Buton adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah tenggara Pulau Sulawesi. Sebagai sebuah kerajaan, Buton adalah kerajaan yang didirikan pada abad ke-14 dan berakhir pada tahun 1960.

Kerajaan Buton pada masa lalu memiliki wilayah kekuasaan di gugusan pulau-pulau di Sulawesi Selatan. Diantara pulau-pulau yang terbesar adalah Buton, pusat kerajaannya di Bau-Bau  dengan istananya di Benteng Wulio. Pulau-pulau lain adalah: Muna, Kabaena, Tiworo, Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomea dan Binongko (keempat yang terakhir dahulu Kepulauan Tukang Besi, sekarang disebut Wakatobi), dan puluhan pulau-pulau kecil lainnya, (Lihat Susanto Zuhdi, 2014: 436-437).

Batara Guru Dalam Sejarah Buton

Sejarah Buton pada dasarnya dapat dibagi dalam 2 kisah. Pertama. Kisah berdasar Hikayat Sipanjonga. Dalam hikayat tersebut, disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Butun, Mia Patamiana berasal dari Johor. Mia Patamiana secara harfiah berarti ‘si empat orang’ yakni Sipanjonga, Simalui, Sitanamajo, dan Sijawangkati. Sipanjonga, pemimpin kelompok yang berpindah ke Butun berasal dari pulau Liyaa, Johor. Pendaratan rombongan Sipanjonga di Pulau Butun terbagi dua. Kelompok Sipanjonga dan Simalui di Kalampa, sedangkan kelompok Sitanamajo dan Sijawangkati di Walalogusi. Kedua kelompok itu membangun pemukiman di tepi pantai. Kemudian kedua kelompok itu bergabung dan bersama-sama membuka suatu pemukiman. Kegiatan membuka belukar dan menebangi kayu disebut “welia”. Dari “welia” itulah konon muncul kata Wolio.

Kisah berdasar sejarah lisan asli masyarakat Buton. Dalam sejarah lisan tersebut, kerajaan Buton didirikan oleh Wa Kaa Kaa. Ia seorang perempuan yang keluar dari “buluh bambu”. Wa Kaa Kaa kemudian dicatat kawin dengan Sibatara, bangsawan keturunan Majapahit. Setelah Wa Kaa Kaa (Raja ke-1), raja Butun adalah Bulawambona (Raja ke-2). Setelah itu para raja dijabat oleh laki-laki yaitu Batara Guru (Raja ke-3), Tuarade (Raja ke-4) dan Mulae (Raja ke-5) dan Marhum (Raja ke-6).

Secara umum, Batara Guru dalam kisah asal-usul sejarah Buton merupakan raja laki-laki pertama dalam sejarah Buton. Sebelumnya para raja dipegang oleh seorang putri. Baik Wa Kaa Kaa maupun Bulawambona. Penamaan Batara Guru sebagai putra Bulawambona kiranya tidak lepas dari Sibatara atau bangsawan keturunan Majapahit. Hal ini karena Buton awal dimana Wa Kaa Kaa lahir, tidak dikisahkan memiliki tradisi Hinduisme sebelumnya.

Batara Guru pada dasarnya adalah dewa agama Hindu yang memiliki akar Jawa Kuno. Dimana Batara Guru bersifat lebih monotheisme, karena ia merupakan dewa tertinggi. Dewa-dewa lain berada dalam posisi dibawahnya. Berbeda dengan konsep asli Hinduisme, Batara Guru atau Siwa merupakan satu dari tiga dewa tertinggi.

Dari sini maka dapat dikatakan jika Batara Guru sebagai salah satu leluhur Raja Buton tentu memiliki akar dari Jawa.

Batara Guru Dalam Sejarah Makasar

Sangat menarik jika kisah asal-usul raja pertama Buton ternyata seperti kisah Tomanurung, manusia yang turun dari langit, sebagaimana dicatat dalam cerita I La Galigo. Jika asal-usul raja pertama Buton keluar dari bambu, maka asal usul Batara Guru turun ke dunia tengah (Luwu) juga melalui bambu. Kemudian Sang Pencipta meletakkan puteranya dengan sangat berhati-hati dalam sebatang “bambu betung”, lalu diikatnya erat-erat, (R.A. Kern, 1989: 25).

Lebih menarik lagi raja Buton laki-laki pertama ternyata memiliki nama yang sama dengan raja pertama dalam I La Galigo. Yaitu, Batara Guru. Jika Batara Guru dalam kisah asal-usul Buton merupakan anak dari Bulawambona Raja Buton ke-2 dan cucu dari Sibatara bangsawan Majapahit, maka Batara Guru dalam La Galigo adalah keturunan La Patigana (Sang Pencipta).

Menjadi pertanyaan kemudian adakah kesamaan antara asal-usul Batara Guru pada keduanya? Jika melihat I La Galigo, terdapat beberapa indikasi adanya kesamaan asal-usul keduanya. Dalam artian berkaitan dengan Jawa.

Indikasi ini misalnya budaya yang dibawa Batara Guru dalam I La Galigo merupakan budaya Jawa. Dengan sangat terharu kedua orang tuannya berkata kepadanya, bahwa ia harus ke bawah, menikah di sana dan mengembangkan turunannya di bumi. Sang Pencipta memberikannya sekapur sirih yang dikunyahnya, diikatkannya sebilah keris pinggang puteranya, ditanggalkannya mahkotanya lalu diletakkannya di atas kepala puteranya itu, dianugrahinya dengan gelang tangannya dan cincinnya sendiri serta dengan cincin Datu Palinge, (R.A. Kern, 1989: 25).

Beberapa indikasi yang menunjukkan budaya Jawa disini adalah Batara Guru ketika akan dikirim ke dunia tengah telah mengenakan tradisi Jawa seperti kapur sirih, keris, mahkota dan cincin. Selain itu terdapat juga nama-nama dewa dalam I La Galigo yang memiliki kemiripan dengan kata-kata Jawa Kuno. Seperti penggunaan istilah batara misalnya Batara Kelling Batarajawa (R.A. Kern, 1989: 570). Juga kata yang mirip kata Jawa Kuno lain seperti Aji Pawenang, (R.A. Kern, 1989: 22). Atau langit sendiri disebut dengan Senrijawa.

Dari sini, maka besar kemungkinan Batara Guru dalam I La Galigo sama dengan Batara Guru dalam Sejarah Buton dimana mereka sama-sama memiliki keterkaitan dengan Jawa. Manurungnya Batara Guru ke dunia tengah kiranya merupakan bentuk pelegendaan seorang pangeran Jawa membuka Sulawesi yang pada saat itu belum berpenghuni.

Sumber:

  1. Andaya, Leonard Y, The Bugis-Makassar Diaspora, Journal of MBRAS, Vol. LXVIII Part 1, 1995.
  2. Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
  3. Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, 2011.
  4. Pelras, Christian, Manusia Bugis, Jakarta, Nalar: 2006.
  5. A Kern, I La Galigo. Cerita Bugis Kuno, Terjemahan La Side dan Sagimun M.D. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press: 1989.
  6. Reid, Anthony Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah Dibawah Angin. Jilid 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
  7. Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir. Pengantar: Edi Sedyawati. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.
  8. Susanto Zuhdi, Nasionalisme, Laut, dan Sejarah. Depok: Komunitas Bambu, 2014.
  9. P. Groeneveldt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*
*