Dalam teks kakawin dan kidung, pakaian perang yang digunakan para prajurit di Jawa pada masa lalu, banyak dicatat di dalamnya. Pakaian perang tersebut dibedakan dalam 3 jenis. Waju Rante ‘baju yang terdiri atas rantai-rantai besi’, [Kidung : K.R (7.31), (7.107)]. Kawaca ‘baju baja’, [Kakawin : Ad (202), BhP (135), RY (3.42), AW (7.6), HW (32.8), BK (3.11), KY (46.4), HWj (42.9), KD (15.7). Kidung : Mal (5.88), Ww (2.54)]. Dan Karambalangan ‘lapis logam di depan dada’, [Kakawin : HWj (5.64). Kidung : K.R (11.97), Mal (6.90)].
Sekalipun banyak dicatat dalam kakawin dan kidung, namun ternyata dalam prasasti, penjelasan ‘baju baja’ disinyalir tidak ada. Sehingga kemudian banyak para arkeolog yang menyangsikan keberadaan realitas ‘baju baja’ tersebut, dikenakan pada masa lalu. Benarkah demikian?
Beda Fungsi Prasasti Dengan Kakawin atau Kidung
Fungsi penulisan prasasti pada dasarnya berbeda dengan sistem penulisan kakawin dan kidung. Kakawin atau Kidung merupakan sebuah bentuk tulisan yang dibuat sebagai pengajaran atau kisah pada masa lalu. Sebagai pengajaran dan kisah, maka dalam kidung biasa diuraikan diskripsi tokoh yang dicatat di dalamnya secara terperinci. Seperti busana yang dikenakan sang tokoh, dan sebagainya.
Sementara itu, prasasti adalah tulisan tentang keputusan resmi yang ditulis pada benda-benda yang keras meliputi batu, lontar, atau pada logam yang ditandai dengan upacara. Sebagai keputusan resmi, prasasti memfokuskan dirinya pada segala hal terkait keputusan tersebut. Menjadi wajar jika dalam prasasti tidak dijumpai diskripsi terkait tokoh yang dicatat di dalamnya secara terperinci. Diskripsi yang dicatat umumnya hanya mengenai jabatan yang diembannya saat prasasti diterbitkan.
Dari hal tersebut, maka diskripsi tokoh dalam prasasti yang dicatat menggunakan ‘baju baja’ menjadi sangat sulit ditemukan. Sehingga bagi yang tidak mempelajarinya secara seksama, dapat dipastikan akan menyatakan ketidakadaannya.
Baju Baja dalam Prasasti
Sekalipun memiliki fungsi yang berbeda dengan kakawin dan kidung, jika dilihat lebih jauh ‘baju baja’ ternyata juga dicatat dalam prasasti. Misalnya dalam prasasti Terawulan 1358. Prasasti ini berasal dari masa Raja Hayam Wuruk atau Rajasanagara. Di dalam prasasti tersebut disebut sebagai berikut.
Kepingan V. Bagian belakang
- …, tan katamāna deni winawa mana katrīņi lwīrnya, pangkur, tawan, tirip, salwiraning nāyaka, parttaya, apinghe,
- akurug, awajuh, wadihddi, sapuņḍuhnya kabeh makā ding raweh lawan sahananing mangilala drawya haji, …., (M. Yamin, Tatanegara Majapahit, Parwa II, 99).
Terjemahan:
Tempat-tempat itu tidaklah boleh dimasuki oleh mereka yang menerima perintah dari katrini pegawai yang bertiga, yaitu pangkur, tawan dan tirip, serta selanjutnya pelbagai nayaka, percaya, pingai, (yang berpakaian putih), akurug (yang berselubung tameng), awajuh (yang berselubung baju zirah), wadihadi, semua kepercayaan, serta dimulai dengan yang bekerja sama dengan semua macam pemungut cukai raja ….. , (M. Yamin, Tatanegara Majapahit, Parwa II, 103).
Perbandingan Terjemahan
Terjemahan yang dicatat M. Yamin tersebut, sayangnya banyak yang tidak mendapat penjelasan lebih lanjut akan artinya. Jika dilihat berdasar Kamus Jawa Kuna Zoetmulder, maka akan ada sedikit penjelasan, sekalipun penjelasan yang diharapkan juga masih bersifat umum. Sekalipun demikian cukup menjadi penjelas yang sebelumnya belum ada.
Berikut penjelasan berdasar kamus Jawa Kuna Zoetmulder.
Pangkur = diantara pejabat kraton, (Zoetmulder, 1995: 751). Tawan = diantara pejabat kraton, (Zoetmulder, 1995: 1225). Tirip = diantara pejabat kraton, (Zoetmulder, 1995: 1261). Nāyaka = (Skt. pemimpin, kepala) kepala, pemimpin, komandan, di antara yang terkemuka atau terutama, jauh melebihi yang lain-lain, (Zoetmulder, 1995: 695). Parttaya = kategori pejabat (Zoetmulder, 1995: 783). Apinghe = pinghe = kategori pejabat (Zoetmulder, 1995: 823).
Khusus kata akurug (yang berselubung tameng), awajuh (yang berselubung baju zirah) menurut M. Yamin, ternyata memiliki perbedaan dengan arti yang ada dalam Kamus Jawa Kuna. Menurut Zoetmulder, kurug berarti bagian pakaian yang menutupi bagian atas tubuh, kalambi. Dipakai para wanita, pendeta yang memimpin upacara, prajurit (yang terakhir di buat dari logam yang berkilau?), (Zoetmulder, 1995: 543).
Sementara itu awajuh berarti ber-wajuh. Wajuh berarti waju, (Zoetmulder, 1995: 1370). Waju memiliki arti baju, (Zoetmulder, 1995: 1370). Namun demikian dalam RL 7.31; 7.78, Zoetmulder mencatat pemakaian waju khusus untuk tentara: Bala winaju gangsa ranti, (Zoetmulder, 1995: 1370). Tentara berbaju gangsa, ranti. Gangsa (Sansekerta: kangśa) semacam logam campuran dari tembaga dan timah, (Zoetmulder, 1995: 275). Ranti = rante, (Zoetmulder, 1995: 919). Rante = rantai. Waju rante = baju yang terdiri atas rantai-rantai besi, (Zoetmulder, 1995: 919).
Baju Baja Sebagai Sebuah Realitas
Sekalipun ada dua perbedaan arti antara akurug dan awajuh menurut M. Yamin dengan Zoetmulder, namun pada dasarnya keduanya memiliki persamaan. Sebab menurut Zoetmulder, kedua kata tersebut dimungkinkan sebagai bentuk baju baja, jika pemakainya adalah bala atau tentara.
Mengingat prasasti Terawulan 1358 yang diketengahkan di atas adalah bentuk larangan untuk para pejabat negara tertentu atas daerah swatantra, maka dapat dikatakan jika akurug dan awajuh yang dimaksud juga termasuk diantara para pejabat. Akurug dan awajuh yang dimaksud dalam prasasti tersebut kemungkinan besar adalah golongan tentara. Sebagai golongan tentara, maka terjemahan M. Yamin sekalipun tidak sepenuhnya tepat, adalah benar. Jadi memang baju baja sebuah realitas pada masa lalu. Jika sekarang kemudian film-film terkait Majapahit, tentara yang ditampilkan ote-ote atau tanpa baju perang sama sekali, jelas film tersebut tidak melibatkan para filolog Jawa Kuna. Film yang diharap mampu memberi kebanggaan bangsa, ternyata hanya merusak sejarah bangsa. Sayang.*
Sumber:
- Irawan Djoko Nugroho, Meluruskan Sejarah Majapahit, Yogyakarta: Ragam Media, 2010.
- Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti,
- Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit. Sapta Parwa. Vol. I-III. Jakarta: Yayasan Prapanca, 1962.
- Zoetmulder, P.J., Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Vol. I-II. Terjemahan Darusuprapto – Sumarti Suprayitno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Sumber foto:
- http://elderscrolls.wikia.com/wiki/Ancient_Nord_Armor_(Armor_Piece)
1 comment
Mas / Mbak, Mohon maaf tolong contoh gambar nya bisa di ganti tidak?
Gambar tersebut diambil dari game fantasi yang tidak ada di dunia nyata, saya hanya ingin mengatakan agar hal tersebut tidak menimbulkan kesalah pahaman tentang pengambaran baju baja indonesia di masyarakat.
Terimakasih.