(Sebuah Tanggapan Atas Klaim Kementerian Luar Negeri RRC)

Kepulauan Spratly merupakan gugusan kepulauan di Laut Cina Selatan yang terletak di sekitar 1.100 Km sebelah Selatan Pulai Hainan, Cina. Jika diukur dari Utara Pantai Kalimantan, jarak Kepulauan Spratly jauh lebih dekat yaitu berjarak  500 Km. Menurut Dieter Heinzig, kepulauan tersebut terletak di 4° LU dan 109° BT, dan ke arah Barat Laut antara 11° 31’ LU 117° BT (Johanes Judiono, 2003). Kepulauan ini memiliki luas 244.700 Km² dan terdiri dari sekitar kurang lebih 350 pulau.

Hingga saat ini Kepulauan Spratly di klaim oleh 6 negara. Kelima negara tersebut adalah Cina, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunai Darusalam. Keenam klaim atas Kepulauan Spratly tersebut, rata-rata didasarkan pada sejarah. Salah satunya adalah klaim negara Cina.

Menurut negara Cina, Kepulauan Spratly merupakan wilayahnya karena dikepulauan tersebut ditemukan banyak bukti-bukti bukti-bukti arkeologis Cina dinasti Han (206 SM-220 M). Dengan dasar penemuan tersebut, maka pulau-pulau di wilayah Laut Cina Selatan berdasar klaim sejarah berada di bawah pemerintahan Dinasti Han yang berkuasa sejak 206 SM-220 M.

Menjadi pertanyaan, apakah klaim Cina tepat sesuai sejarah?

Kisah Pelayaran Cina 

Ketika seorang paderi dari Cina bernama Faxian melakukan perjalanan pulang dari Sri Lanka ke Cina melalui jalur laut tahun 414 M, kapal yang ditumpanginya tertimpa badai. Badai terus berlanjut hingga berlangsung selama 13 hari. Kapal yang ditumpanginya kemudian bocor dan terpaksa berlabuh di Jawa (Barat). Setelah lima bulan tinggal di Jawa, Faxian menumpang kapal lain yang ukurannya kurang lebih sama menuju ke Cina. Di atas kapal, ada sekitar 200 orang, dan perbekalan yang dibawa untuk 50 hari pelayaran (W.P. Groeneveldt, 2009:2).

Dalam kisah Faxian tersebut, Cina digambarkan tidak memiliki tehnologi kapal. Di Jawa ia juga tidak bercerita tentang kaumnya yang ada di Jawa. Kisah Faxian benar-benar menunjukkan Cina belum menguasai tehnologi kapal samudera, apalagi abad-abad sebelumnya. Tehnologi kapal samudera baru dimiliki Cina pada abad-abad setelahnya. Ketika Mongol menjajah Cina dan menyerang Jawa tahun 1293, kapal-kapal Cina dicatat digunakan Mongol untuk meyerang Jawa. Kapal itu dicatat hanya memiliki kapasitas maksimal 30 orang, (W.P. Goeneveldt, 2009: 31).

Dari hal tersebut, dapat dikatakan tehnologi kapal Cina tertinggal jauh dengan tehnologi kapal yang ada di Jawa. Jika tahun 414 kapal yang melintasi Jawa sudah berkapasitas 200 penumpang (W.P. Groeneveldt, 2009:2), 879 tahun kemudian Cina baru bisa membuat kapal samudera dengan kapasitas 30 penumpang, (W.P. Groeneveldt, 2009:31). Dengan demikian setelah 8 abad kemudian, Cina baru memiliki tehnologi kapal samudera dan itu dengan kapasitas sangat kecil.

Kapal yang ditumpangi paderi dari Cina ini dapat dikatakan kapal tipe sedang, sedangkan kapal yang dinaiki tentara Mongol adalah kapal tipe kecil, atau dapat dikatakan sebagai kapal sungai yang dimodifikasi untuk dapat melaut.

Berbeda dengan Jawa. Dalam catatan Kerajaan Wu (abad ke-3 M), Jawa dicatat telah memiliki perahu besar yang panjangnya hingga 200 kaki, tinggi dari muka air 20-30 kaki, dan mampu memuat 600 orang dan barang 10.000 ho (satuan setara 10 sekop jagung). Setidaknya ada empat layar yang dipasang pada perahu. Layar dari tanaman yang dianyam ini mudah digerakkan sesuai arah angin, sehingga mereka dapat melaju dengan lincah, (Wang, 1959 via: Daud Aris Tanudirjo, 2010: 5-6).

Klaim Sejarah Yang Salah Alamat

Karena itu jika negara Cina mengatakan bila di kepulauan Spratly ditemukan banyak bukti-bukti bukti-bukti arkeologis Cina dinasti Han (206 SM-220 M), maka dapat dikatakan bukti-bukti arkeologis itu bukan lagi milik Cina. Namun milik pedagang yang memiliki perahu samudera ketika itu. Perahu tersebut barangkali tidak seberuntung Faxian yang selamat dari badai. Dan pedagang tersebut adalah pedagang dari Jawa, karena hanya Jawa yang memiliki kapal ukuran tersebut.

Pada masa dinasti Han, bangsa-bangsa Nusantara selain Jawa, dicatat belum memiliki kemampuan tehnologi kapal menuju Cina. Dalam data Cina, Jawa merupakan satu-satunya negara di Nusantara yang berlayar dan berdagang ke Cina mendahului bangsa-bangsa lain di Nusantara, (W.P. Groeneveldt, 2009). Dan Jawa juga dicatat didirikan pada masa dinasti Han (Di dalamnya dinyatakan bahwa negara mereka didirikan 1376 tahun sebelumnya atau tahun pertama tarikh Yuankang pada masa Kaisar Xuandi dari Dinasti Han [65 SM], (W.P. Groeneveldt, 2009: 55-56).

Karena itu, klaim negara Cina sebagai pemilik kepulauan Spratly berdasar klaim sejarah sangat tidak berdasar. Klaim itu seharusnya dilakukan oleh Indonesia. Hal ini karena menurut klaim sejarah, bukti arkeologis yang terdapat didalamnya merupakan hak sejarah Indonesia. Bahkan negara Cina sendiri adalah milik Indonesia berdasar pengakuan Kaisar Cina kepada Raja Majapahit (W.P. Groeneveldt, 2009: 54-55).*

Sumber:

  1. Daud Aris Tanudirdjo , Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Penutur Austronesia. Makalah disampaikan dalam Diskusi Pengaruh Peradaban Nusantara di Dunia, Sabtu 23 Oktober 2010 di Hotel Sultan Jakarta, diselenggarakan oleh Suluh Nuswantara Bakti.
  2. Groeneveldt, W.P, Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Jakarta. Komunitas Bambu, 2009.
  3. Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta, Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, 2012
  4. http://esaputraangkasa.blogspot.com/2011/07/diplomasi-sebagai-upaya-penyelesaian.html
  5. http://tabloidsergap.wordpress.com/2013/08/10/sengketa-kepulauan-spratly-potensi-konflik-di-asia-tenggara/

http://inmysmallworld.blogdetik.com/files/2011/06/spratly.gif

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*