Hindia Belanda merupakan sebuah situasi di mana para pemimpin kerajaan di Nusantara tunduk kepada investor dan kekuasaan asing sehingga mereka hanya menjadi sebuah stempel yang memuluskan keduanya menghisap seluruh kekayaan alam yang ada. Kemakmuran rakyat dan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat menjadi dongeng yang bahkan tidak lagi boleh didongengkan.
Bila memaksa mendongengkan, akan dipaksa masuk penjara seperti yang dialami Soekarno. Sebelumnya Bung Karno dalam “Indonesia Menggugat” (1930) mengatakan bila kekayaan alam Nusantara yang diangkut ke Belanda tiap tahun paling tidak mencapai 1,5 miliar gulden. Sementara itu menurut Bung Karno kembali, menyitir pernyataan direktur B.B. dalam sidang Raad van Indie, rakyat Indonesia diberi makan sebenggol sehari.
Karena itulah maka para pendiri bangsa kemudian sepakat membangun pemerintahan baru yang berbeda dengan Hindia Belanda yang bertujuan memakmurkan rakyatnya. Bukan lagi memakmurkan investor dan kekuasaan asing. Melalui UUD 1945, dititipkanlah pembukaan UUD 1945 sebagai visi (4 tujuan negara) dan misi (Pancasila) Indonesia serta pasal 33 sebagai tujuan dan tata nilai, guna dapat memakmurkan Indonesia kembali. Tujuannya jelas, rakyat Indonesia harus sejahtera dan terlindungi serta tidak boleh lagi hidup dalam era sebenggol sehari seperti era Hindia Belanda. Sistem kerja para pemimpin kerajaan di Nusantara era Hindia Belanda, menjadi sejarah hitam yang harus segera diganti.
Indonesia Kembali Menjadi Hindia Belanda
Sayangnya harapan para pendiri bangsa tersebut ternyata jauh panggang dari api. Kondisi Indonesia saat ini telah jauh dari harapan para pendiri bangsa yang berkehendak untuk membangun pemerintahan yang memakmurkan rakyatnya. Para elite awalnya mengundang investor dan kekuasaan asing untuk dapat membangun pemerintahan yang memakmurkan rakyat, namun kemudian terjebak untuk tunduk kepada investor dan kekuasaan asing.
Beberapa indikatornya jelas. Adanya pembiaran kepemilikan asing yang semakin mendominasi dan pemerintah bahkan memberi fasilitas atas kepemilikan asing tersebut, pada asset-aset Indonesia yang dimulai sejak era Freeport pada awal Orde Baru. Sebuah langkah elite yang sesungguhnya merupakan bentuk dari kudeta konstitusi. Disebut kudeta konstitusi karena Pembukaan UUD 1945 masih tetap berlaku, namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan hukum yang berlaku tersebut.
Visi (4 tujuan negara) dan misi (Pancasila) Indonesia serta pasal 33 sebagai tujuan dan tata nilai yang didirikan dan dipertahankan dengan susah payah oleh para pendiri bangsa guna menciptakan Ketahanan Nasional secara berkelanjutan, menjadi mandek dan bahkan lenyap dengan sendirinya. Elite seperti telah berhasil menyeret bangsa kembali ke era Hindia Belanda.
Cina Bergerak Menjadi Indonesia
Bila mencermati negara tetangga yang berdiri lebih muda dari Indonesia yaitu RRC, RRC yang menerapkan komunisme juga mengundang investor dan kekuasaan asing untuk dapat membangun pemerintahan yang memakmurkan rakyat. Cina pada saat ini bahkan dicatat mampu menarik investasi yang lebih besar dari investasi ke AS, namun tetap dapat membangun pemerintahan yang memakmurkan rakyatnya. Sebuah kondisi yang tentu sangat bertolak belakang dengan Indonesia.
Semua itu dapat terjadi karena Cina tetap berperan utama dalam mengelola investasi yang ada di negaranya. Menurut Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (National Development and Reform Commission/NDRC) RRC sebagai contohnya, Cina terbaru menerbitkan aturan investasi yang memperketat pagar terhadap risiko keamanan. Menurut komisi tersebut kembali, membuka investasi tanpa perlindungan malah tidak akan menjadikannya terus berkelanjutan.
Sebagai akibatnya, kini investasi asing di sektor militer dan akuisisi saham pengendali di sektor-sektor seperti energi, sumber daya alam, pertanian, teknologi internet, dan layanan keuangan menjadi ‘terpimpin’. Sebuah kondisi yang sesungguhnya dapat menghadirkan Ketahanan Nasional secara berkelanjutan. Kondisi tersebut, sesungguhnya seperti harapan para pendiri bangsa Indonesia untuk Indonesia. Cina dapat dikatakan berhasil mewujudkan menjadi Indonesia dan bukan menjadi Hindia Belanda.
Investasi Terpimpin
Berkaca pada Cina, investasi bukanlah sesuatu yang terlarang. Hanya saja ia perlu dikelola dengan sungguh-sungguh, dengan tetap mengedepankan perlindungan kepada kepentingan nasional. Atau dengan kata lain, sebuah investasi yang ‘terpimpin’. Sebab, membuka investasi tanpa perlindungan kepada kepentingan nasional malah tidak akan membuatnya berkelanjutan.
Indonesia telah memberi contoh. Investasi yang tidak ‘terpimpin’ kembali membawa Indonesia keluar dari marwah keindonesiaannya dan kembali menjadi Hindia Belanda.*