma a Study in Javanese Wajrayana Text – Translation – Commentary, Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy in the Australian National University, 1968.
W.P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta. Komunitas Bambu, 2009, hal: 15.
Zoetmulder P.J., Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983.
Zoetmulder P.J., Kamus Jawa Kuno-Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto-Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Website
https://www.nusantarareview.com/omahipun-simbah.html. (Irawan Djoko Nugroho, Omahipun Simbah)
https://www.nusantarareview.com/lokasi-istana-majapahit-berlapis-emas.html. (Irawan Djoko Nugroho, Lokasi Istana Majapahit Berlapis Emas)