Kisah Cheng Ho merupakan kisah sejarah yang selalu diangkat oleh sejarawan Eropa untuk menginformasikan hubungan antara Jawa (Majapahit) dengan Cina di era dinasti Ming. Sebut saja misalnya paparan sejarah Bernard H.M. Vlekke dan Anthony Reid.
Tidak berlebihan jika kemudian kisah tersebut kemudian mendapat beragam apresiasi dari sejarawan lainnya. Beragam buku atau artikel terkait kisah-kisah Cheng Ho kemudian terus bermunculan. Tercatat lebih dari 300 buah buku dan artikel baik dari dalam dan luar negeri, telah membahas mengenai kisah Cheng Ho itu. Dalam buku Api Sejarah yang dikhususkan sebagai buku yang akan mengubah drastis pandangan terkait Sejarah Indonesia karya Ahmad Mansur Suryanegara pun, kisah Cheng Ho disemat-sematkan ada dalam pembahasannya.
Karena itu dapat dikatakan jika Cheng Ho telah menjadi satu dari dua sisi mata uang yang harus dibahas dalam Sejarah Indonesia. Namun sangat menarik jika kisah Cheng Ho kini ternyata tidak lagi menghiasi Sejarah Indonesia. Bahkan dapat dikatakan jika kisah Cheng Ho sudah berakhir.
Hal ini misalnya dapat dilihat dari salah satu karya disertasi yang dibukukan yaitu “Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir” karya Supratikno Rahardjo. Dalam buku tersebut, kisah Cheng Ho tidak dikisahkan. Minimal dalam indeks buku yang ada tidak mencatat adanya Cheng Ho.
Indeks (dalam kamus besar Bahasa Indonesia) adalah daftar kata atau istilah penting yang terdapat dalam buku cetakan yang biasanya terdapat pada bagian akhir buku. Disusun menurut abjad yang memberi informasi mengenai halaman tempat kata atau istilah itu ditemukan. Dengan tidak dicatatnya Cheng Ho dalam indeks, maka Cheng Ho bukan merupakan informasi penting yang harus ditampilkan. Dan ketika melihat ke dalam isi buku, ternyata memang Cheng Ho tidak dibahas.
Cheng Ho Sebagai Fiksi
Tidak dimasukkannya kisah Cheng Ho dalam buku “Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir” sebenarnya sepenuhnya dapat dimengerti. Supratikno Rahardjo tidak terpengaruh arus informasi terkait Cheng Ho yang telah demikian ‘liar’ dalam mengisi sejarah.
Jika dilihat dari sisi teks sejarah, kisah Cheng Ho hanyalah sekelas dongeng. Hal ini karena kisah yang membahas Cheng Ho hanyalah didasarkan pada kajian teks diplomatis. Atau hanya satu naskah saja, yaitu naskah dari Dinasti Ming. Ia tidak menerapkan kajian teks komparatif, yaitu membandingkan satu teks dengan teks lain yang sezaman.
Dalam semua kajian sejarah, kajian komparatif antarteks selalu digunakan dalam menyusun kisah sejarah. Misalnya saja Gajah Mada. Gajah Mada dicatat dalam teks Jawa Kuno (prasasti, kakawin), teks Bali, teks Aceh (Hikayat Raja-Raja Pasai), teks Banjar (Hikayat Banjar) dan teks Malaka (Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah). Karena itu tanpa kajian komparatif tersebut, paparan yang disajikan menjadi sangat kurang kesejarahannya.
Terlebih 7 ekspedisi Cheng Ho, yang kemudian dicatat menghasilkan banyak peristiwa-peristiwa penting namun ternyata sama sekali tidak mendapat apresiasi dalam catatan Melayu Klasik, Jawa Kuno, dan Bali Kuno. Hal ini menjadi menjadi sesuatu hal yang aneh. Catatan Melayu Klasik, yang demikian adaptif dengan informasi Asia Daratan seperti Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu ternyata juga tidak satu pun mengkisahkan Cheng Ho. Karena itu Cheng Ho memang tidak layak sebagai sebuah sejarah.
Jika karya disertasi Supratikno Rahardjo kemudian tidak memasukkan informasi Cheng Ho, maka hal itu kiranya telah sangat tepat. Hal ini karena kisah Cheng Ho hanya sekelas dongeng, yang harus diakhiri dalam Sejarah Indonesia.
Sumber:
- Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
- Irawan Djoko Nugroho, Majapahit Peradaban Maritim, Jakarta: Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, 2011.
- Reid, Anthony Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Tanah Dibawah Angin. Jilid 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
- Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir. Pengantar: Edi Sedyawati. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011.